x

Meneteri Hukum dan HAM Yasona Laoly

Iklan

Hasan Aspahani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 23 Januari 2020 11:33 WIB

Keangkuhan Akademik Yasona dan Kerabunan Sosial Nia Ramadhani

Keduanya memancing kontroversi. Yang satu menyulut kemarahan. Yang lain bikin kesal tapi bisalah ditertawakan sebagai hiburan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keangkuhan Akademik Yasona dan Kerabunan Sosial Nia Ramadhani


DI sebuah forum yang katanya ilmiah, Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly membuat pernyataan yang melukai hati orang Tanjungpriok. Beliau akhirya minta maaf, tapi tetap saja berusaha mengeles, bahwa pernyataannya tidak dimaksudkan untuk menyinggung orang Tanjungpriok.

Aksi ribuan anak Tanjungpriok yang ngeluruk ke kantor Pak Menteri memang untuk mengingatkan ketidaksengajaan itu. Adalah bodoh benar rasanya kalau memang itu disengaja untuk melukai hati orang banyak. Dilakukan oleh seorang menteri pula. Untuk itu, jika benar itu yang terjadi, tentu yang diperlukan tak lagi cukup sebuah aksi peringatan saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam kesempatan lain, setelah pernyataan kontroversialnya itu, Pak Menteri Yasona mengatakan konteks pernyataannya adalah ilmiah. Dia menegaskan bahwa dia adalah profesor krimonologi. Seolah dengan pernyataan itu dia minta dimaklumi belaka dan dimaafkan tanpa harus minta maaf.

Tapi apakah itu pokok persoalanya? Bukan. Mempertegas kepakaran beliau, dengan menyebut gelar akademis segala itu justru mengoyak keangkuhan yang lebih telanjang dalam diri Pak Menteri ini.

Sejarawan JJ Rizal pun gatal untuk mengomentari tingkah menteri kader PDIP ini. Rizal meringkas pangkal soal pernyataan menteri yang menyulut kemarahan itu: Kejahatan banyak terjadi di daerah-daerah miskin. Slum areas. Bukan di Menteng. Anak-anak Menteng tidak, tapi coba ke Tanjung Priok di situ ada kriminal. Lahir dari kemiskinan.

"Pernyataan itu menunjukkan gelar berlapis tidak berkorelasi dengan kecerdasan akal en moral," kata Rizal dalam cuitannya pukul 21.53 WIB, sebagai timbalan atas berita Detik.com.

Keras. Telak. Gelar akademis, akal dan moral. Itu yang dituding oleh Rizal, sejarawan yang kita kenal kritis itu. Nyatanya, alih-alih meminta maaf dengan tulus, Menteri Yasona, dengan gaya bicaranya yang tetap saja tinggi, mungkin sudah bawaan, menuding media dan sekelompok orang yang menyalahartikan pernyataannya.

Memulai tahun 2020, negara ini dilabrak berbagai kekacauan. Sialnya itu terjadi di bidang hukum yang mudah melukai rasa adil rakyat banyak, wong cilik, yang katanya diperjuangkan oleh partai pemenang pemilu, partainya Menteri Yasona. KPK hancur lebur. Menteri dan komisioner berbohong justru untuk menyelamatkan partai dan kadernya. Bukan untuk membongkar kasus suap itu. Parah banget!

Di tengah situasi itu, orang mudah tersinggung, maka para menteri tolong hati-hatilah kalau bicara. Tak usah berlindung di balik gelar akademis, yang justru makin membuat kesal rakyat.

Ingat Menteri Yasona, saya ingat selebritas kita Nia Ramadhani. Ia diberitakan kaget dengan murahnya tiket kereta, dan entah kekagetan apalagi. Ia membayangkan harga tiket itu Rp100 ribu sekali naik.

Hidup dengan standar yang supertinggi, membuat orang seperti Nia Ramadhani kehilangan daya empati. Semacam kerabunan sosial. Kehilangan kemampuan untuk memandang persoalan orang banyak dari sudut pandang orang banyak itu. Bagi media, mungkin itu disambar sebagai bahan berita empuk. Bagi kita mungkin bisa disikapi dan dinikmati sebagai hiburan. Lumayanlah, kita perlu juga berita tak penting tapi menarik begitu. Kayak orang Inggris yang selalu punya bahan gosip kalangan kerajaan.

Tapi Nia tak mengambil kebijakan yang berdampak pada orang banyak. Biarlah dia misalnya dia terkejut-kejut dengan betapa murahnya iuran BPJS Kesehatan yang kata direkturnya cuma Rp5.000 per hari.

Ketika yang bicara itu direktur BPJS Kesehatan maka saya sama sekali tak terhibur. Itu iuran per orang. Bagaimana kalau pekerja kelas terendah itu harus menanggung dua atau tiga orang anak? Juga orang tuanya yang sudah tak produktif lagi? Apalagi kemudian Menteri Kesehatan mengatakan tak punya solusi untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan dan iuran kelas III yang tetap saja dinaikkan.

Keangkuhan akademik pejabat merangkap politisi, dan kerabunan sosial para petinggi itulah soalnya. Kerusuhan besar, kerusakan massif bisa berasal dari situ. Ingat Revolusi Prancis, atau reformasi 1998 yang dimulai dengan komplikasi krisis di negeri ini.

 

 

Ikuti tulisan menarik Hasan Aspahani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu