x

Ketika kejujuran terselundup oleh kebohongan

Iklan

Bunk ham

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Januari 2020

Rabu, 22 Januari 2020 06:19 WIB

Ketika Pengharapan jadi Kebohongan

Mungkin sebagian besar diantara kita menganggap sebetulnya media adalah puncak kebenaran informasi bukan pemalsuan ataupun pembohongan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa tahun lalu, saya mendengar peristiwa yang cukup menyita pikiran dan perhatian saya. Tepatnya di sebuah tapak kaki gunung rinjani. Berada di Cafe rinjani lock. Di sana adalah tempat, di mana awalnya saya mulai mendaur harapan, berbagi cerita, tukar jejak atau bahkan tempat mana yang saya lebih layak untuk saya kunjungi.

Namun ada beberapa masalah yang menarik dan menggelitik bagi saya pada saat itu. Pertama saya menyoroti sikap kebosanan harus mengubah hidup menjadi kedamaian. Kedua gaya hidup harus selaras dengan kemajuan jaman. Ketiga saya menyulut ekspektasi harus sampai pada target.

Seiring dengan filosofis "anak gunung". Ketiga potensi masalah itu mengartikan penuh makna ataupun banyak artinya tersendiri. Puncaknya rinjani mount itu adalah "lambang" dimana sebuah kehidupan bermakna tantangan dan rintangan yang besar. Terkadang berenergik, semangat namun gampang menyerah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itulah gunung dari arti sebuah kehidupan. Dengan mendaki, kita akan sadar bahwa hidup bukan menaklukan alam tapi menaklukan diri sendiri. Selamat dalam perjalanan hingga pulang dengan baik dirumah. Itu pertanda bahwa kita menerima sebuah kenyataan bukan menolak perubahan.

Kembali kepada ketiga potensi masalah dasar tadi, yang pada intinya menggelitik pikiran saya terkait! Kenapa sikap kebosanan selalu mencuat dalam pikiran saya?

Semakin bergilirnya berita bohong, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, kasus pencurian, penganiyaan dan lain-lain, baca linguistic forensic: karya Sigit Aprianto. Mendefinisikan pengharapan saya adalah pemalsuan. Kapan hidup ini bisa damai? Sementara hal-hal yang berbaur demikian belum bisa dipastikan tuntas dan berjalan dengan baik.

Salah satu faktanya adalah penyebaran hoax. Mungkin sebagian besar diantara kita menganggap sebetulnya media adalah puncak kebenaran informasi bukan pemalsuan ataupun pembohongan. Namun coba kita pusatkan pikiran lagi untuk memastikan! Mana berita yang bersifat fakual dan mana sumber informasi yang berpotensi kebohongan atau pemalsuan.

Misalnya Setiaji juga mengingatkan kita sebagai penikmat berita dan penerima informasi agar dapat membedakan antara fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi berdasarkan atas kesaksian dan bukti. Sementara opini adalah sekilas persepsi dan kesan dari penulis berita. Semakin banyak fakta yang dimuat, semakin kredibel dan aktual berita tersebut. Sebaliknya, beberapa situs memang bertujuan menggiring pemikiran pembaca dengan memperbanyak opini.

Seperti yang diistilahkan oleh filsuf Inggris bahwa sebetulnya berita hoax muncul pada akhir abad ke-18, yang semantiknya diambil dari kata hocus, berarti menipu (to cheat). Namun berkembangnya informasi dan pesat teknologi. Sehingga pusat pengetahuan mumudahkan untuk diakses, dan mempercepat "pesan kilat" untuk diterima.

Padahal tanpa proses chatting, reading dan sharing secara aktual. Sumber info-media tidak akan terlihat kredibel dan faktual. Bila proses penggarapan informasi tidak lagi dianggap relevan. Serta media yang sebenarnya "beracuan" pada bukti, fakta, dan realitas kini disetir "berubah dan menjadi opini belaka". Produktifitas, pesan, informasi atau berita semacam ini yang kemudian mencuat kegaduhan pada mata publik.

Benar secara rasionalitas, ketika filsuf Prancis; Asan Sokal menulis sebuah artikel yang bertajuk Hoax. Didalam contain atau isi dari artikel tersebut dia memetakan pikiran bahwa yang termuat dalam penulisan itu adalah kumpulan dari opini hoax bukan fakta; Begitulah ujarnya demikian.

Namun karena dia melihat ketidakmampuan redaksi mengolah pikiran dia, akhirnya diklaim itu adalah fakta bukan hoax. Padahal kebenaran mutlaknya "terlihat ada" pada penulis bukan pada tim redaksi. Dari pengolahan itu yang kemudian berita hoax muncul dari media bukan asal dari penulis pesan atau pun penikmat berita.

Atas dasar itu yang kemudian saya merasa gagal dalam berfikir dan bosan dalam berperasaan.

Yang kedua, persoalan gaya hidup! Kenapa saya lebih tertarik membaca buku, berkunjung ke perpustakaan atau membaca peristiwa kekinian dan lain-lainnya, daripada menjenguk mall, dan pasar-pasar penjualan barang?

Mungkin lebih tepat yang kemudian saya istilahkan yakni, membaca buku adalah kemakmuran akal bagi saya untuk membasmikan pikiran. Banyak literature memadai tapi kalau kemudian tidak di manfaatkan dengan baik akan sia-sia. Banyak media masa atapun elektonik bila tidak ditelususi dengan baik dan detail pula akan terlihat "ketinggalan info". Tetapi banyak sumber, isi atau konten berisi "kemedial, lelucon" namun mudah dan cepat untuk dikonsumsi.

Itulah negeri kita!

Oleh karena itu, jangan heran negeri ini akan dilanda oleh kemiskinan dan kekeringan akal. Sebagian diantara kita menganggap bahwa proses penyerapan informasi kembali kepada teknologi. Dan sebagian kecil diantara kita mengatakan "kembali" pada kitab suci Al-Qur'an, Injil, Taurat, Weda ataupun hukum-hukum kitab suci lainya.

Menarik untuk dicatat disini, misalnya isu-isu pembaharuan yang diangkat oleh intelektual dan penulis Arab yang berputar pada reflektif kaum muslim secara umum, yakni: "Mengapa dunia Islam mundur sementara dunia barat maju?"

Pertanyaan ini menakutkan dan bahkan pula menghantui para intelektual Arab sejak Al-Tunisi dan Al-Thahtawi hingga sampai pada puncaknya Amir Syakib Arslan yang menulis buku terkait masalah ini; baca Amir Syakib Arslan. Limadza Ta'akhara Al-muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum. Beirut : Maktabah Al-Hayah, 1905.

Sebagian mereka berupaya mencari dan menemukan jawabannya. Seperti yang dituliskan oleh Al-Thahtawi yang menyangkut tentang kehidupan masayarakat Paris. Baca Rifa'at Al-Thahtawi. Taklis Al-Ibriz ila Takhis Bariz : Kairo, 1905

Ini yang kemudian menjadi isu-isu fenomenal. Terkait kesadaran intelektual dan peradabannya. Pasalnya ini diidentik dengan respon positif terhadap kemajuan barat, industrialisasi, rasionalisasi, dan modernisasi.

Baik mencuat pada umat muslim maupun non-muslim yang memperbincangkan secara bebas tanpa sedikitpun rasa takut atau tekanan dari ancaman luar. Baca Pengantar Luthfi Assyaukanie, 2004 ; Pemikiran Liberal di Dunia Arab dalam buku Albert Hourani : PT Mizan Pustaka.

Atas dasar proses ini yang kemudian saya anggap bahwa soal pemikiran harus berubah dan selaras dengan kemajuan jaman.

Ketiga saya mencoba menyulut ekspektasi harus sampai pada target!

Jika ada perbedaan secara signifikan antara pemikiran saya, dan teman-teman lainya maka aspek kebebasan dan identitas pemikiran kita adalah menjadi hal yang utama. Itulah pior dari ekspektasi yang akan sampai pada target

Ikuti tulisan menarik Bunk ham lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler