x

Iklan

Dede Adyathul Fauzii

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Maret 2020

Senin, 22 Juni 2020 05:57 WIB

Banyak Oligark dan Investor Politik Bermain, Pilkada Serentak 2020 Untuk Siapa?

Pilkada Serentak 2020 akan turut menentukan secara signifikan kualitas konsolidasi demokrasi Indonesia saat ini dan di masa mendatang. Namun, hal mendasar yang penting kita pikirkan sekarang, proses sirkulasi elite di pilkada ini untuk siapa? Apakah banyak daerah yang sudah berpilkada kondisinya membaik? Faktanya, banyak Pilkada di beberapa daerah hanya digunakan untuk mempertahankan kekayaan pribadi dan kepentingan golongan saja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Catatan dinamika politik kita tahun ini tentu saja penyelenggaraan pilkada serentak di 270 daerah se-Nusantara. Rinciannya adalah ada sembilan pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan wali kota. Pilkada tahun ini, melibatkan sekitar 107 juta pemilih atau 68% dari total daftar pemilih dalam Pemilu 2019. Dengan demikian, turut menentukan secara signifikan kualitas konsolidasi demokrasi Indonesia saat ini dan di masa mendatang.

Hal mendasar yang penting kita pikirkan sekarang, proses sirkulasi elite di pilkada ini untuk siapa? Apakah banyak daerah yang sudah berpilkada kondisinya membaik? Secara umum memang masih memprihatinkan sehingga sering membuat rakyat berada di persimpangan antara berpartispasi dalam pemilu dengan berkesadaran dan ikut serta dalam pilkada, tetapi lebih sekadar meramaikan pasar jual-beli suara. Selebihnya mungkin apatis untuk tak mau peduli apa yang sedang terjadi.

Celakanya, bagi banyak elite, pilkada kerap menjadi semata-mata sebagai finite game. James P Carse, dalam Finite and Infinite Games (1987), menjelaskan finite game sebagai permainan yang memiliki awal dan akhir khususnya tentang kekuasaan, yang kecenderungannya menjadi mekanisme memenangi kekuasaan belaka untuk kepentingan pribadi dan golongan. Situasi ini, lazim cuma menghadirkan finite player, yakni para politikus yang secara optimal menyalurkan hasratnya semata-mata guna mendapatkan 'piala kekuasaan' tak lebih dari itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan demikian, pilkada sudah seharusnya menjadi mekanisme demokratis yang dapat melahirkan para pemimpin transformatif. Berkat pilkada langsung memang mulai bermunculan para kepala daerah yang berkualitas, berintegritas, dan mampu mewujudkan banyak perubahan di daerahnya. Hanya, secara kuantitas jumlah mereka masih sangat minor ketimbang keberadaan kepala daerah yang bermasalah. Dengan demikian, agenda pilkada harus menjadi momentum evaluasi semua pihak, termasuk para pemilih.

Buruknya pemerintahan daerah, salah satunya yang utama banyak disebabkan oleh kepala daerah yang tidak punya kapasitas kepemimpinan, nirintegritas, serta minim jaringan komunikasi diferensial dalam menginisiasi banyak inovasi perubahaan di tengah banyak keterbatasan di daerahnya. Masalah menjadi lebih kompleks, saat kepala daerah yang dipilih lahir dari sebuah proses oligarki.

Menurut Jeffrey Winters, akademisi dari Northwestern University, dalam bukunya Oligarchy (2011), demokrasi kerap dikuasai kaum oligarki sehingga makin jauh dari cita-cita memakmurkan rakyat. Dalam International Encyclopedia of Social Sciences, oligarki didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan minoritas.

Yang menarik dari analisis Winters, menurutnya, oligarki menekankan kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya pertahanan kekayaan pada diri mereka. Adanya ketidaksetaraan material tersebut kemudian menghasilkan ketidaksetaraan kekuasaan politik. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia.

Secara faktual, kondisi ini terjadi pada pilkada di berbagai daerah. Penguasaan sumber daya material oleh seseorang atau sekelompok orang yang pada akhirnya melakukan penguasaan politik untuk melindungi kekayaan mereka. Fenomena ini bisa kita amati dalam praktik dinasti politik yang terjadi di banyak daerah atau juga fenomena 'investor' yang menjadikan kandidat sebagai pion dari beroperasinya kekayaan mereka di daerah bersangkutan.

Catatan khusus untuk Pilkada 2020, supaya bisa keluar dari dilema di persimpangan, wajib mengatasi tiga tantangan utama dalam hal penyelenggaraan pilkadanya, yakni integritas, profesionalisme, dan manajemen tata kelola pemilu. Selain itu, para kandidat harus memiliki kualitas sebagai petarung sejati, yakni integritas, kapasitas, dan pengalaman profesionalitas untuk perubahan daerah yang ingin dipimpinnya.

Pilkada serentak memang belum ideal, masih banyak sekali kelemahan-kelemahan mendasar dalam penyelenggarannya. Namun, di tengah maraknya ragam persoalan, pilkada langsung tetap harus dipertahankan karena tentu kita tak rela proses demokrasi kita melangkah mundur ke masa lalu, yakni pemimpin hanya ditentukan elite oligarki di DPRD.

 

Ikuti tulisan menarik Dede Adyathul Fauzii lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler