x

Warga berbelanja daging ayam pada hari pertama perayaan Tradisi Meugang menyambut Idul Adha 1440 Hijriyah di pasar tradisional Peunayung, Banda Aceh, Aceh, Jumat 9 Agustus 2019. Pada hari pertama tradisi meugang Idul Adha 1440 Hijriyah, harga daging ayam naik dari Rp35.000 menjadi Rp40.000 per ekor akibat meningkatnya permintaan pasar, sedangkan stok mencukupi. ANTARA FOTO/Ampelsa

Iklan

M. Nur Kholis Al Amin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Oktober 2019

Senin, 28 Oktober 2019 16:04 WIB

Nasib Pasar Tradisional yang Dulu Pernah Jadi Media Dakwah Islam

Dari keadaan nyata dengan keberadaan "pasar tradisional" yang kini semakin ditinggalkan, sebenarnya terdapat beberapa pelajaran yang bisa di ambil--dari pasar tradisional--dalam kacamata "Islam"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Well, kesempatan kali ini kita akan belajar bersama arti pentingnya pasar bagi kehidupan masyarakat, terlebih ketika mentelaah mengenai beberapa aspek dari pasar tradisional.

Oke, singkat saja ya guys... Pasar, sejak dahulu bisa dikatakan sebagai sarana berkumpulnya orang, untuk bertukar kebutuhan (kalau era sekarang Jual Beli), bahkan Jauh sebelum peradaban "Islam" dengan fiqh muamalatnya diperkenalkan bagi "masyarakat pendukungnya". Beberapa perkembangan yang disertai dengan tujuan dan manfaatnya (pasar tradisional) pun dapat dirasakan oleh berbagai kalangan dan juga perkembangan ilmu "perdagangan", sarana dakwah, sarana menerapkan ilmu agama dsb. Namun, sayangnya di era modern seperti sekarang ini (sebagian ahli bahasa menyatakan bahwa era modern=مضر) ternyata sudah tidak praktis dan tidak hemat waktu apabila bertransaksi ditempat, semuanya harus serba online. Kira-kira gitu ya....

Lantas, dari keadaan nyata dengan keberadaan "pasar tradisional" yang kini semakin ditinggalkan, sebenarnya terdapat beberapa pelajaran yang bisa di ambil--dari pasar tradisional--dalam kacamata "Islam", di antaranya:

  1. Aspek Sejarah Islam Nusantara
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perkembangan Islam di Nusantara tidak terlepas dari para tokoh sufi (wali) yang cara menyampaikan ajaran Islam di antaranya melalui jalur perkawinan dan juga perdagangan (berbeda dengan penyebaran Islam di Eropa yang biasanya identik dengan peperangan, sehingga oleh Barat, Islam lebih dikenal dengan Agama Pedang).

Dari perdagangan ini, tempat utama untuk melakukan kontak komunikasi adalah di pasar tradisional. Sehingga, tata kota untuk lokasi pasar, tidak akan berjauhan dengan pusat kota (alun-alun) dan juga terdapatnya masjid (pasar-alun2-masjid). Hal ini merupakan cara para penyebar Islam dahulu untuk mengajak (masyarakat banyak) untuk beribadah di masjid (mengenalkan Islam). Saat ini, peninggalan tata kota tersebut bisa saudara temukan di pusat-pusat kota yang ada di Indonesia.

  1. Pasar Tradisional sebagai Sarana Menerapkan ilmu Agama

Antara orang yang mengerti dengan orang yang tidak/belum mengerti jelas bedanya, sebagaimana yang telah diisyaratkan secara tersurat dalam beberapa ayat al-Qur'an. Namun, beban seseorang yang telah mengerti salah satunya adalah "mengamalkan" kemengertiannya dalam prakrik nyata. Yang di antaranya dapat diterapkan dalam berdagang/ berjual beli.

Pasalnya, prinsip transaksi yang telah dijelaskan dalam "fiqh muamalat", seperti (الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمه), konsep anta raadhin, konsep manfaat dan menolak mudhorat (درؤ المفاسد مقدم على جلب المصالح), konsep meniadakan ghoror, keadilan,--belum pasti dapat diterapkan secara sempurna dalam cara penyampaian transaksi tersebut. Seperti khiyar, model ghoror, bahkan pengambilan untung berlebihan yang mungkin masih acapkali terjadi.

Semisal, calon pembeli dan penjual yang masih mengadakan akad dan belum selesai (atau salah satu mengakhiri akad jadi/tidaknya) ditengah-tengah ba bi bu tersebut penjual lain menawari calon pembeli, maka sebenarnya ini tidak dibenarkan. Belum lagi menjual suatu barang (BS: Barang Sortiran/ cacat) yang diaku sebagai barang bagus dsb, dan mungkin menjual secara aji mumpung. He he he...

Dengan demikian, sebenarnya pasar tradisional mengajarkan bagi pihak-pihak yang bertransaksi untuk menerapkan ilmu agama (kejujuran, keadilan, kemanfaatan, kehalalan) dalam praktik nyata. 

  1. Melatih Kesabaran

Pasar tradisional, juga mengajarkan bagi para penjual untuk melatih kesabaran. Karena, biasanya ada-ada saja calon pembeli yang menawar harga sangat murah bak menawar barang bekas bahkan mencaci barang dagangan padahal sudah berantakan barang dagangan ini itu, akan tetapi tidak jadi membeli malah mencaci. Di sinilah penjual harus pandai untuk mengolah hati, bukan mengolah emosi. Belum lagi saat sepi, tidak boleh mengeluh akan rejeki karena semua sudah diatur oleh Sang Ilahi Rabbi.

Kini nasib pasar tradisional yang syarat makna dan ajaran mulai terpinggirkan.

#Refleksi_Penulis_sebagai_Bakul_ing_Pasar

 

Ikuti tulisan menarik M. Nur Kholis Al Amin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 jam lalu

Terpopuler