x

N. Riantiarno

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 7 Juni 2020 14:28 WIB

71 Tahun N Riantiarno, 43 Tahun Teater Koma, dan 160 Produksi Pementasan

Di usia Nano Riantiarno yang ke-71 (kelahiran 6 Juni 1949), di tahun 2020 ini, usia Teater Koma pun sudah 43 tahun. Artinya, khusus untuk Teater Koma, Pak Nano sudah mengabdikan diri lebih dari separuh usianya dengan cipta-karya yang sudah mencapai 160 produksi, yaitu saat pementasan Sampek Engtay pada 15 dan 16 Agustus 2020 di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta. Bukan perkara mudah memimpin sebuah grup teater, namun di tangan N.Riantiarno, Teater Koma masih eksis sampai kini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selamat Ulang Tahun ke-71 Bapak Nano Riantiarno. Semoga senantiasa sehat, berkah, selalu sukses dalam cipta-karya untuk panggung teater Indonesia serta dunia, karena tetap dan terus Koma. Aamiin.

Pentas Sampek Engtay

Di usia Pak Nano ke-71 (kelahiran 6 Juni 1949), di tahun 2020 ini,  usia Teater Koma pun sudah 43 tahun. Artinya, khusus untuk Teater Koma , Pak Nano sudah mengabdikan diri lebih dari separuh usianya dengan cipta-karya yang sudah mencapai 160 produksi, yaitu pementasan Sampek Engtay pada 15 dan 16 Agustus 2020 di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta.

Sejatinya, pentas tersebut berlangsung pada 28 dan 29 Maret 2020 di tempat yang sama. Namun, akibat pandemi corona dan mengikuti peraturan PSBB? maka Teater Koma memutuskan untuk memundurkan jadwal, demi mendukung langkah pemerintah dalam upaya pencegahan penyebaran wabah Covid-19.

Sesuai Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 337 tahun 2020 tanggal 20 Maret 2020 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Bencana Wabah Covid-19. Aturan menyerukan untuk menjaga jarak fisik dalam batas aman saat berinteraksi sosial atau physical distancing.

Kini, DKI Jakarta sudah memasuki masa transisi ke arah normal baru, semoga bulan Agustus, saat Sampek Engtay pentas sesuai jadwal yang telah dimundurkan, berjalan sukses dan lancar. Aamiin.

Di usai 71 tahun dan berhasil memimpin Teater Koma selama 43 tahun, bukanlah perkara mudah. Namun, di tangan Pak Nano, nyatanya semua itu menjadi mudah. Sebab, ada dua hal yang selalu diperhatikannya, yaitu anggota dan penonton.

Sejak didirikan 1 Maret 1977, kini rata-rata anggota Teater Koma, sudah lebih dari 20, 25, dan 30 tahun bergabung dan sangat loyal. Meski beberapa anggota sudah mapan di dunia film atau sinetron, dan pekerjaan formal maupun infomal, tetap saja terus aktif kembali ke panggung, karena ada yang didapat dari Teater Koma , lebih dari sekadar uang dan tetap loyal dan setia, terlebih untuk menjadi anggota Teater Koma pun tak mudah.

Sementara untuk penonton, juga tak dapat dipungkiri, bahwa kendati Teater Koma pentas dalam satu produksi selama 10/15/20 hari dll, bangku penonton tetap terisi penuh. Artinya, penonton generasi pertama, kedua, ketiga, dan hingga kini, masih tetap setia. Apa sebabnya? Karena daya tarik pertunjukkannya, mulai dari naskah, penyutradaraan, kemasan dan lainnya, yang terus khas dengan ciri khas Teater KOMA yang selalu menghibur.

Pahit getir dan senang bahagia

Sepanjang 43 tahun berproses dan berprogres pahit getir dan senang bahagia sudah dirasakan Pak Nano bersama teaternya. Yang pahit itu, semisal saat mendapatkan pelarangan pentas 'Maaf, Maaf, Maaf' pada 1978, tidak boleh manggung di tiga kota, Bandung, Surabaya dan Yogya. Alasannya, saat itu, karena adanya kebijakan normalisasi kampus.  Kampus tidak boleh menerima kegiatan-kegiatan dari luar. Termasuk pentas teater dan diskusi yang sifatnya kegiatan luar kampus. Padahal sebelum dicekal, 'Maaf, Maaf, Maaf' sempat manggung di Fakultas Sastra UI selama 2 hari.

Pada tahun 1989, pementasan 'Sampek Engtay' juga batal tampil di Medan karena mendapatkan pelarangan dari Depdikbud dan Kepala Dinas Kebudayaan setempat. Alasannya, pentas tersebut berbau China, yang saat itu masih menjadi isu SARA dan tabu. Berikutnya, pentas 'Suksesi' juga dicekal aparat yang menilai bahwa lakon tersebut mengkritik keluarga Soeharto yang kala itu masih kuat berkuasa. Lebih pahitnya, atas pencekalan itu, Pak Nano harus repot, harus bolak-balik ke markas ABRI, untuk menjalani interogasi.  Tahun 1990, Teater Koma juga batal manggung di empat kota di Jepang, tatkala akan membawakan lakon 'Kecoa". Namun, setelah Soeharto jatuh pada tahun 1998, surat izin untuk pentas  tidak diperlukan kembali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di luar hal yang pahit dan getir tersebut, sepanjang perjalan 43 tahun Teater Koma, sederet senang dan bahagia juga mengiringi. Penghargaan dan prestasi disabet oleh Pak Nano dan Teater Koma, mengalir dengan sendirinya yang bila disebut satu persatu juga akan cukup panjang.

Semisal pada Pekan Teater Nasional 2018 Pak Nano, dianugerahi penghargaan atas dedikasinya di dunia teater dan mendirikan Teater Koma. Lalu, sebelumnya, pada 2017, penghargaan juga diberikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP Pancasila) dengan menyabet penghargaan Ikon Prestasi Pancasila.

Naskah drama Sampek Engtay yang ditulis oleh Pak Nano pada 1988, telah puluhan kali dipentaskan juga mendapatmendapat rekor MURI. Masih banyak sekali penghargaan yang ternyata datang sendiri untuk Pak Nano dan Teater Koma, karena perjuangan proses cipta karyanya yang tak pernah putus dan seluruh anggota Teater Koma juga dibekali pondasi Kode Etik Teater Koma

Pak Nano bagi anggota dan keluarga besar Teater Koma serta penonton setia Teater Koma adalah guru, suhu, sekaligus orang tua. Melalui pergumulan sastra pentas dramanya senantiasa memberikan arah tentang arti kehidupan yang sebenarnya, terutama pembelajaran menjadi manusia yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, tanggungjawab, disipilin, santun, berbesar hati, tahu diri, mengukur diri, dan rendah hati.

Di tengah gersang dan tandusnya apresiasi sastra khususnya drama, Pak Nano dengan Teater Koma selalu ditunggu proses kreatifnya. Sebab, Pak Nano dan produksi pentasnya adalah ibarat oasis, khususnya untuk para pemimpin bangsa 'mana saja' yang duduk di pemerintahan maupun parlemen dan umumnya untuk rakyat. Karena segala daya cipta karyanya senantiasa bak daerah di padang pasir yang berair cukup, untuk tumbuhan dan permukiman manusia dan selalu memberikan kemaslahatan (kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan) yang amanah dan hiburan di tengah-tengah suasana yang serba kalut dan tidak menyenangkan.

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu