x

Warga melintas di depan mural bergambar partai politik peserta Pemilu 2019 di Kelurahan Gunung Batu, Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu 3 Februari 2019. Mural yang dibuat secara swadaya oleh warga di wilayah tersebut sekaligus untuk mensosialisasikan gambar partai politik peserta Pemilu 2019 kepada masyarakat. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 12 November 2019 08:15 WIB

Hobi Pindah Partai kok Dipelihara

Kebiasaan pindah partai membuktikan bahwa konsistensi politik dianggap bukan hal yang utama dalam hidup berpolitik. Apa lagi, platform partai-partai di Indonesia nyaris sama, sehingga rintangan ideologis untuk berpindah partai begitu kecil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam segi tertentu, politikus berperilaku tidak ubahnya pemain sepak bola. Pemain sepak bola bisa pindah ke klub lain jika sudah bosan bermain di klub lama, atau ingin naik gaji tapi tidak dituruti pemilik klub lama, atau semakin jarang diturunkan ke lapangan oleh manajer sehingga bosan hanya duduk di bangku cadangan melulu. Sebagai pesepakbola, siapapun ingin berguna bagi kesebelasan dan tim serta mencetak gol ke gawang lawan, sebab itulah jalan untuk naik jenjang ke jajaran pesepakbola papan atas.

Begitu pula politikus. Gampang pindahnya politikus mirip-mirip mudahnya pesepakbola pindah klub. Jika seorang politikus sudah tidak merasa betah di partai lama, ia memilih untuk pindah ke partai lain. Agar bisa diterima partai baru yang ia inginkan, setidaknya ia harus punya sesuatu untuk ditawarkan kepada elite partai incarannya. Tidak ada makan siang gratis, bukan? Pesepakbola menawarkan kepiawaiannya dalam membobol gawang lawan. Kalau politikus?                                                                                               

Tawaran itu bisa berupa popularitasnya sebagai politikus yang biasa diperlukan saat kampanye pilkada atau pileg. Di tempat yang lama popularitasnya barangkali kurang diperhitungkan, tapi partai yang baru mungkin membutuhkan figur seperti dirinya. Bisa pula tawaran lain yang kira-kira berharga bagi partai—rahasia internal partai lama, misalnya? Wallahu ‘alam. Jarang terungkap politikus pindah ke partai lain dan membocorkan rahasia partai lamanya—jarang terungkap bukan berarti tidak ada, lho.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Konflik dengan politikus lain juga bisa jadi penyebab kepindahan: mungkin tidak ada lagi kecocokan ide, merasa tidak nyaman satu sama lain, atau ingin tempat baru yang lebih segar. Siapa tahu di tempat baru ia dapat menyalurkan potensinya dengan lebih baik? Siapa tahu di partai barunya, ia mendapat posisi strategis di jajaran pimpinan—menjadi ketua bidang atau ketua dewan pimpinan daerah misalnya. Artinya, karir naik, kan?

Bagi sebagian politikus, pindah partai bukanlah peristiwa luar biasa yang patut diratapi seolah meninggalkan kenangan perjuangan dengan teman-teman lama. Sebagian orang malah pindah partai dengan  membawa serta rasa kesal atau amarah. Pemeo politik yang sudah klasik juga masih berlaku: tak ada kawan dan lawan yang abadi.

Apapun alasannya, kebiasaan pindah partai membuktikan bahwa konsistensi politik dianggap bukan hal yang utama dalam hidup berpolitik. Apa lagi, platform partai-partai di Indonesia nyaris sama, sehingga rintangan ideologis begitu kecil. Satu dua partai mungkin berbeda, tapi selebihnya sukar bagi kita untuk membedakan ideologi satu partai dengan lainnya. Agak susah membayangkan, misalnya di Inggris, politikus pindah dari Partai Buruh ke Partai Konservatif dan sebaliknya; atau di Amerika, politikus lompat dari Republik ke Demokrat.

Di sini mah beda, begitu kata urang Bandung. Tidak mengherankan bila ada politikus yang berpindah-pindah partai layaknya menjalani hobi jalan-jalan saja. Sayangnya, pindah-pindah partai bukanlah hobi yang bagus untuk ditekuni. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler