x

Siti Fadilah Supari. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Iklan

RIYAN ALGHI FERMANA

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Mei 2020

Senin, 11 Mei 2020 05:37 WIB

Pandemi Covid-19 dan Perlunya Siti Fadilah Supari Dibebaskan

Artikel ini menyampaikan urgensi mengapa Presiden Joko Widodo harus segera membebaskan Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peran dan usaha Siti Fadila Supari dalam menangani wabah flu burung di Indonesia pada 2005 serta pengalaman dia dapat dimanfaatkan dalam upaya percepatan penanggulangan Covid-19 di Indonesia saat ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Riyan Alghi Fermana, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik FISIP UNAND, Kepala Bidang Kajian Strategis Kementerian Sosial Politik BEM KM UNAND 2019

Harus diakui, sampai dengan saat ini upaya penggalangan petisi online melalui change.org menuntut pembebasan Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan Republik Indonesia masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2004-2009 terus berlangsung.

Sebelumnya, pada 16 April 2020, petisi dengan judul “Bebaskan Siti Fadila Supari, Berjuang Bersama Melawan Covid-19” telah memperoleh lebih dari 42 ribu tanda tangan warganet. Akan tetapi, pada 18 April 2020, petisi tersebut kehilangan hampir tiga puluh empat ribu tanda tangan, sehingga total delapan ribu tanda tangan warganet.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari dalam Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas IIA Jakarta Timur, Siti Fadilah Supari berinisiatif mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Dalam suratnya, Siti Fadila Supari tidak meminta pembebasan atas dirinya, melainkan saran kepada Presiden Joko Widodo dalam menanggulangi penyebaran Novel coronavirus (2019-nCoV/Covid-19) di Indonesia.

Adapun salah satu upaya yang sangat efektif dalam mendorong percepatan penanggulangan Covid-19 di Indonesia adalah screening massal serentak. Screening massal serentak mesti dilakukan di seluruh daerah tanpa terkecuali sekalipun. Apabila screening massal tidak dapat dilakukan di seluruh daerah, maka screening massal dapat diprioritaskan terlebih dahulu di daerah zona merah.

Menurut Siti Fadilah Supari, dengan pendekatan screening massal serentak, dapat mendukung penuh kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sedang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Dari hasil screening massal petugas kesehatan dapat memisahkan orang yang dinyatakan positif dan negatif dari Covid-19.

Orang yang dinyatakan positif dengan Covid-19, menurut Siti Fadilah Supari, sembilan puluh persen tidak mempunyai gejala apapun (asimptomatik). Sementara sepuluh persen lainnya mempunyai gejala (simptomatik).

Berkaitan dengan alat tes cepat (rapid test), pemerintah mesti menggunakan alat rapid test molecular base. Sementara reagen Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi virus dibuat dari virus korona strain Indonesia.

Dengan menggunakan reagen dari virus korona strain Indonesia sendiri, diharapkan pemerintah mempunyai alat deteksi virus korona yang lebih valid. Saat ini, pemerintah telah mendatangkan 470 ribu reagen PCR dari luar negeri, yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Korea Selatan (Media Indonesia, 27 April 2020).

Hal lain yang disarankan oleh Siti Fadilah Supari, antara lain, adanya monitoring dan evaluasi (monev) terhadap Jaring Pengaman Sosial (JPS) pemerintah daerah yang menerapkan PSBB, serta pengoptimalan peran bidan desa, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Hak Preogratif Presiden

Dalam menjalankan tugasnya, Presiden mempunyai hak preogratif. Hak preogratif adalah hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden sebagai kepala negara berkaitan dengan hukum dan undang-undang di luar kekuatan lembaga-lembaga perwakilan.

Merujuk Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 14, Presiden mempunyai empat hak preogratif. Dalam Pasal 14 Ayat (1) diterangkan Presiden dapat memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA). Selanjutnya, dalam Pasal 14 Ayat (2) juga diterangkan Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam situasi yang ‘mendesak’ seperti ini, kiranya Presiden perlu mempertimbangkan aspirasi masyarakat melalui petisi online dan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, dukungan terhadap petisi online menuntut pembebasan Siti Fadilah Supari terus bergerak secara masif. Sampai dengan artikel ini ditulis, petisi menuntut pembebasan Siti Fadila Supari telah mencapai 18.700 tanda tangan warganet.

Kedua, pemerintah perlu mengingat dan berterima kasih atas upaya dan perjuangan Siti Fadilah Supari dalam menggalang dukungan dari negara-negara di dunia mendorong reformasi total Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).

Dalam bukunya yang berjudul Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung (2008), Siti Fadila Supari menyatakan dalam kurun 50 tahun, 110 negara di dunia, terutama negara berkembang, yang mempunyai virus Influenza biasa (seasonal Flu) diminta mengirimkan spesimen virus kepada WHO.

Pada 20 Desember 2006, Indonesia melakukan tindakan yang sangat berani di mana memutuskan tidak mengirimkan spesimen virus H5N1 Flu Burung kepada WHO. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan mendorong terselenggaranya High Level Meeting on Responsible Preactise for Sharing Avian Influenza Virues and Resulting Benefits di Jakarta pada 26-28 Maret 2007.

Dari pertemuan para Menteri Kesehatan anggota WHO kemudian menghasilkan Deklarasi Jakarta (Jakarta Declaration). Isi dari Deklarasi Jakarta adalah mendesak WHO merancang mekanisme baru dan mengatur mekanisme Terms of References (ToR) “virus sharing” yang adil, transparan, dan bermartabat, serta reformasi total sistem Global Influenza Surveillance Networks (GISN) yang telah berlangsung selama lima puluh tahun karena tidak sesuai dengan perubahan situasi dunia.

Ketiga, dari dalam penjara, Siti Fadilah Supari ternyata terus berupaya membantu pemerintah menanggulangi penyebaran Covid-19 diantaranya mengerahkan relawan kesehatan yang tergabung dalam Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), pembentukan Satuan Tugas Rukan Tetangga (Satgas RT) Siaga Covid-19, dan mencarikan bantuan Alat Pelindung Diri (APD) untuk rumah sakit rujukan Covid-19.

Keempat, adanya permintaan pembebasan Siti Fadilah Supari dari beberapa tokoh masyarakat dan politik, seperti Yogi Prabowo selaku Presidium Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) dan Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR periode tahun 2014-2019).

Ikuti tulisan menarik RIYAN ALGHI FERMANA lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

14 jam lalu

Terpopuler