x

Gibran Rakabuming Raka (tiga dari kanan) didampingi pendukungnya mendaftarkan diri sebagai bakal calon Wali Kota Solo di Panti Marhaen, Kantor Dewan Perwakilan Daerah PDIP Jawa Tengah, Semarang, Kamis, 12 Desember 2019. TEMPO/Jamal Abdun Nashr

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 29 Desember 2019 23:03 WIB

Salahkah Membangun Dinasti Politik?

Banyak orang berbicara tentang hak politik, tapi orang melupakan bahwa tidak setiap hak harus ditunaikan. Ada banyak sisi yang juga layak ditimbang: kebijaksanaan dan keteladanan, yang membuat hasrat untuk menunaikan hak politik itu patut diurungkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap orang memiliki hak, tapi tidak setiap hak mesti ditunaikan

Apakah jika orang tua kalian jadi orang penting di negeri ini, apakah kalian tidak tergoda untuk maju dalam kompetisi pilkada atau pileg atau berebut jadi pejabat publik lain? Rasanya sih belum tentu kalian tidak tergoda—satu sebab dan alasannya ialah karena kekuasaan  itu begitu mempesona.

Artinya, jalan nalar yang digunakan oleh Gibran, Bobby, maupun Siti Nur Azizah adalah jalan nalar yang lazim, yang orang banyak mungkin juga akan lakukan. Mereka berbicara perkara momen—inilah waktu yang baik untuk maju ke gelanggang politik. Artinya lagi, jika kalian berada dalam posisi Gibran, Bobby, maupun Siti Nur Azizah, sangat mungkin kalian melakukan hal serupa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi, jalan yang lazim dan masuk akal bukanlah jalan yang selalu tepat dan semestinya ditempuh. Banyak orang berbicara tentang hak politik, tapi orang melupakan bahwa tidak setiap hak harus ditunaikan. Ada banyak sisi yang juga layak ditimbang: kebijaksanaan dan keteladanan, yang membuat hasrat untuk menunaikan hak politik itu patut diurungkan.

Popularitas tampaknya menjadi modal anak-anak muda itu, juga popularitas ayah mereka. Mereka menikmati apa yang disebut political advantage—keunggulan politis yang tidak dinikmati oleh orang lain yang berpotensi menjadi kompetitor dalam kontestasi pilkada. Nama orangtua mereka turut berkontribusi terhadap mudahnya jalan yang mereka lalui.

Mereka bertiga bukanlah anak-anak muda pertama yang mengikuti jejak langkah orang tua. Anak-anak Amien Rais juga terjun ke dunia politik, anak Megawati bahkan sudah lama malang-melintang, anak-anak SBY juga berkiprah di jagat politik, begitu pula dengan anak-anak elite yang lain. Ada yang sudah tak lagi memegang jabatan publik, tapi masih punya pengaruh besar melalui partai politik. Gibran dan Bobby maju saat ayah mereka sedang menjabat. Sebagian elite politik dan bisnis bahkan punya anak yang ujug-ujug bisa duduk di posisi penting tanpa kompetisi, yang kata orang banyak, karena pengaruh orangtuanya.

“Ini persoalan momen! Jadi kapan lagi kalau tidak sekarang?” kata seorang teman. Bagi yang mengerti benar makna peluang, terutama yang naluri politik dan bisnisnya kuat, momen serupa tidak akan berulang. Jadi, manfaatkan momen itu, begitulah logika yang dipakai. Ah, tapi bukankah ada segi-segi lain yang tetap sebaiknya ditimbang seperti kearifan dan keteladanan para elite. “Memang iya, tapi kalau kami maunya jalan terus, elu mau apa?

Previlege tak bisa dihindari karena kecenderungan patronase yang masih melekat dalam masyarakat kita, ketokohan orang tua, atau popularitas ayah atau ibu yang menjadikan seorang anak memperoleh jalan yang lebih mudah dibandingkan banyak orang lain yang harus berjuang keras untuk bisa mencapai posisi yang sama. Dalam dunia yang kompetitif,  advantage seperti itu sungguh besar perannya bagi keterpilihan.

Sayangnya, apa yang kerap dilupakan ialah bahwa inti demokrasi bukanlah semata keterpilihan sebagai hasil akhir, melainkan proses bagaimana seseorang terpilih—bahkan proses lebih penting ketimbang terpilihnya seseorang.

Pada akhirnya apa yang disebut dinasti politik merupakan realitas politik yang dipraktikkan oleh para elite dari jenjang nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Di zaman sekarang, politik dinasti untuk membangun dinasti politik agaknya semakin tidak tertahankan. Bagi para elite, praktik seperti itu dianggap lumrah dan jamak. Sebagian rakyat yang mengkritisi hanya bisa menyaksikan semua itu. Para elite politik mempersiapkan keturunannya agar siap menjadi bagian dari elite di masa berikutnya. 

Sebagai fenomena politik, majunya anak dan menantu Presiden dan Wapres itu bukanlah hal baru, melainkan semakin menegaskan bahwa ‘politik dinasti’ semakin tidak tertahankan. Menjelang berakhirnya masa Orde Baru, Pak Harto berusaha mengukuhkan mbak Tutut agar memiliki fondasi yang kuat sebagai bagian dari elite politik, walaupun sebenarnya tanpa menjadi pejabat publik pun ia sudah cukup berpengaruh di kalangan politisi. Tapi apa yang kemudian terjadi ternyata berbeda karena rakyat menghendaki perubahan.

Memang benar, setiap orang memiliki hak untuk terjun ke dunia politik. Namun, ketika seseorang menjadi pemimpin sebuah masyarakat, penunaian hak itu harus dipertimbangkan dengan melihat segi-segi lain dengan kearifan, dengan keteladanan. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

14 jam lalu

Terpopuler