x

Kaisar Roma Marcus Aurelius saat berkuda

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 11 November 2019 08:17 WIB

#SeninCoaching: Siapa Mau Memimpin Cara Kaisar Roma

Mereka, para eksekutif yang mengaku layak memimpin tersebut, telah khilaf, bahwa perilaku kepemimpinan memberikan pengaruh 50% - 70% pada budaya organisasi. Sedangkan budaya organisasi merupakan faktor tunggal terbesar, 35%, yang mempengaruhi prestasi kinerja usaha -- terbaca pada Profit & Loss, Balance Sheet, dan people engagement. Yang 65% dipengaruhi oleh lima sampai enam faktor secara bersamaan, termasuk regulasi pemerintah, hak paten, kekuatan modal, kondisi lingkungan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: Learning Marcus Aurelius Way

 

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 “If you are distressed by anything external, the pain is not due to the thing itself, but to your estimate of it; and this you have the power to revoke at any moment.”Marcus Aurelius.

Marcus Aurelius berkuasa sebagai Kaisar Roma dari tahun 161 sampai 180 CE (Common Era). Transisi kekuasaannya berjalan mulus, setelah ia selama lebih dari 20 tahun magang pada ayah angkatnya, Kaisar Antoninus Pius (berkuasa 138–161). Marcus telah memperoleh kekuasaan secara konstitusional. Nama lengkapnya jadi Imperator Caesar Marcus Aurelius Antoninus Augustus.

Dalam sejarah kekaisaran Roma, minimal ada tiga hal penting yang menjadi legasi Marcus Aurelius.

Pertama, ia membuka peluang jabatan co-emperor. Kekaisaran ganda ini ia terapkan bersama saudara angkatnya, Imperator Caesar Lucius Aurelius Verus Augustus. Dengan kekuasaan secara konstitusional setara, Kaisar Lucius Verus –yang diceritakan lebih fokus memimpin bala tentara di perbatasan wilayah– dinilai kurang sehebat Marcus Aurelius. Dalam pengelolaan negara secara keseluruhan, Kaisar Marcus Aurelius terbukti lebih matang.

Kedua, Marcus Aurelius dikenal sebagai sosok terakhir dari lima kaisar terbaik –Five Good Emperors of Rome– setelah Nevra, Trajan, Hadrian, dan Antoninus Pius. Pada masa kekaisarannya, Marcus Aurelius selain berhasil menyelesaikan konflik di perbatasan juga tabah dalam mengatasi wabah dan demoralisasi. Ia memang bukan legislator ulung, tapi Marcus seorang yang gigih dan berhasil menerapkan peran penting ombudsmen.

Ketiga, kecenderungan Marcus Aurelius pada diskursus intelektual dan kerohanian telah menjadikan dirinya sebagai seorang kaisar yang lihai bertempur, piawai mengelola pemerintahan, juga sekaligus dikenal sebagai filsof.

Marcus Aurelius utamanya berguru pada Epictetus, filsuf dan guru moral yang mengembangkan ajaran Stoic. Marcus Aurelius kemudian menulis “Meditations”, buku tentang praktik stoicism, yakni daya tahan menghadapi rasa sakit dan kesulitan apa pun tanpa goyah (tidak mudah mengeluh).

Praktik ketabahan dalam “Meditations” berakar pada ajaran Yunani Kuno yang pengembangannya dirintis di Athena oleh Zeno dari Citium. Menurut ajaran ini, kebajikan tertinggi berbasis pada pengetahuan, orang bijak menjalani hidup dalam harmoni dengan Kehendak Langit yang mengendalikan alam, tidak perduli pada perubahan nasib baik, kesenangan dan penderitaan.

Pemikiran politik Marcus Aurelius tertuang dalam “Meditations”. Di dalamnya bisa kita dalami refleksi-refleksinya tentang pemerintahan, sikap batin terpuji dan tindakan yang sepantasnya dilakukan para pemimpin.

Ada indikasi Marcus Aurelius, lewat “Meditations”, seperti menguatkan nyali dirinya sendiri dalam menghadapi tugas-tugasnya yang berat – menurut perspektif hari ini mungkin kondisi saat itu semacam VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambiguous. Istilah ini awalnya dipakai oleh Militer AS dalam menyikapi situasi saat USSR kolaps awal 1990-an).

VUCA juga sudah dikenal kalangan pelaku bisnis. Barangkali karena itu, atau oleh sederet sebab lainnya yang membuat para eksekutif organisasi-organisasi kelas dunia membutuhkan keseimbangan batin dan intelektualitas, di kalangan mereka beberapa tahun terakhir buku “Meditations” Marcus Aurelius juga sangat laku.

Mereka meyakini, pemimpin hebat dan heroik serta tabah menghadapi segala macam tantangan perlu bersikap bijak, tidak terpengaruh oleh kefanaan dunia, lepas dari kecenderungungan hanya pada materi, “daging”, fisik – “the triviality, brutishness, and transience of the physical world”.

Hal penting dalam stoicism adalah ketabahan dan pengendalian diri. Perilaku mudah marah mereka anggap merupakan kelemahan seorang pemimpin. Jabatan dan kedudukan bukan untuk mengesahkan kemarahan – apalagi yang berlebihan.

Marah di luar kendali, memaksakan kehendak, atau menghardik pembawa pesan, merupakan perilaku-perilaku sangat tidak efektif. Merusak semangat kerja tim.

Dalam realitas pengelolaan organisasi hari-hari ini, banyak orang pintar dan sempat sukses (di suatu organisasi pada suatu masa), terlibat tindakan tidak efektif semacam itu.

Berdasarkan survei atas ribuan eksekutif di 200 organisasi multinasional, Executive Coach #1 Dunia Dr. Marshall Goldsmith menemukan 20 perilaku tidak efektif yang mewabah di antara mereka. Di antaranya: “Speaking when angry: Using emotional volatility as a management tool.” Dan: “Tidak mau mendengar: The most passive-aggressive form of disrespect for colleagues.”

Mereka, para eksekutif yang mengaku layak memimpin tersebut, telah khilaf, bahwa perilaku kepemimpinan memberikan pengaruh 50% - 70% pada budaya organisasi. Sedangkan budaya organisasi merupakan faktor tunggal terbesar, 35%, yang mempengaruhi prestasi kinerja usaha -- terbaca pada Profit & Loss, Balance Sheet, dan people engagement. Yang 65% dipengaruhi oleh lima sampai enam faktor secara bersamaan, termasuk regulasi pemerintah, hak paten, kekuatan modal, kondisi lingkungan (Hasil survei Hay Group).

Bagi para eksekutif yang sudah terbuka hati dan pikirannya untuk sungguh-sungguh menjadi lebih efektif, selain mempelajari dan mengimplementasikan “Meditation” menjadi seorang stoic, biasanya juga mengikuti program coaching untuk meningkatkan value diri masing-masing.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler