x

Presiden Jokowi mengikuti KTT Luar Biasa G20 secara virtual bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dari Istana Bogor, Kamis, 26 Maret 2020. KTT ini digelar secara virtual untuk menghindari penularan virus corona. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr

Iklan

Fathimah A. S.

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Mei 2020

Minggu, 17 Mei 2020 07:25 WIB

Memilih Skema Pembiayaan yang Tepat untuk Menangani Pandemi Covid-19

Indonesia dihadiri “tamu” tak terduga yaitu virus corona yang mesti ditangani kini serius oleh pemerintah. Skema pembiayaan tentu perlu dirumuskan secara komperhensif. Skema pembiayaan yang dipilih pemerintah selama ini perlu dikaji ulang agar tak mengorbankan Indonesia di masa depan. Harus dipilih skema pembiayaan yang lebih visioner.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak awal Bulan Maret kemarin, Indonesia dihadiri “tamu” tak terduga yaitu makhluk kecil (baca: virus) corona yang kini telah merambah ke banyak daerah di Indonesia. Seperti yang dilansir dalam https://www.covid19.go.id/, hingga hari ini, 16/05/2020, jumlah kasus yang tercatat ialah 17.025 orang positif corona, jumlah sembuh sebesar 3.911 orang, dan 1.089 orang meninggal (dengan tingkat kematian sebesar 6,39%, sementara tingkat kematian dunia 6,89%). Seiring dengan kasus yang semakin meningkat setiap harinya, tentu perlu adanya penanganan serius dari pemerintah terkait pandemi ini agar segera berakhir. Aamiin. Skema pembiayaan tentu perlu dirumuskan secara komperhensif guna penanganan virus ini.

Pada video converence di Jakarta, 07/04/2020, Menteri Keuangan Indonesia mengungkapkan bahwa outlook defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 bisa mencapai Rp 853,00 triliun atau setara dengan 5,07% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Hal ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020, yang mengungkapkan bahwa batasan defisit anggaran boleh melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan COVID-19 dan untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (cnnindonesia.com/).

Untuk pembiayaan defisit APBN yang meningkat akan digunakan sumber-sumber pembiayaan yang paling aman dan biayanya paling kecil, mulai dari sumber pembiayaan utang dan non utang. Instrumen pembiayaan non utang berasal dari bentuk Saldo Anggaran Lebih (SAL).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti yang diketahui bersama bahwa SAL adalah akumulasi netto dari SiLPA (selisih lebih realisasi pembiayaan anggaran atas realisasi defisit anggaran yang terjadi dalam satu periode pelaporan) dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran tahun-tahun yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup.

Selain SAL, sumber pendanaan yang kedua adalah berasal dari dana abadi pemerintah untuk pendidikan yang telah terakumulasi secara signifikan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi. Dana abadi pemerintah ini bisa memberikan solusi sebesar Rp 65 triliun.

Kemudian, sumber pendanaan yang ketiga adalah berbagai dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) yang menjadi bagian dari lembaga pemerintah.

Instrumen pembiayaan utang berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) melalui Surat Utang Negara (SUN) atau sukuk melalui mekanisme pasar, baik di pasar domestic maupun valuta asing. Kemudian, skema pembiayaan yang terakhir adalah menggunakan sumber-sumber bilateral dan multilateral yang bersedia meminjamkan atau menggelontorkan uangnya ke dalam negeri. Lembaga-lembaga seperti WB, ADB, AIIB, KFW, dan IDCF.

Pada dasarnya, virus atau penyakit merupakan bencana yang tidak diduga sama sekali sebelum terjadi. Sehingga dalam awal perencanaan APBD tidak terdapat pos khusus untuk menangani Covid-19 ini. Pada akhirnya, perlu dirumuskan pembiayaan tak terduga guna mengatasi pandemi. Skema pembiayaan untuk menangani Covid-19 perlu dipertimbangkan sematang-matangnya, karena akan mempengaruhi segala jenis aktivitas ekonomi yang ada di Indonesia. Bahkan efek dari Covid-19 ini, banyak sektor-sektor ekonomi yang melemah.

Pemerintah Indonesia dapat meniru langkah-langkah pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah Singapura, yaitu dengan “meninjau ulang alokasi dana yang tidak mendesak”. Uang APBN yang sangat terbatas sebaiknya dialokasikan untuk memperkuat sektor medis guna melakukan penelitian-penelitian mengenai virus ini di laboratorium.

Begitu juga untuk meningkatkan kapasitas pelayanan di rumah sakit sehingga tidak terjadi kekurangan tenaga medis dan meningkatkan tingkat penyembuhan terhadap pasien Covid-19. Karena kunci dari penanganan virus adalah kecepatan dan ketepatan langkah, semakin cepat dan serius dalam pengalokasian dana guna penyelesaian virus ini maka virus ini akan dengan segera “terkarantina” dan penyebarannya dapat dihentikan.

Hal yang dilakukan Pemerintah Singapura adalah dengan melakukan transparansi data pasien mulai dari umur pasien, kewarganegaraan, lama rawat inap, tempat tinggal, dan tren sejak awal pandemi sehingga masyarakat dapat menjauhi pasien dan mendeteksi apakah dirinya pernah kontak dengan pasien. Kemudian setelah pandemi ini berhasil dikarantina, baru mulai menghidupkan kembali sektor-sektor ekonomi yang terhenti akibat virus ini (beritasatu.com).

Dalam upaya penanganan virus corona ini tiada salahnya meniru apa yang dilakukan oleh Korea Selatan, yaitu mengalokasikan dananya untuk melakukan tes secara gratis kepada seluruh masyarakat, kemudian diberikan transparansi data, dan karantina kepada yang terkontaminasi, sehingga penyebaran dapat dihentikan. Selain itu, disediakan laboratorium milik pemerintah dan swasta sebagai upaya untuk menguji virus ini (kaltimkece.id).

Gagasan yang telah dicetuskan adalah skala pembiayaan utang. Hal ini sekiranya perlu dipertimbangkan secara mendetail skema pembayarannya di kemudian hari. Berdasarkan berita terbaru, bahwa dari skema defisit APBN sebesar Rp 853,00, sumbangan pembiayaan anggaran utamanya adalah dari pembiayaan utang. Tercatat, pembiayaan utang meningkat sebesar Rp 654,55 triliun, dari Rp 351,85 triliun menjadi Rp 1.006,4 triliun dan kemungkinan akan membengkak lagi, baik dari SBN maupun investasi.

Hal ini bisa dikatakan bahwa pembiayaan utang mencapai 186,03 persen dari sebelumnya. Pembiayaan utang ini perlu untuk dipertimbangkan mengenai konsep pembayarannya, sehingga tidak terjadi bahwa Indonesia akan terjerat utang yang berkepanjangan hingga tidak mampu melunasinya (cnnindonesia.com).

Terdapat saran dari beberapa ahli, salah satunya adalah pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio. Dalam menangani virus corona memerlukan dana yang cukup banyak, oleh karena itu beliau menyarankan untuk menggunakan dana proyek kereta api cepat, dana ibu kota baru, dana infrastruktur lainnya, bahkan dana pendidikan jika terpaksa. Dan kunci utamanya adalah jangan sampai terjadi korupsi.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bima Yudhistira, menyarankan hal berbeda, yaitu bahwa yang seharusnya dipangkas adalah anggaran untuk ibu kota baru. Sebab persoalan virus tentu lebih penting untuk diselesaikan terlebih dahulu. Sementara menurut beliau, dana abadi pendidikan merupakan dana yang jangan digunakan terlebih dahulu, karena pendidikan merupakan hal penting pasca bencana (detiknews.com).

Dari berbagai sikap yang dilakukan oleh pemerintah di luar negeri dan saran dari berbagai ahli, maka penulis sependapat dengan saran tersebut yaitu perlu adanya pengkajian ulang oleh pemerintah mengenai skema pembiayaan untuk menangani Covid-19 ini, sehingga dapat diambil sikap yang tepat untuk menangani Covid-19 ini.

Upaya sekarang dapat dilakukan dengan fokus pembiayaan untuk bidang kesehatan dan teknologi, dengan tetap dapat mempertahankan dunia usaha skala lokal agar dapat bertahan dalam kondisi meluasnya virus corona. Serta, upaya penanganan harus bersifat visioner pasca virus corona, yaitu mempertimbangkan agar tidak terjadi pemberatan dalam utang negara dan penjagaan terhadap sektor pendidikan untuk generasi mendatang.

Ikuti tulisan menarik Fathimah A. S. lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler