x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Minggu, 8 Maret 2020 18:53 WIB

Media Sosial, Maafkan Kami yang Bodoh Percaya pada Hoaks

Hai media sosial, maaf kami yang bodoh. Karena terlalu percaua pada hoaks. Kini, hoaks sudah jadi bagian hidup kami

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak orang tidak sadar. Jadi korban hoaks itu lebih menyakitkan daripada korban santet. Iya, karena santet itu menyerang individu. Tapi hoaks menyerang generasi, menyerang bangsa seperti yang terjadi saat ini. Maka bisa dibayangkan, korban hoaks hari ini belum tentu bisa pulih di generasi berikutnya. Hoaks, bukan hanya mengerikan tapi menyakitkan sepanjang waktu.

 Anehnya, hoaks itu disebarkan bukan hanya orang-orang bodoh. Tapi hoaks sudah jadi “makanan sehari-hari” orang-orang yang mengaku pintar. Berita atau informasi yang tidak jelas kebenarannya, tanpa diverifikasi lebih dulu, buru-buru mereka sebarkan. Alhasil, mereka sudah terbiasa hidup di dunia kebohongan. Kini sudah saatnya mengakui hoaks sudah jadi bagian hidup bangsa ini. Maka, maafkan kami yang bodoh, terlalu percaya pada hoaks.

 Maafkan kami yang bodoh, terlalu percaya pada hoaks.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena kami yang ingin jadi yang pertama dalam menyebarluaskannya. Agar dapat pujian sekalipun kami meragukan kebenarannya. Biar dianggap yang paling duluan atau paling pintar. Hingga perlaku itu jadi kebiasaan hidup kami. Menyebarkan hoaks walau belum mengecek kebenarannya.

Kami makin terlihat bodoh. Karena terlalu percaya pada hoaks. Mudah tertipu berita bohong. Sekalipun kamu terdidik, tapi kami abaikan cek dan ricek. Sebut saja, kami sekolah tinggi tapi kami tidak mau menerapkan pengetahuan yang kami miliki. Maka jadilah kami bodoh karena terlalu percaya pada hoaks.

 Apalagi di tengah laju pesat era digital. Kami makin bodoh karena kami makin kehilangan kepercayaan diri. Segalanya diambil alih oleh teknologi, oleh dunia digital. Jadi, apalagi yang bisa kami lakukan selain membagikan berita bohong. Karena pekerjaan yang paling mudah dan bodoh buat kami adalah mengabarkan ulang berita bohong alias hoaks. Kami sulit mengakui untuk tidak percaya diri. Maka kami ikut nimbrung bersama hoaks. Sekalipun berita itu tidak jelas kebenarannya. Kami gagal percaya pada hati nurani atau akal sehat. Sehingga kami lebih percaya pada pandangan orang lain sekalipun itu bohong.

 Maafkan kami yang bodoh karena terlalu percaya pada hoaks.

Karena kami tidak pernah sedikitpun memikirkan dampak bagi “korban hoaks”. Tugas kami hanya menyebarluaskan melalui media sosial. Grup WA, FB, tweeter, atau Instagram. Lalu, tinggal diberi sedikit komentar “ini dari grup sebelah” atau “ini benar gak ya?”. Perilaku itulah yang kian membuat kami terlihat bodoh. Berita yang tidak jelas sumbernya, kami telan sebagai kebenaran.

 Kemarin-kemarin, soal virus corona pun kami ikut menyebarkan hoaks. Seperti: virus corona menular lewat pandangan, virus corona bisa dialami oleh pemilik ponsel Cina, virus corona menular lewat sup kelelawar, minum alkohol bisa membunuh virus corona. Termasuk gambar orang di swalayan belanja mie instan hingga bertumpuk-tumpuk. Ternyata itu semua hoaks alias berita bohong. Jadi, maafkan kami yang terlalu bodoh. Begitu percaya pada hoaks.

Virus yang dapat disembuhkan setingkat corona pun ramai dibikin hoaks. Bukannya mewaspadai malah menyebarkan berita bohong. Hingga terjadilah kegaduhan, panic buying hingga penimbunan masker bahkan perbuatan tidak berperi-kemanusiaan lainnya. Maka suka tidak suka, Kepolisian RI (Polri) terpaksa bertindak tegas kepada penyebar hoaks di manapun berada. Rekam jejak digital para penyebar hoaks harus diinventarisir. Termasuk penindakan kepada orang-orang culas yang berusaha mengambil keuntungan sepihak di balik kasus merebaknya virus corona. Sekali lagi, Polri tidak akan sungkan menindak mereka yang terbukti melanggar hukum.

Kenapa kami terlibat hoaks?

Karena agama kami adalah “share and like”. Kami hanya bisa percaya pada berita yang berseliweran dekat kami, sekalipun itu tidak benar. Kami pun dirasuki kebencian. Sehingga apapun yang bisa melemahkan “musuh kami” akan kami lakukan. Karena hoaks atau berita bohong itu sudah cukup mewakili emosi, sentimen diri kami. Di mata kami, berita tidak lagi penting benar atau tidaknya. Asalkan bisa bikin kegaduhan, merusak kepercayaan orang yang kami benci, atau bisa jadi alat menyerang musuh kamu. Sungguh itu semua sudah cukup. Karena hoaks sudah jadi bagian hidup kami, perilaku kami sehari-hari.

 Kami pun makin bodoh. Bukan hanya karena hoaks. Tapi kami malas untuk memverifikasi kebenarannya. Kami gagal tabayun, susah untuk berbaik sangka. Kami tidak peduli pada sumber berita, situs online yang tidak kredibel pun kami percaya. Asal bisa disebarkan melalui media sosial.

 Jadi, maaf kami yang bodoh karena terlalu percaya pada hoaks.

Maka jangan larang kami menyebarkan hoaks. Karena kami bodoh. Motto hidup kami pun “lebih baik gaduh daripada tenang”. Lebih baik berkoar-koar daripada diam. Itulah kami, generasi berpendidikan tinggi tapi gemar menyebarkan hoaks.

Sungguh, orang bijak sekalipun. Selagi ikut menyebarkan hoaks sama dengan bodoh. Stop hoaks, perangi hoaks … #BudayaLiterasi #StopHoaks #MelawanHoaks

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 jam lalu

Terpopuler