*) Naskah ini diambil dari Opini Majalah Tempo, edisi 6-13 Juli, dengan perubahan judul.
REFORMASI menghasilkan dua wajah kepolisian kita. Wajah pertama adalah kepolisian sebagai institusi sipil setelah lepas dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 2000. Sayangnya, wajah militeristik juga tetap melekat pada banyak anggota lembaga ini, termasuk untuk keperluan mengejar pengakuan tersangka tindak pidana.
Dua wajah itulah yang menghiasi kiprah Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri pada usianya yang ke-74, Rabu, 1 Juli lalu. Secara resmi, setelah dipisahkan dari ABRI pada 2000, Polri merupakan institusi sipil yang bertanggung jawab menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Adapun Tentara Nasional Indonesia bertugas menjaga pertahanan negara. Dua tugas itu dulu disatukan di dalam ABRI, yang bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan negara.
Kepolisian tentu saja bukan institusi sipil biasa. Lembaga ini memiliki seragam, menguasai senjata, dan mengoperasikan berbagai perangkat teknologi yang bisa dijalankan untuk mengawasi semua warga negara. Keistimewaan ini sekaligus memberikan pengaruh sangat besar buat anggotanya. Tak mengherankan jika kepolisian perlahan-lahan juga menjadi kekuatan politik yang berpengaruh. Apalagi setelah pemerintah Joko Widodo membuka pintu bagi personel kepolisian untuk mengisi jabatan di luar wilayah tugas keamanan negara.
Reformasi kepolisian sudah sepatutnya diteruskan. Polisi perlu terus meningkatkan standar profesionalitasnya. Personel yang mendapat posisi pada jabatan sipil, misalnya, perlu diharuskan mundur agar tidak ada konflik kepentingan. Kepolisian juga harus terus mengikis sifat militeristik anggotanya. Tanpa usaha itu, kepolisian akan mengulang keburukan peran ganda tentara pada masa Orde Baru. Sejarah mencatat, rezim Jokowi-lah yang membuka pintu ke sana.
Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.