x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Senin, 12 Agustus 2019 17:26 WIB

Cerpen | Perempuan Kecil di Atas Gerbong Kereta

Kereta api malam ini, terus melaju menuju Malang. Si perempuan kecil pun memulai obrolan dengan ayahnya. Seperti apa perempuan kecil di atas gerbong kereta?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Laju kereta Jayabaya malam terus berdesis. Jakarta-Malang, di suatu malam. Aku dan keluarga bergerak menelusuri jalanan besi tigabelas jam lamanya. Bersama perempuan kecil di gerbong kereta. Tutt…tutt…tutt, tanda kereta menyusuri jalan.

“Berapa lama lagi perjalanan kita di kereta ini, Abi?” tanya si perempuan kecil di gerbong restorasi.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku hanya sedikit terhentak. Karena aku belum sedikit pun menyeruput kopi hitam yang baru saja dihidangkan pramukereta. Sambil memegag gelas hangatnya kopi, aku jawab “Mungkin, sekitar tujuh jam lagi Nak”.

 

Si perempuan kecil hanya datar saja. Tidak ada ekspresi, tidak pula complain. Maklum si perempuan kecil. Ia anak bontotku yang bersahaja lagi sederhana. Tidak seperti anak remaja putri pada umumnya. Sekalipun baru kelas VII SMP, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Tapi bila sudah bicara, hampir pasti aku tak lagi mampu membantahnya. 

 

Memang di zaman now. Tidak mudah mendidik anak perempuan yang beranjak remaja. Karena tiap gerakan langkah, selalu ada ancaman di belakangnya. Anak-anak perempuan yang terkurung dalam belenggu zaman. Berdesah dalam dekapan gaya hidup. Bahkan nafsu selebritas. Bertindak tanpa aturan, bak orang kaya. Hingga terkesan beringasan. Maka sama sekali salah, bila ada yang mengganggap; mendidik anak perempuan itu mudah. Apalagi lemah…

 

Di atas gerbong kereta. Si perempuan kecil mulai meng-investigasiku secara perlahan. Lembut tapi tiap kata yang keluar dari mulutnya, selalu meluluhkanku. “Aku sekarang kan sudah SMP. Abi mau aku, bagaimana?” tanya si perempuan kecil padaku.

 

Bergemuruh dadaku. Di gerbong kereta restorasi yang kerap bergoyang. Sama sekali, aku tak menyangka. Ada pertanyaan sederhana. Tapi begitu menyulitkan jawabnya. Aku harus bagaimana. “Serius amat pertanyaannya Nak. Abi tidak punya banyak mau tentang kamu. Abi hanya ingin selalu ada di dekat kamu. Itu udah cukup” jawabku datar.

 

“Ohh, ya udah. Kalo cuma itu” sambutnya.

Si perempuan kecil pun mereaksi lagi. Ia bertutur. Bahwa sebenarnya, pertanyaan yang sama pernah dilayangkan kepada kedua kakak laki-lakinya. Tapi dibenaknya, semua jawaban tidak memuaskan. Terlalu datar, lagi tidak memotivasi, pikirnya.

 

Si perempuan kecil mau lebih dari datar, tidak normatif. Karena seperti ada pesan yang hendak disampaikan si perempuan kecil. Tidak tersurat tapi tersirat. Seolah ia hanya ingin berkata “sekalipun dirinya anak bontot. Tapi jangan pernah memandang rendah dirinya. Apalagi sebagai anak perempuan, ia tidak ingin dianggap manja. Ia hanya ingin apa adanya. Dan setiap kakak harus melindungi adiknya”, begitu kira-kira pesannya.

 

Aku pun sedikit menunduk. Tanda bersyukur. Karena si perempuan kecil, bukan hanya tumbuh lebih dewasa. Tapi cara pikirnya sangat realistis. Justru, aku menyebut perempuan kecil. Karena ia memang anak paling kecil, anak bontot dari tiga bersaudara.

 

Sementara di luar sana, betapa banyak orang hidup makin tidak realistis. Gagal tampil menjadi apa adanya. Hingga jati dirinya terlindas dinamika zaman. Terbelenggu nafsu peradaban. Tanpa punya sikap, tanpa punya prinsip lagi dalam hidupnya. Hidup, hanya ter-obsesi pada penampilan belaka. Tampak muka, tiada isi. Lagi-lagi, karakter kuat terbalut kelembutan hati selalu jadi ciri si perempuan kecil. Tetap bersahaja. Agar tidak terlalu cinta pada dunia. Si perempuan kecil, lagi-lagi membuatku terkesima. Sederhana pikirannya tapi berkelas.

 

Bersama di perempuan kecil. Aku selalu tentram. Bahkan terkadang memori saat menimangnya di usia balita menyusup. Sambil bersenandung lagu sholawatan. Kini, aku kembali memanggil memori yang pernah ada. Antara aku dan si perempuan kecil. Sementara di negeri lain, berapa banyak anak perempuan yang “dibiarkan” tergerus ombak kehidupan. Dipkasa berdiri namun tidak ditopang moral dan karakter yang kokoh. Kian hari kian terperi. Akibat lalai menyadari, arti penting si perempuan kecil ketika dulu…

 

Malam ini, lokomotif yang ditumpangi si perempuan kecil terus melaju. Tanpa terasa, dua stasiun telah terlewati. Aku pun tetap asyik menyeruput kopi hitam yang mulai dingin. Namun tetap membubuhkan cita rasa dan aroma yang tak terkatakan. Karena obrolan dengan si perempuan kecil di atas kereta begitu berarti. Sebuah suguhan spesial yang pantas aku kenang hingga ia beranjak dewasa, nanti lima atau sepuluh tahun lagi.

 

Binar mata si perempuan kecil saat menatapku. Sungguh makin membuat luluh hatiku. Ada benarnya kata pepatah. “Anak perempuan adalah cinta sejati seorang ayah di kehidupan lampau”. Ia bukan hanya amanah. Tapi ia juga “cita rasa” yang punya aroma mewangi di segala ruang, di segala waktu. Seperti kopi hitam, si perempuan kecil pun selalu menghadirkan energi yang menembus dari lidah hingga ke hati.

 

Suara gesekan besi rel kereta pun belum mereda. Si perempuan kecil juga belum terkantuk. Diiringi sedikit desiran angin yang terhembus di sela jendela. Si perempuan kecil tetap bergairah untuk terus ngobrol di gerbong kereta.

 

Maka di dalam hati, aku ingin sekali berbisik di telinga si perempuan kecil. Sambil berdoa dan berdialog lembut kepada Allah, “tolong, jadikan ia perempuan bersahaja yang mampu meraih singgasana surga-Mu”.

 

Malam semakin larut. Si perempuan kecil pun berdiri. Mengajak kembali ke bangku kereta di gerbong dua. Sambil menuntun tangan kiriku untuk menelusuri lorong-lorong gerbong kereta. Perempuan kecil di atas gerbong kereta, selalu membuatku sulit berkata-kata. Bahkan, tiap kali ia bicara, aku makin tidak pernah bisa membantahnya.

 

Dari atas gerbong kereta pula. Sambil menggenggam jarinya. Aku berdoa. “Ya Allah, izinkan aku mengecup kening si perempuan kecil. Sambil melantunkan doa. Agar Engkau beri waktu aku untuk terus menemaninya. Hingga ia mengakhiri perjalanan menjadi dirinya sendiri” pintaku dalam hati.

 

Kali ini, biarkanlah malam melampaui mimpi. Biarkanlah pagi melewati pelangi. Bila itu semua, menjadikan cinta bahagia makin bersemi antara aku dan perempuan kecilku. Teruslah melangkah Nak. Tetaplah bersahaja, jadilah dirimu sendiri, bukan menjadi diri orang lain…

 

Karena Tuhan pasti menciptakan senyum tawa perempuan. Agar tiap laki-laki rela melupakan tangisnya sendiri… Aku dan perempuan kecil di atas gerbong kereta.

@cerpen nasehat untuk si perempuan kecil, kusebut ia “sang inspirator” karena tiap detak nafasnya mengalir dalam tulisan-tulisanku … @Kereta Api Jayabaya, Jakarta-Malang, 9 Agustus 2019 #SangInspirator

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu