x

Iklan

Mahfuzulloh Al Murtadho

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 Oktober 2019

Kamis, 17 Oktober 2019 15:09 WIB

Pancasila Dikorupsi

Saya akan mencoba meng-capture beberapa fenomena yang menunjukkan perilaku “mengkorupsi” yang terjadi pada akhir-akhir ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gagasan Pansasila sebagai dasar dan ideologi bangsa merupakan sebuah proses dialektika yang cukup panjang sebagai upaya para pendiri bangsa untuk mewariskan bangsa Indonesia yang maju dan beradab. Proses dialektika yang cukup panjang tersebut pada akhirnya menemukan titik kompromi dan lahirnya Pancasila sebagai Idelogi Bangsa Indonesia dan Dasar Negara Republik Indonesia. Hal tersebut bisa kita baca dalam berbagai literasi yang menarasikan proses kelahiran Pancasila.

Seperti dalam buku “Kumpulan Pidato BPUPKI” yang diterbitkan oleh media presindo Yogyakarta tahun 2006, salah satu isinya adalah Pidato Bung Karno pada tanggal 1 Agustus 1945 yang berjudul “Lahirnya Pancasila” di depan Dokuritsu Junbi Cosakai yang dalam Bahasa Indonesia disebut Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Di situlah Sukarno pertama kali menyampaikan nama dan unsur-unsur yang ada dalam Pancasila yang akan dijadikan sebagai dasar Negara Republik Indonesia.

Konsepsi Pancasila

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Proses Komprominya setelah BPUPKI menunjuk 9 orang untuk bergabung dalam Panitia 9 yang terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin yang ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah melalui proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya rumusan Pancasila hasil penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada sidang PPKI I tanggal 18 Agustus1945.

Pancasila dalam perspektif konseptual sebetulnya sudah tergambar dalam dialektika panjang proses kelahirannya seperti diuraikan di atas. Di mana para Founding Father bangsa ini, berfikir keras untuk mencari sebuah dasar negara dan ideology bangsa yang mampu mengakomodir bangsa dan rakyat Indonesia dalam kondisi yang heterogen, baik agama, ras, budaya dan suku yang menyebar di wilayah Kesatuan Republik Indonesia. Karena para fouding father pendiri bangsa ini yakin dan faham betul dengan ideology dan dasar negara yang mampu mempersatukan bangsa ini, akan menjadikan Negara Indonesia akan bisa mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Soeprapto, Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB) bahwa Setiap faham filsafat pasti berisi konsep, prinsip dan nilai untuk dijadikan landasan dalam memberikan makna terhadap fenomena alam dan fenomena kehidupan serta sebagai acuan apabila faham filsafat tersebut ingin diterapkan dalam kehidupan yang nyata. Demikian pula halnya dengan Pancasila. Selain nilai-nilai luhur kemanusiaan dimana merupakan keniscayaan dalam kehidupan manusia, seperti kejujuran, keadilan, saling tolong menolong, saling menghargai dan sebagainya, Indonesia dianugrahkan sang pencipta berupa kekayaan perbedaan agama, budaya, ras, golongan dan suku-suku.

Sejatinya Pancasila

Ketika peradaban umat manusia dan bangsa semakin kompleks, makan spectrum implementasi nilai-nilai Pancasila dalam prespektif kontekstual juga semakin luas. Artinya Pancasila dengan berbagai varibel turunanya, baik itu politik, huku, pendidikan, social kemasyarakatan, ekonomi, tatakelola pemerintahan dan semua aspek yang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa lepas dari jangkauan “saktinya Pancasila”.

Menurut Prof. Dr. Buya Syafi Maarif, yang dikutif dalam artikel Pemikiran Syafii Maarif tentang Negara dan Syariat Islam Indonesia, yang ditulis oleh Ahmad Asroni “Agama (Islam) cukup ditempatkan sebagai landasan etik dan spirit bernegara.Dalam konteks keindonesian, Buya Syafii Maarif masih meyakini bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang tepat bagi Indonesia.Menurutnya, Pancasila sebagai dasar negara harus senantiasa disinari wahyu (agama).

Di bawah sinar wahyu atau agama, Pancasila mempunyai landasan moral yang kokoh, yakni moral transendental. Dengan landasan moral-religius yang kokoh,bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali menjadi pujian dunia sebagai negara yang berhasil menciptakan harmoni kehidupan beragama sebagaimana yang pernah terjadi di masa silam”.

Menurut Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Dr. Mahfud
MD, “Sangat vital untuk memastikan bahwa politik hukum harus berjalan sesuai dengan Pancasila. Jadi Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jadi politik hukum itu adalah alat untuk bagaimana negara dirancang dan dikontrol agar sesuai dengan Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara misalnya sebagai pemersatu, pedoman hidup, dasar negara, dan Pancasila sebagai dasar negara itulah yang melahirkan perundang-undangan. Sedangkan selain sebagai dasar negara itu Pancasila sebagai pedoman perilaku, moral, etika. Jadi Pancasila itu spektrumnya sangat luas”.

Perilaku Koruptif terhadap Pancasila

Melihat definisi korupsi secara umum, Transparency International (TI) mendefinisikan korupsi sebagai "the abuse of entrusted power for private gain", atau memanfaatkan kekuasaan yang telah dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Ini bisa dikategorikan dalam korupsi besar, kecil dan politik. Besaran uang juga mempengaruhi kategori korupsi. Sehingga dalam konteks “mengkorupsi” Pancasila dalam pandangan saya adalah, memanfaat kekuasaan untuk dalam melegalkan berbagai aktifitas berbangsa dan bernegara yang berlindung dan mengatasnamakan nilai-nilai luhur Pancasila.

Ketika dirunut terlalu jauh mungkin tidak akan pernah cukup dalam ratusan buku ketika harus menarasikan perilaku “mengkorupsi” Pancasila. Namun saya akan mencoba mengcapture beberapa fenomena yang terjadi pada khir-akhir ini yang cukup memeras energy seluruh rakyat Indonesia. Pertama, Formalisasi Syari’at Islam. Dengan berlindung dan menggunakan Pancasila, sebagian pemangku kebijakan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah mendorong terwujudkan formalisasi syari’at Islam. Seperti dikritik oleh Buya Syafii Maarif, “bahwa kebanyakan mereka yang menghendaki pemberlakuan Syariat Islam sejatinya tidak paham tentang hakekat Syariat Islam itu sendiri. Mereka memahami Syariat Islam sebatas hukum saja, padahal Syariat sejatinya merupakan agama itu sendiri (ad-dîn) yang bersifat holistik. Esensinya adalah keadilan, bukan hukum-hukum yang bersifat particular”.

Kedua, Politik Identitas. Fenomena Ahok (Basuki Acahaya Purnama), sebagai symbol representasi kelompok minoritas dari kaum kristiani menjadi mindset disebagian umat Islam Indonesia, maka ketika dia divonis menistakan agama menjadi kemenangan umat Islam. Kondisi ini berlanjut pada dialektika kontestasi-kontestasi politik berikutnya. Semua kelompok-kelompok identitas tersebut meyakini kebenarannya atas nama Ideologi Pancasila dan Kesatuan Republik Indonesia.

Ketiga, Politik Dinasti. Berlindung dalam narasi semuar warga negara Indonesia mempunyai hak politik yang sama, sesuai dengan Pancasila dan UUD 45. Sehingga generasi-generasi yang menjadi pelopor reformasi dan pejabat pemerintahan di era reformasi “menjilat ludahnya” sendiri, karena tidak sedikit pejabat negara di era reformasi yang permissive terhadap politik dinasti. Sebut saja Megawati Sukarnoputri yang memasukan anaknya di cabinet, Amin Rais, yang 3 anaknya menjadi Anggota Legislatif, Susilo Bambang Yudoyono, bahkan menjadikan anaknya sekjen partai yang didirikannya dan mendorong anaknya untuk keluar dari TNI dan berkiprah di politik. Kondisi nampaknya tidak akan jauh berbeda akan dilamai oleh Prresiden Republik Indonesia Jokowi, di mana salah satu anatnya dan besannya juga akan segera diorbitkan dalam kancah politik. Dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terlebih di tingkat Propinsi dan Kabupayen/Kota.

Keempat, Pelemahan Agenda Pemberantasan Korupsi. Revisi Undang-Undang KPK yang dilakukan secara tergesa-gesa oleh DPR, juga mengatasnamakan Pancasila. Walaupun menuai gelombang demonstrasi besar-besaran secara massif di sebagian besar propinsi di Indonesia, bahkan sampai menelai korban jiwa, namun Undang-Undang tersebut tetap disahkan dan DPR tidak membatalkannya. Disisi lain penanganan apparat keamanan yang masih saja menggunakan pendekatan repressif juga mengatasnamakan Pancasila.

Kelima, Penegakan hukum yang tekstual bukan kontestual. Seorang nenek yang menebang beberapa pohon milik orang lain hanya untuk keperluan kayu bakar, sama diposisikan sebagai pencuri di mata hukum. Seorang ibu yang mencuri beberapa singkong untuk dijadikan makanan karena kelaparan, diposisikan sama dengan pencuri pada umumnya. Masyarakat yang dimiliki tanahnya oleh para konglomerat karena tidak memiliki keadministrasian yang sah, gagal merebut tanahnya karena para konglomerat memiliki surat-surat tanah tersebut, padahal masyarakat sudah menempati tanah tersebut secara turun-temurun, namun karena tidak memiliki dokumen yang sah. Dan banyak lagi kasus hukum yang ditangani melalui pendekatan formal bukan pendekatan substansial.

Mudah-mudahan Pancasila tidak hanya menjadi jargon dan hiasan yang nempel di dinding untuk hanya sekedar menegasikan lembaga dan sosok pancasilais, namun merwat dan membumikan nilai-nilai luhur Pancasila pasti lebih esensial untuk merawat Indonesia

 

PENULIS  Direktur Democracy Elektoral and  Empowerment Pratnership. 

Ikuti tulisan menarik Mahfuzulloh Al Murtadho lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler