Debat seru bertajuk 'Ragu-Ragu Perpu' dalam acara Mata Najwa di Trans7 , Rabu, 9 Oktober 2019 malam masih menjadi perbincangan publik. Acara ini menghadirkan Sekjen Partai NasDem Johhny G. Plate, anggota DPR Fraksi PDIP Arteria Dahlan, dan anggota DPR Fraksi Gerindra sekaligus Ketua Baleg Supratman Andi Agtas.
Mereka berhadapan dengan kubu pro penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim, Direktur PUSAKO Universitas Andalas Feri Amsari, dan Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indonesia Djayadi Hanan.
Sorotan masyarakat diarahkan pada “debat kusir” antara Arteria Dahlan (44 tahun) dan Emil Salim (89 tahun). Berikut ini cuplikan beberapa poin yang menarik, dan kami berupaya memberikan sedikit ulasan.
1.Soal keberhasilan KPK
Disini terlihat adanya perbedaan tolok ukur. Arteria menilai dari rincian tugas dan janji KPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun Emil Salim melihat dari ukuran yang lebih umum, yakni banyaknya tokoh penting, yakni ketua partai yang masuk penjara karena KPK. Hal ini bisa kita lihat dari kutipan berikut:
- Arteria Dahlan: "Prof, yang saya ingin katakan pelemahannya dimana? Berhasil dan tidak berhasilnya KPK itu yang tahu kami. Begitu 2015 terpilih, dia buat grand design, roadmap, janji-janji yang harus dikerjakan. Publik ini enggak tahu. Publik ini terhipnotis dengan OTT-OTT (operasi tangkap tangan), seolah-olah itu hebat. Padahal, janji-janji KPK itu banyak sekali di hadapan DPR yang 10 persennya pun belum tercapai."
- Emil Salim: "Apa semua ketua partai yang masuk penjara, apakah itu bukan bukti keberhasilan KPK?"
2.Soal tugas KPK yang dianggap tak dikerjakan
Debat masih berlanjut soal pekerjaan rumah yang menurut Arteria tidak dikerjakan oleh KPK. Menangapi hal ini, Emil cenderung bertahan.
- Arteria: "Dengan segala hormat saya sama Prof, Prof bacalah tugas fungsi kewenangan KPK. Tidak hanya melakukan penindakan tapi pencegahan. Gimana penindakan, supervisi, monitoring, koordinasinya. Ini enggak dikerjakan Prof. Tolong jangan dibantah dulu."
- Emil: "Tapi hukum telah dijatuhkan."
- Arteria: "Yang kedua, saya ingin katakan kenapa kami buat Dewan pengawas. Saya ingin sampaikan biar Prof juga jelas. Kita bicara hukum sama ahli hukum. Bicara hukum pidana korupsi sama ahli pidana korupsi. Bukan saya mendiskreditkan Prof. ….Ini yang saya katakan, ini yang kita coba kita hargai capaian KPK. Tapi enggak boleh menutup mata kalau harus ada pembenahan KPK. Tahu enggak Prof, siapa pelakunya?" ucapnya.
- Emil: "Dalam aturan UU KPK, ada kewajiban menyampaikan laporan. Tiap tahun dia menyampaikan laporan."
- Arteria: "Enggak pernah dikerjakan Prof. Prof tahu enggak. Mana Prof? Saya di DPR Prof, enggak boleh begitu Prof. Saya di DPR, saya yang tahu, Prof. Mana? Prof, sesat! Ini namanya sesat! Prof, sesat!"
3.Soal kesenjangan kredibilitas
Pada bagian ini, Emil membawa persoalan ke masalah yang lebih mendalam soal demokrasi. Adapun Arteria cenderung bertahan, agak terpeleset sediki atau kurang jelas maksudnya ketika ia bilang: "Anda bisa jadi menteri karena proses politik di DPR" karena menteri dipilih oleh Presiden.
- Emil: "Jadi, yang jadi soal itu ada credibility gap. Bung bilang dipilih. Yang jadi persoalan, cara memilih itu bebas dari korupsi?"
- Arteria: "Ya, iyalah. Prof nanya saya terpilih bebas korupsi atau tidak. Saya yakin. Jangan digeneralisir. Anda bisa jadi menteri karena proses politik di DPR, Pak. Jangan salah. Kasih contoh Pak ke generasi muda, Pak. Bernegara dengan baik. Bekerja dengan baik."
- Emil: Yang menjadi persoalan dalam demokrasi di Indonesia bahwa ada laporan berupa buku. (Belum sempat dia menjelaskan, Arteria Dahlan menyela pembicaraan.) Emil tiba-tiba memukul meja. "Dengar dulu!"
- Emil lagi: "Demokrasi for sale, dimana seluruh yang terjadi penangkapan KPK adalah para politisi yang dipilih. Jadi persoalannya pemilihan yang kita jalankan belum tentu kredibel. Itu jadi persoalan. Jadi Bung bangga, saya dipilih. Tapi apa betul dipilih secara betul? Berapa ongkos yang dikeluarkan? Dari mana uangnya?"
4.Perbedaan visi sekaligus kematangan
Dari perdebatan itu, tampak sekali perbedaan cara pandang dan visi mengenai KPK. Arteria menempatkan diri sebagai politikus yang sejak awal, seusai dengan sikap PDIP, menolak rencana peru untuk membatalkan revisi UU KPK. Ia muda dan bersemangat. Adapun Emil Salim lebih matang. Walaupun dulu mengabdi pada Order Baru, ia pro pemberantasan korupsi. Di era Orde baru pun, Emil terbilang cukup bersih.
Apa benar Emil Salim sesat? Atau Siapa yang sebenarnya sesat? Anda semua bisa menilai sendiri dari perdebatan itu.***
Baca juga:
Wiranto Masuk Daftar Empat Pejabat yang Diancam Dibunuh
Ikuti tulisan menarik Ratna Asri lainnya di sini.