Politikus Hanum Salsabiela Rais rupanya tak hanya dilaporkan dengan memakai Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Yogyakarta ini juga terancam aturan kuno alias jadul.
Putri mantan Ketua MPR Amien Rais itu ketiban masalah gara-gara berkomentar negatif di media sosial mengenai penusukan Menko Polhukam Wiranto. Tak cuma Hanum sejumlah pemilik akun juga dilaporkan ke polisi, yakni Jerinx, Bhagavad Samabhada, Gilang Kazuya Shimura, dan Jonru Ginting.
Selain UU ITE, mereka juga terancam Undang –Undang No.1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Mari kita lihat penerapan dua aturan ini.
Menyebarkan kebencian
Aturan dalam Undang-undang ITE yang digunakan untuk Hanum cs adalah Pasal 28 Ayat 2 yang berbunyi:
- Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Hukumannya diatur dalam Pasal 45 Ayat 2: paling lama enam tahun penjara dan/atau denda Rp 1 miliar. Aturan ini sudah banyak makan korban, terutama warganet yang menyebarkan konten mengandung kebencian sekaligus berbau SARA. Ahmad Dhani juga dijaring dengan pasal ini.
Hanya, unsur SARA akan sulit dibuktikan dalam kasus Hanum Rais dan kawan-kawan. Komentar mereka terkesan meledek atau menyindir Wiranto, tapi tidak ada unsur SARA.
Menyebarkan berita bohong
Undang-undang ini merupakan warisan kolonial yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia. Dua pasal dalam Undang-undang No. 1/1946 digunakan untuk melaporkan Hanum cs dikenal lentur, yakni:
- Pasal 14:
- Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
- (2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
- Pasal 15.
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya dua tahun.
Dua pasal itu mengandur unsur: menimbulkan keonaran di masyarakat. Apa benar komentar Hanum cs menerbitkan keonaran? Inilah yang perlu dibuktikan dan selalu bisa diperdebatkan. Elemen lain adalah menyiarkan berita bohong (Pasal 14) dan kabar tidak pasti (Pasal 15). Semua ini juga perlu pembuktian yang tidak mudah.
Pemakaian kedua pasal itu juga kontroversial. Ada ahli hukum itu yang berpendapat asal itu seharusnya tidak digunakan lagi karena tidak masuk dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana . Tapi, ada juga yang berpendirian: pasal-pasal itu masih berlaku karena belum ada undang-undang yang mencabutnya.
Yang jelas, hakim menggunakan pasal tersebut dalam kasus Ratna Sarampaet yang juga dituduh menyebarkan kabar bohong. Ia akhirnya dihukum 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juli lalu.
Imunitas Hanum
Sebagai anggota DPRD Hanum Rais sebenarya memiliki hak imunitas atau kekebalan hukum. Ucapan dia di dalam maupun di luar persidangan Dewan tidak bisa dituntut secara hukum asalkan berkaitan dengan fungsi dan wewenangnya sebagai anggota DPRD.
Dengan kata lain, Hanum perlu membuktikan bahwa komentarnya berkaitan dengan tugasnya sebagai politikus. Polisi juga tidak bisa memeriksa Hanum serampangan karena untuk pemanggilan DPRD harus seizin Menteri Dalam Negeri.***
Baca Juga:
Nyinyir di Medsos, PNS Bisa Dipecat: Kenapa Aturan Ini Rada Ngawur?
Ikuti tulisan menarik Anung Suharyono lainnya di sini.