x

Iklan

Hasan Aspahani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 24 Juli 2019 19:30 WIB

Tentang Bob Dylan, Nobel dan Pelecehan Sastra

Artikel ini pernah dimuat di Rolling Stone Indonesia, 2016--tentang kenapa saya setuju Bob Dylan mendapatkan Hadiah Nobel Sastra.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jann S. Wenner: Sering ketemu Allen Ginsberg?
Bob Dylan: Tak terlalulah. Tak terlalu sering. 
Jann S. Wenner: Menurut Anda seberapa besar dia berpengaruh pada penulisan lagu Anda?
Bob Dylan: Saya rasa pada periode tertentu ya. Periode … “Desolation Row”, itu periode New York, ketika semua lagu-lagu saya adalah “lagu kota”. Puisinya kan puisi kota. Kedengaran banget kan seperti kota itu.

(Wawancara Jann S. Wenner dari Rolling Stone dengan Bob Dylan, 29 November 1969).

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

KARENA tahun 2016 memilih Bob Dylan, Radhar Panca Dahana menilai Hadiah Nobel Kesusasteraan jatuh martabatnya, tak lagi kredibel sebagai lembaga pemberi penghargaan tertinggi di bidang sastra di dunia. Akademi Swedia telah melecehkan kesusasteraan.

Baginya, pemusik adalah pemusik, penyair adalah penyair, keduanya menekuni genre kesenian yang berbeda betapapun keduanya memiliki nilai-nilai universal (estetis) yang mungkin sama.

Mungkin, kata Radar lagi, ada penyair yang bermusik, dalam arti ia memilih musik sebagai pilihan ekspresional dalam membunyikan atau mengartikulasikan kata-kata yang diproduksinya. Namun, dedikasi dan intensitas hingga kontribusi terbesarnya tetap dalam ranah kesusasteraan.

“Alasan itu tidak dimiliki Bob Dylan, sehebat apapun namanya menjulang di puncak dunia entertainment,” kata Radar dalam tulisannya. Artikel Radar bisa dibaca di Kompas, Sabtu, 5 Oktober 2016, Nobel Kini Tak Kredibel.

Radar memberi saran: panitia selaiknya mempertimbangkan dan menghargai secara serius latar hidup, proses kreatif, hingga arus utama produk kreatif seorang seniman sastra. “Sejarah mengatakan, Bob Dylan bukanlah seniman yang bertani di ladang sastra. Bukan di ladang itu konsistensinya, arus utama karyanya, dan sumbangan kreatifnya,” katanya.

Dylan, Sastra, dan Penyair

Ketika merilis album ke-35 pada 2012, para sejarawan musik dan Dylanologist – para pemerhati Bob Dylan – mengira itu akan jadi album terakhirnya. Album itu berjudul Tempest, seperti judul karya drama terakhir Shakespeare. Dylan membantah rumor itu. “Drama terakhir Shakespeare berjudul The Tempest. Bukan Tempest. Nama album saya hanya Tempest,” katanya. Dan nyatanya itu memang bukan karya terakhirnya.

Saya mengambil petikan itu untuk menunjukkan bahwa Dylan adalah seorang pembaca karya sastra dengan khazanah yang luas. Okelah, di negara dengan bahasa Inggris, siapa sih yang tidak membaca Shakespeare?

Kita lihat lagi hal lain. Dari otobiografinya kita tahu karya-karya Bertolt Brecht, Kurt Weill, dan Arhur Rimbaud, mempengaruhi karya-karya awal Bob Dylan. Ia juga membawa suara generasi American Beats – Paul Kerouac, Allen Ginsberg, dan Lawrance Felinghetti – ke dalam lirik-lirik lagunya.  Nama-nama tadi – pada satu periode dalam kehidupan Dylan – adalah juga teman-teman yang sama bergelut dalam pemikiran dan kreativitas.

Pada lagu “You’re Gonna Make Me Lonesome When You Go” dalam album Blood on the Tracks, secara khusus Dylan menyebutkan nama Rimbaud dan Verlaine.

Situations have ended sad / Relationships have all been bad / Mine’ve been like Verlaine’s and Rimbaud / But there’s no way I can compare / All those scenes to this affair.

Atau simaklah lirik “Desolation Row” yang ia sebut dalam wawancara yang dikutip di awal tulisan ini. Bukan untuk bergaya saya kira ketika Dylan di lagu itu memuatkan banyak sekali alusi yang membuat pembaca yang serius harus bolak-balik membuka enslikopedia. Lirik lagu itu panjang. Di sana ia menyebut Cinderella, Si Bungkuk dari Notre Dame, Qain dan Abel, Ophelia, Einstein, Robin Hood, The Phantom of Opera, Casanova, T.S. Eliot, Ezra Pound. Sekali lagi bukan penyebutan hal-hal itu yang bikin lirik Dylan jauh melampaui lirik penulis lagu lain dan membuatnya punya nilai sastra. Tapi “Desolation Row” adalah lirik lagu yang padat kandungan; ada kemarahan zaman, catatan sejarah buruk, kekacauan situasi, dan jelas ketika dinyanyikan ia tak bisa dianggap sebagai lagu ngak-ngik-ngok. Dan – mohon maaf – dalam hal kualitas lirik lagunya, Dylan tentu saja ada para taraf yang jauh di atas Dedy Dores, Meggy Z, Michael Jackson, dan Ebiet G Ade, nama-nama seniman yang dengan alasan masing-masing saya juga hormati karya-karyanya.

Cerita di atas tentu tidak menjadi pertimbangan untuk menilai layak atau tidak seorang Bon Dylan mendapat anugerah apapun di bidang sastra, termasuk Nobel Kesusasteraan. Pengutipan atau penyebutan nama-nama sebagai alusi dalam lirik lagunya juga tidak otomatis menjadi bukti bahwa lirik lagunya adalah teks puisi yang berkandungan sastra tinggi.  Yang jarus jadi pertimbangan terutama adalah kualitas karyanya sebagai teks – keluasan, kedalaman, seberapa besar ia mewakili suara masyarakat yang menginspirasi dan menyimaknya – dan besar pengaruh karyanya. Pengaruh karya adalah alasan favorit anggota Akademi Swedia. Lihat saja kalimat-kalimat ‘sakral’ yang dipilih sebagai alasan pemberian Nobel dari tahun ke tahun itu.

Di dunia musik rock, khususnya jika kita merujuk majalah Rolling Stone, Dylan adalah “dewa” yang musik dan lirik lagunya diakui mempengaruhi perjalanan dan wajah musik rock saat ini. Hei, tapi itukan pengaruh di dunia musik? Rock pula. Itulah ladang di mana Dylan bertani – pakai istilah Radar. Lalu apa salahnya? Pengaruh yang diendus Akademi Swedia sebagai dalih pemberian hadiah apakah hanya pengaruh di dunia sastra? Rasanya tidak. Banyak nama-nama sastrawan yang menerima Nobel Sastra dicatat dan diakui pengaruhnya pada lapangan yang luas, jauh di luar sastra. Mereka dianggap menyuarakan suara generasinya, suara bangasnya. Dan itulah yang juga dilakukan Dylan.

Kita nyaris lupa, pada 2008, Bob Dylan juga mendapatkan Pulitzer Prizes, ini semacam Nobel dalam lingkup dalam negeri Amerika. Memang itu bukan perhargaan untuk Dylan sebagai sastrawan atau karena lirik lagunya yang dianggap karya sastra. Ini adalah penghargaan khusus diluar kategori Pulitzer yang ada  – untuk pengaruhnya secara khusus dalam musik popular dan secara luas dalam kebudayaan Amerika lewat komposisi lirik lagunya dan kekuatan puitik yang luar biasa. Dan tahun 2012, ia juga menerima Presidential Medal of Freedom dari Presiden Barack Obama, ini semacam Bintang Maha Putera di negera kita.

Menulis, Menulis, Menulis

Sosok pertama yang mendapat Anugerah Nobel Sastra adalah seorang penyair Prancis Sully Prudhomme. Puisi-puisi Prodhumme dianggap mencapai tingkat artistik yang langka dan sempurna yang berhasil membaurkan kualitas rasa dan pikir. Tapi sejak awal Nobel tampaknya sudah meluaskan makna “sastra” dalam pemahaman mereka. Pada tahun kedua, 1902, yang mereka pilih adalah Theodore Mommsen, ahli sejarah dan hukum dari Jerman. Mommsen menulis sejarah, dan Nobel untuknya secara khusus ditujukan kepada karya monumental A History of Room.

Seorang filosof – dan bukan sastrawan yang menulis prosa atau puisi – berkebangsan Jerman, Rudolf Christoph Eucken, mendapatkan Anugerah Nobel Kesusasteraan 1908. Lalu Bertrand Russel, filosof Inggris, mendapatkan hal yang sama pada tahun 1950. Yang paling kontroversial adalah Sir Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris yang mendapat Nobel tahun 1953 untuk pidato-pidato yang bernilai bagi sejarah, juga esai-esai dan memoarnya. Kontroversi juga masih ada ketika pada tahun lalu Nobel Sastra diberikan kepada Svetlana Alexievich, nama yang kalau memakai alasan Radar juga tak berhak karena tidak bergelut sebagai sastrawan. Alexievich adalah penulis esai-esai dan buku sejarah. Ia jurnalis yang menulis dengan bahan-bahan liputan jurnalistiknya. Di mana sastranya?

Buat saya, benang merah Nobel Sastra jelas: menulis, menulis, menulis. Seberapa tinggi kualitas dan seberapa luas pengaruh tulisan kita itulah – apapun bentuknya: puisi, cerita pendek, novel, sejarah, memoar, lirik lagu, filsafat – yang membuat karya kita berharga. Kita mungkin harus membiasakan menyebut Anugerah Nobel Kesusasteraan atau Nobel Sastra menjadi Anugerah Nobel Literatur merujuk ke bahasa Inggrisnya; Novel Prize in Literature. Dengan pengertian literatur sebagaimana dikatakan Ezra Pound: Literatur yang hebat adalah bahasa sederhana yang diberi tenaga makna hingga ke tingkat tertinggi yang paling mungkin dicapai.

Akademi Swedia lewat Anugerah Nobel Kesusasteraan eh Anugerah Nobel Literatur, saya lihat ingin meluaskan wilayah sastra atau literatur dan itu sudah mereka lakukan sejak awal. Kenapa kita harus angkuh dan dengan demikian menyempitkannya lalu – seperti Radhar Panca Dahana – menganggap upaya Nobel itu sebagai pelecehan terhadap sastra? Dan malah menganggapnya kini tak kredibel?

Ikuti tulisan menarik Hasan Aspahani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler