x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 1 Agustus 2019 18:40 WIB

Mengusik Anies, Menggoda Risma

Elite politik semestinya merasa ikut bertanggung jawab untuk membangun fatsun atau etika politik yang layak dicontohkan kepada masyarakat dan diwariskan kepada politikus generasi selanjutnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Jika diibaratkan dalam pemotretan, inilah gambar yang tertangkap kamera: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sedang berdiri dengan latar belakang pulau reklamasi, polusi yang mencemari udara, sampah yang menggunung, dan bis TransJakarta yang teronggok di lahan. Orang cenderung melihat foto hasil jepretan pada momen itu saja dan kurang peduli bahwa latar belakang tersebut sudah ada sebelum Anies tertangkap kamera berada di situ. Ada alur waktu yang tidak dipedulikan.

Sebagai gubernur yang sedang bertugas, Anies memang tidak bisa menghindar dari berbagai isu yang jadi latar belakang potret: dari pulau reklamasi, polusi udara, sampah, hingga mangkraknya bis Trans Jakarta. Anies mewarisi sejumlah persoalan yang harus ia selesaikan, dan persoalan itu sewaktu-waktu dapat menjadi amunisi untuk menyerang dirinya.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Persoalan sampah yang belum teratasi secara tuntas, umpamanya, menjadi peluang bagi Ketua Frakdi NasDem di DPRD Jakarta untuk meledek Anies. Saat mengunjungi Surabaya bersama anggota DPRD lainnya untuk studi banding mengenai pengelolaan sampah, Bestari Barus memuji keberhasilan Walikota Tri Rismaharini dalam mengelola sampah kota Surabaya.

Bestari bahkan menawari Risma agar mau diboyong ke Jakarta dan maju ke pilkada gubernur Jakarta pada 2022. “Masalah sampah ini bisa terselesaikan kalau di pilkada yang akan datang Bu Risma pindah ke Jakarta,” ujar Bestari. Seakan Bestari meledek Anies tidak akan mampu menyelesaikan masalah sampah Ibukota dan ia tidak sabar menunggu datangnya masa pilkada Jakarta tiga tahun mendatang.

Di negara demokrasi, konsekuensi dari menjadi pemimpin ialah siap dikritik, dimaki, disindir, dirundung [dengan gaya medsos kekinian], bahkan juga difitnah—walaupun yang terakhir ini seburuk-buruk kritik. Terlebih lagi ketika Anies kemungkinan akan maju ke gelanggang kompetisi Pilpres 2024. Saat menjadi gubernur merupakan momen di mana Anies bisa berinvestasi untuk menghimpun prestasi yang ia perlukan sebagai bekal untuk maju. Namun, di saat yang sama, pihak-pihak yang tidak menyukai Anies atau yang memiliki keinginan untuk juga maju ke gelanggang yang sama mungkin saja berusaha mendegradasi prestasi itu.

Inilah realitas politik kita: ada rintangan internal pada diri tiap-tiap elite politik untuk bersikap adil dalam memandang persoalan. Bersikap adil adalah juga bersikap kstaria. Tampaknya, ada fatsun politik yang patut dibenahi, yakni kecenderungan untuk memuji dan memuja secara berlebihan disertai kecondongan untuk menafikan dan menyepelekan secara berlebihan. Dalam Pilpres yang lalu, misalnya, ada kecenderungan untuk memuji Jokowi dan Prabowo secara berlebihan, tapi juga ada kecondongan menyepelekan keduanya secara berlebihan.

Sikap adil dan ksatria akan mendorong kepada sikap jujur. Misalnya saja, melihat dan mengakui adanya kebenaran pada pihak lain, dan sanggup mengakui dengan besar hati bahwa ada kemungkinan dirinya salah. Dalam konteks ini, Anies pun mesti siap untuk mengakui seandainya di akhir masa jabatannya nanti ia tidak berhasil mengatasi masalah yang ia janjikan bakal teratasi.

Tapi, apakah politik memang punya karakter yang sebaliknya dan karakter politik ini kemudian mengalami internalisasi ke dalam kepribadian para politikus, sehingga para politikus akhirnya tidak mampu bersikap jujur dan adil karena mungkin sikap tersebut dianggap merugikan secara politis?

Apa yang mungkin kerap dilupakan ialah bahwa para elite politik semestinya merasa ikut bertanggung jawab untuk membangun fatsun atau etika politik yang layak dicontohkan kepada masyarakat dan diwariskan kepada politikus generasi selanjutnya. Ketika pemujaan berlebihan dan pengerdilan berlebihan dianggap sebagai hal yang lumrah, maka fatsun politik yang terbentuk menjadi kurang beradab. Julukan cebong dan kampret adalah contoh yang konkret. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler