x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 29 Juli 2019 08:39 WIB

Politik Penggede atau Politik Rakyat?

Apabila isu-isu strategis diputuskan dan diatur hanya oleh segelintir elite atau penggede politik, lantas dikemanakan kehendak rakyat? Apakah demokrasi semacam ini yang kita kehendaki bersama? Apakah gejala-gejala ini bukan menunjukkan fenomena sejenis oligarki?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Lega dan menenangkan suasana, begitulah respon yang diutarakan sebagian elite politik, juga sebagian pengamat, menyaksikan pertemuan Megawati dan Prabowo di rumah Teuku Umar. Sementara itu, para jurnalis asyik menulis ihwal faktor ‘nasi goreng’ racikan Mega yang, menurut Mega sendiri, ampuh sebagai jalan pembuka diplomasi.

Siapakah yang merasa lega dan tenang? Bahkan sebagian elite lainnya justru terlihat gusar mengetahui pertemuan itu. Mereka tidak lain teman-teman Mega dalam koalisi yang sama pengusung Jokowi. Surya Paloh, lokomotif NasDem, malah mengadakan pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada waktu yang bersamaan dengan pertemuan Mega-Prabowo. Lho kok bisa?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana respon rakyat—kaum awam, orang banyak, akar rumput, apapun istilah yang digunakan kaum elite alias penggede? Gembirakah atau cemaskah? Mana respon yang otentik? Orang banyak tidak tahu apa yang telah dibicarakan secara empat mata—atau lebih—di antara para penggede itu, bagaimana kita mesti menyambutnya dengan gembira? Apakah hanya karena mereka bertemu setelah berseteru dalam kompetisi pemilihan umum April lalu? Kita diminta percaya begitu saja bahwa mereka membicarakan nasib orang banyak.

Apabila para penggede bertemu untuk menyelesaikan persoalan bangsa, ya memang seharusnya begitu. Tapi, apa yang sesungguhnya mereka bicarakan? Bila soal masa depan bangsa, mengapa teman-teman koalisi PDI-P terlihat gusar? Gambar ilustrasi halaman depan Koran Tempo edisi Kamis, 25 Juli 2019, melukiskan dengan jitu suasana hati empat ketua umum partai politik koalisi yang mengintip dari balik kaca Mega dan Prabowo sedang berbincang-bincang.

Apa yang ditulis serta disiarkan para jurnalis adalah tentang nasi goreng dan rumor tentang peluang Gerindra bergabung dengan koalisi PDI-P. Kita, akar rumput yang menjadi tumpuan para elite itu, tidak tahu persis apa yang mereka rundingkan memang soal bangsa atau ihwal bagi-bagi kursi. Katakanlah, misalnya, negosiasi tentang kursi Ketua MPR yang sebenarnya juga sangat diminati PKB dan Golkar.

Kita tak pernah tahu pula apakah suara-suara kita—orang-orang akar rumput, bukan pucuk rumput, apa lagi pucuk pepohonan—diperbincangkan di meja-meja makan yang tersaji di atasnya nasi goreng, nasi kebuli, serta sop ikan dan sate. Lantaran itu, wajar jika kita perlu memiliki cadangan kepekaan bahwa para penggede sedang memikirkan politik jangka menengah mereka lima tahun ke depan.

Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, para pemain elite dunia politik kita adalah wajah-wajah yang itu-itu juga, yang mendominasi pengaruh di lingkungan masing-masing: Megawati, Prabowo, SBY, Jusuf Kalla, Surya Paloh—beberapa nama lain berusaha memasuki lingkaran yang lebih terbatas itu dengan berbekal dukungan jejaring relasi dan sumber daya ekonomi mereka. Percaturan politik lima tahun ke depan, 2024 khususnya, tampaknya juga belum akan lepas dari nama-nama tersebut sekalipun ada tuntutan untuk regenerasi kepemimpinan, setidaknya karena alasan bahwa mereka sudah semakin tua.

Semakin tua tidak berarti berhenti bermain politik. Para penggede itu berkepentingan untuk menjaga kelangsungan peran keluarga masing-masing di ranah politik. Masing-masing mempersiapkan orang dekat untuk menempati pos-pos kepemimpinan nasional. Langkah ini strategis demi menjaga kelangsungan kiprah mereka secara politik dan ekonomi. Meskipun saling berkompetisi, masing-masing sangat mungkin sepakat, walau tidak terucap, agar kepentingan mereka terakomodasi di tengah persaingan itu.

Pertanyaannya kemudian, apabila isu-isu strategis diputuskan dan diatur hanya oleh segelintir elite atau penggede politik, lantas dikemanakan kehendak rakyat? Apakah demokrasi semacam ini yang kita kehendaki bersama? Apakah gejala-gejala ini bukan menunjukkan fenomena sejenis oligarki? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler