x

Sejumlah pegawai KPK menggelar aksi menolak revisi UU KPK dengan membagikan bunga di Car Free Day, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Ahad, 8 September 2019. TEMPO/M Rosseno Aji

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 20 September 2019 08:50 WIB

Rakyat Hanya Dijadikan Objek Politik

Praktik penyusunan, perumusan, dan persetujuan undang-undang yang tengah berlangsung sekarang ini memperkuat pandangan bahwa rakyat belum menjadi subyek utama demokrasi kita. Rakyat tidak dimintai pendapat oleh pemerintah maupun DPR dalam menyusun maupun merevisi sejumlah undang-undang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Praktik demokrasi di Indonesia ternyata menyimpan cacat di dalamnya. Orang kerap menyebutnya demokrasi prosedural, karena secara prosedural praktik politik yang dijalankan seakan-akan tampak sudah mengikuti prosedur demokrasi, seperti ada lembaga legislatif, pemilihan presiden, partai politik, dan rakyat yang memilih. Namun, istilah demokrasi prosedural itu tidak cukup mampu menggambarkan betapa menyedihkan praktik demokrasi kita. Ini mengingat keadaan substansinya lebih buruk dari sekedar prosedur yang tampak di permukaan.

Dalam demokrasi, rakyat adalah subyek yang utama. Rakyatlah pemilik mandat yang diberikan setidaknya kepada tiga pilar demokrasi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dua mandat rakyat diberikan secara langsung kepada legislatif dan eksekutif melalui pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Sedangkan mandat untuk menegakkan hukum dan keadilan diberikan kepada yudikatif tidak secara langsung. Para hakim yang top-markotop di Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, yang diharap oleh rakyat jadi benteng penjaga keadilan, dipilih oleh dua institusi lain.

Dalam pilpres yang lampau, kita bisa melihat bagaimana rakyat bukanlah subyek yang utama. Pilihan rakyat dibatasi oleh aturan main presidential treshold 20% yang memang sengaja dibuat oleh para elite agar tidak mengguncang stabilitas kekuasaan mereka. Aturan itu hanya mampu meloloskan dua pasangan capres, sehingga rakyat tidak memperoleh tawaran yang lebih menarik. Kemunculan calon pemimpin yang lebih segar dalam kualitas kepemimpinannya tersumbat oleh aturan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Praktik penyusunan, perumusan, dan persetujuan undang-undang yang tengah berlangsung sekarang ini memperkuat pandangan bahwa rakyat belum menjadi subyek utama demokrasi kita. Rakyat tidak dimintai pendapat oleh pemerintah maupun DPR dalam menyusun maupun merevisi sejumlah undang-undang. Dalam menyepakati revisi UU KPK, baik pemerintah maupun DPR tutup telinga terhadap suara rakyat. Begitu pula dengan penyusunan revisi undang-undang KUHP maupun rancangan lainnya, rakyat tidak diajak berbicara. Lantaran itu, bagaimana kita dapat menyebut bahwa rakyat sudah menjadi subyek utama dalam demokrasi kita?

Tampaklah benar bahwa suara rakyat hanya diperlukan sebagai alat legitimasi untuk duduk di pemerintahan dan parlemen. Para elite politik dan ekonomi pendukungnya mendorong rakyat berkumpul di stadion-stadion untuk mendengarkan orasi para elite yang mengumbar beragam janji mereka. Mereka mendorong rakyat agar berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara. Mereka menyediakan beragam sarana penghitung suara dan penyaji hasilnya untuk menunjukkan bahwa pemilu berjalan transparan.

Namun semua itu tidak mewakili substansi demokrasi bahwa rakyatlah yang menyepakat ke arah mana bangsa dan negara ini berjalan, bukan sekedar alat legitimasi agar bisa memerintah dan menyusun aturan sesuka hati. Semua undang-undang yang tengah disusun dan direvisi itu, yang mengabaikan masukan-masukan rakyat, memperlihatkan bahwa para elite politik merasa lebih tahu dan merasa lebih berhak untuk menentukan jalannya bangsa dan negara. [Sayangnya, mereka tidak lebih tahu dan tidak lebih bijak. Sekedar ilustrasi, tempo.co memberitakan tentang seorang politisi yang menceritakan bagaimana besarnya hukuman pidana di revisi KUHP ditetapkan berdasarkan kira-kira, bukan dilandasi oleh pertimbangan rasional yang matang sehingga melenceng dari rasa keadilan. Baca: https://nasional.tempo.co/read/1250051/anggota-dpr-sebut-sanksi-pidana-di-rkuhp-disusun-pakai-perasaan]

Nyatalah benar, rakyat hanya jadi objek politik para elite. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler