x

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto dalam Sidang Paripurna Pelantikan Pimpinan MPR RI 2019-2024 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 11 November 2019 19:19 WIB

Mengapa Elite Masih Minta Restu Istana?

Para elite politik mestinya mampu berkontribusi dalam mengubah kebiasaan politik yang kurang baik bagi perkembangan demokrasi kita di masa mendatang, termasuk restu sebagai bentuk dukungan dari pihak yang dianggap lebih kuat secara kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Perebutan posisi ketua umum Partai Golkar kembali menghangat setelah sempat reda ketika Bambang Soesatyo diangkat menjadi Ketua MPR. Kubu Airlangga Hartarto semula beranggapan bahwa Bamsoet akan mengubur ambisinya untuk maju dalam gelanggang pemilihan ketua umum Golkar bila sudah menjadi orang nomor 1 di MPR. Namun, rupanya Bamsoet tetap menginginkan kursi ketua umum Golkar.

Sisi lain yang menarik perhatian publik dari persaingan menuju Munas Golkar Desember nanti ialah ihwal restu Istana—lebih konkret lagi, restu Presiden Jokowi. Apakah restu semacam ini masih menjadi faktor penting dalam konstelasi politik sekarang, khususnya terkait pemilihan ketua umum partai?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam hal Partai NasDem, elite partai ini berusaha menunjukkan kemandiriannya dari pengaruh Istana dalam memilih ketua umumnya. Surya Paloh—ketua umum yang lalu—terpilih kembali dalam Munas NasDem pekan ini justru di saat hubungan antara Surya dan Presiden Jokowi sedang ‘hangat-hangat dingin’. Ketika menanggapi pertemuan Surya dengan Sohibul Iman, Presiden PKS, Presiden berujar: “Mungkin dia ndak kangen dengan saya.”

Menjelang Munas Golkar bulan depan, loyalis Bamsoet melontarkan permintaan agar kubu Airlangga berhenti ‘berjualan klaim dukungan Istana’. Seperti apa sikap Presiden menghadapi kompetisi Bamsoet-Airlangga? Menjawab pertanyaan jurnalis apakah mendukung Airlangga atau Bamsoet, Jokowi menjawab: “Itu urusan internal Golkar.” Tentu saja, jawaban normatif inilah yang memang seharusnya keluar dari Presiden.

Namun, orang lantas bertanya, jawaban yang tidak normatifnya seperti apa? Dalam konteks ini, sebagian tokoh Golkar maupun pengamat politik bertumpu pada tafsir. Secara khusus, mereka memerhatikan sambutan Presiden Jokowi di acara puncak perayaan ulang tahun ke-55 Golkar,  6 November. Dalam acara itu, Presiden memuji kepemimpinan Airlangga di Golkar yang mampu menjaga partai ini dari gejolak. Tokoh Golkar seperti Akbar Tanjung maupun para pengamat menafsirkan pujian Presiden itu sebagai dukungan. Inilah yang menjadi bekal loyalis Airlangga untuk membujuk kader-kader Golkar, dan ini pula yang membuat loyalis Bamsoet merasa tidak nyaman.

Bagi masyarakat luas, pertanyaannya ialah mengapa elite partai masih mengangkat wacana dukungan Presiden untuk menarik dukungan kader partainya? Jika kita tidak lupa, di masa Orde Baru, dukungan Presiden Suharto merupakan unsur penting bagi terpilihnya ketua umum partai PDI dan PPP—dua partai yang ada di masa itu di samping Golkar. Mengapa tradisi restu yang sudah hilang itu seakan hendak dihidupkan kembali? Bukankah reformasi dimaksudkan pula untuk mengubah tradisi politik yang cenderung sentralistik dan patronistik—menjadikan seseorang karena kuasanya menjadi sumber dukungan politik?

Para elite politik mestinya mampu berkontribusi dalam mengubah kebiasaan politik yang kurang baik bagi perkembangan demokrasi kita di masa mendatang, termasuk restu sebagai bentuk dukungan dari pihak yang dianggap lebih kuat secara kekuasaan. Dengan begitu, partai politik tumbuh semakin mandiri dan berani menentukan nasibnya sendiri, tanpa bergantung kepada pihak lain. Begitu pula, Presiden seyogyanya menahan diri dari menunjukkan dukungan kepada salah satu pihak yang berkompetisi, terlebih lagi ini terkait internal partai lain. Bahkan, dukungan dalam bahasa isyarat sekalipun. Dengan cara ini, Presiden juga mendorong tumbuhnya demokrasi yang semakin sehat dan partai-partai yang semakin mandiri, sekalipun ia berkepentingan terhadap partai itu. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu