x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 30 Desember 2019 04:23 WIB

Kiai yang Diuji dengan Jabatan

Seperti kata Gus Mus, jika pemegang jabatan tidak kuat, niscaya ia akan rusak. Bukannya menaklukkan kekuasaan dan memakainya untuk kemaslahatan masyarakat, ia justru rusak karena takluk oleh hasrat kekuasaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Apa yang disampaikan Gus Mus—Kiai Ahmad Mustofa Bisri—saat bertausyiah di acara peringatan Haul Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, 28 Desember lalu benar adanya. Saat itu, Gus Mus mengomentari ‘nasib’ Menteri Mahfud Md. Ujarnya, seperti dikutip tempo.co: “[Dengan] jadi Menkopolhukam itu sebetulnya beliau ini sedang kena cobaan Gusti Allah. Wong dia kiai kok.”

Menjadi menteri, menteri koordinator pula, kok dianggap sedang dicoba Gusti Allah, bagaimana bisa? Bukankah banyak orang bersyukur, tersenyum sumringah, melambai-lambai senang kepada banyak orang ketika hendak memasuki Istana Presiden karena dipilih jadi menteri? Bukankah banyak orang merasa dapat durian runtuh tatkala memperoleh jabatan? “Hati-hati lho,” nasihat Gus Mus, “Jabatan itu bisa merusak orang kalau enggak kuat-kuat.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa waktu lalu, nasihat serupa dalam bahasa yang lebih lugas disampaikan Amien Rais tatkala anak-anaknya terpilih sebagai anggota legislatif. “Ini jabatan yang bisa menjadi jalan tol kalian ke surga, tapi juga bisa jadi jalan tol ke neraka,” kata Amien. Gus Mus berbicara ihwal potensi kerusakan yang timbul karena memegang jabatan dan Amien berbicara perihal hasil akhirnya di ujung perjalanan.

Kuncinya terletak pada kekuatan pribadi. Seperti kata Gus Mus, jika pemegang jabatan tidak kuat, niscaya ia akan rusak. Bukannya menaklukkan kekuasaan dan memakainya untuk kemaslahatan masyarakat, ia justru rusak karena takluk oleh hasrat kekuasaan. Hasrat kuasa itu ditunjukkan oleh banyak tanda: merasa kuat dan benar sendiri, tak mau mendengar pandangan yang berbeda, mengabaikan suara rakyat, senang dapat mengatur orang lain sesuka hati, dan banyak lagi.

Orang yang tahu bahwa jabatan dan kekuasaan itu cobaan Gusti Allah akan berusaha keras untuk bersikap jujur, adil, rendah hati karena merasa bukan yang paling benar dan tidak selalu benar, tidak sewenang-wenang [ojo dumeh sedang berkuasa], dan amanah. Ia tidak akan membicarakan soal-soal penting secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui masyarakat. Ia tidak akan bersekongkol dengan sesama pejabat untuk membelakangi rakyat.

Berat? Memang, tapi banyak orang mengabaikan yang berat-berat itu sehingga menerima jabatan dengan wajah penuh senyum. Sebagian lainnya merasa sungguh-sungguh kuat mengemban jabatan sehingga dengan penuh percaya diri sehingga lupa bahwa ia mungkin saja suatu ketika lengah, salah, dan kalah. Kalah bukan dari orang lain, melainkan kalah melawan hasrat kuasanya.

Dalam tausyiahnya itu, Gus Mus mengisahkan kembali peristiwa ketika Gus Dur terpilih jadi presiden keempat RI . “Waktu Gus Dur jadi presiden, semua mengucapkan selamat. Saya sendiri yang menyatakan belasungkawa. Wong kiai apik-apik kok jadi presiden,”ujar Gus Mus. Maknanya, jabatan itu musibah jika penerimanya tak mampu menanggung bebannya. Gus Dur ditakdirkan jadi presiden selama 1 tahun 9 bulan, lebih lama dibandingkan B.J. Habibie yang menjabat presiden selama 1 tahun 4 bulan. Apakah Gus Dur dan Habibie diselamatkan Gusti Allah agar tidak dikuasai oleh hasrat akan kuasa yang mungkin saja terjadi bila keduanya terlalu lama duduk di kursi presiden? Wallahu ‘alam. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler