x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 23 Agustus 2019 21:16 WIB

Mata Ganda Blokir Internet

Dalam situasi chaos, menyumbat saluran komunikasi memang cara yang ampuh agar informasi tidak mudah menyebar luas dan cepat. Di balik niat baik untuk melindungi kebaikan masyarakat agar terhindar dari kabar hoax, penyumbatan internet dan media sosial ini juga efektif untuk menghalangi koordinasi aksi-aksi unjuk rasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam upaya mengendalikan situasi di Papua dan Papua Barat, pemerintah kembali menggunakan taktik memblokir, membatasi, ataupun memperlambat akses internet dan media sosial. Alasan resmi yang dikemukakan pemerintah adalah untuk melindungi masyarakat dan demi kebaikan masyarakat sendiri. Asumsinya, dengan jalur internet dan media sosial diblokir, berita bohong [hoax] tidak dapat beredar sehingga situasi tidak bertambah buruk.

Pemerintah agaknya belajar dari pengalaman dalam mengendalikan situasi di Jakarta, 22 Mei 2019. Blokir internet dan media sosial mungkin dianggap efektif dalam membantu menghalangi peredaran hoax maupun provokasi. Komunikasi di antara warga masyarakat menjadi lebih terbatas, mengingat telepon dan pesan pendek [SMS] lebih merupakan interaksi antar-individu dengan biaya lebih mahal, sedangkan laman internet dan media sosial memungkinkan jangkauan publikasi yang lebih luas dan lebih mudah viral.

Salah satu kritik terhadap kebijakan dan tindakan memblokir akses internet ialah tidak terpenuhinya hak warga akan informasi. Potensi menyebarnya informasi palsu, bohong, dan menyesatkan memang ada, tapi hak warga untuk memperoleh informasi yang benar juga ikut terhalang. Contoh kecil: mereka yang tidak memiliki informasi mengenai adanya demonstrasi di satu tempat, ia mungkin tidak dapat menghindari tempat tersebut dan terjebak di tengah kerumunan massa, padahal ia tidak ingin bergabung dengan aksi demo. Pemerintah sebenarnya dapat menggunakan media yang sama untuk menyampaikan informasi yang benar menurut versi pemerintah sehingga masyarakat dapat mempertimbangkannya. Namun, cara ini mungkin dianggap kurang efektif untuk meredam gejolak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam situasi chaos, menyumbat saluran komunikasi memang cara yang ampuh agar informasi tidak mudah menyebar luas dan cepat. Di balik niat baik untuk melindungi kepentingan dan kebaikan masyarakat agar terhindar dari kabar hoax, penyumbatan internet dan media sosial ini juga efektif untuk menghalangi koordinasi aksi-aksi unjuk rasa. Di era media sosial, komunikasi melalui twitter, whatsapp, instagram, atau line mempercepat sampainya pesan-pesan kepada orang dalam jumlah banyak. Karena itu, media sosial menjadi sarana yang efektik untuk mengoordinasikan aksi.

Penyumbatan menciptakan rintangan yang tidak mudah diatasi. Penggerak aksi akan menemui kesukaran dalam melakukan koordinasi di antara mereka. Masyarakat pun tidak akan mudah mengetahui ada kegiatan apa di satu tempat dan kapan—artinya, koneksi antara warga dan sumber informasi aksi diputus. Dengan cara ini, aksi-aksi di lapangan akan lebih mudah diatasi dan situasi yang semula cenderung memburuk akan lebih mudah dikendalikan, karena antara lain lokasi aksi dan jumlah peserta jadi lebih terbatas.

Dalam studinya yang mendalam dan dibukukan dalam ‘Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest’ [terbit 2017, Yale University Press], Zeynep Tufekci mendiskusikan bagaimana teknologi berjejaring seperti internet dan media sosial mengubah lanskap ruang-waktu dan mengonfigurasi-ulang konektivitas masyarakat. Pengalaman Zeynep dalam ikut serta demo antiglobalisasi, anti Perang Irak, penggulingan Hosni Mubarak, hingga protes di Taman Gezi, Istanbul [2013], menjadikan ulasannya lebih otentik.

Seperti ditunjukkan Tufekci, pemanfaatan teknologi berjejaring—dengan fokus Twitter dan Facebook—memungkinkan mobilisasi massa yang jauh lebih cepat dibandingkan di masa lalu. Tentang hal ini, dalam Here Comes Everybody (2008), Clay Shirky menyebutkan: tidak perlu 6 bulan untuk menggelar pawai besar, sebab tanda tagar # sangat ampuh untuk mengerahkan pemrotes ke jalan-jalan. Kompleksitas logistik untuk kegiatan aksi juga dapat diatasi dengan aktivitas crowdfunding—orang-orang memberi sumbangan sukarela untuk keperluan logistik aksi, seperti makanan dan minuman. Tatkala ditautkan oleh isu yang menjadi keprihatinan yang sama, orang dengan mudah berkumpul.

Di masa pra-internet, gerakan sosial bersandar pada media massa konvensional untuk publisitas aksi: koran, radio, dan televisi. Atensi publik menjadi oksigen bagi gerakan, jadi ini ketergantungan yang tidak mudah. Tapi kita tidak lagi hidup di zaman ketika media massa menjadi sumber informasi utama dan satu-satunya. Di tengah kelimpahan informasi, atensi menjadi komoditas paling diperebutkan. Karena itu aksi menimbulkan reaksi seperti ini: gerakan sosial menarik atensi dan sensor merintanginya. Basis penting untuk memahami situasi ini ialah bahwa ruang publik online dan ruang publik offline merupakan kontinum yang seharusnya tidak terputus. Ketika koneksi kedua ruang publik diputus, putus pula kontinum itu, sehingga situasi chaos lebih mudah ditangani..

Efektivitas pembatasan akses internet di Jakata [Mei] dan Papua [Agustus] merupakan modal pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah. [foto tempo.co] >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler