x

ilustr: Sinode GKJ

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 15 Agustus 2020 17:11 WIB

Calon Tunggal dan Demokrasi Kamuflase

Apa yang dilupakan dan diabaikan oleh para elite politik ini ialah bahwa ada harga yang harus dibayar dengan dipraktikannya pragmatisme politik semacam ini, yaitu tergerusnya nilai-nilai substansial demokrasi. Alih-alih memajukan demokrasi, dengan hanya menyediakan calon tunggal dalam pilkada, para elite partai telah memperalat partai politik untuk melumpuhkan demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Potensi calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah diperkirakan meningkat dibandingkan pilkada yang lalu. Banyak kepala daerah yang mencalonkan kembali. Banyak pula elite politik yang mengusung kerabatnya untuk maju ke perhelatan politik ini. Partai-partai cenderung bersikap pragmatis dengan mendukung calon-calon kuat yang diperkirakan menang besar sehingga secara politik mereka aman.

Partai-partai juga cenderung menyokong calon yang diusung elite tertentu. Boleh dikata ini sejenis solidaritas di antara elite politik, bahkan jika partai politiknya berlainan mereka akan saling mendukung. Mereka tidak merasa risih atau malu di hadapan rakyat karena tidak mampu mengusung calon sendiri dan malah mendukung calon dari partai lain, sekalipun bila selama ini dipersepsikan oleh masyarakat mereka berbeda haluan. Ketimbang kalah dalam kompetisi politik pilkada, elite memilih untuk ramai-ramai mendukung calon kuat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka menyisihkan persaingan politik yang seha maupun gengsi pribadi dan partai demi mengambil manfaat dari saling mendukung sesama elite. Contohnya: di kota X partai A mengajukan calon kuat, partai B enggan mengajukan calon [lantaran kemungkinan kalah lebih besar] dan lebih suka mendukung calon partai A. Imbalannya, di kota Y, partai A akan mendukung calon yang diusung partai B. Kompetisi politik yang sehat di wilayah pemilihan tidak terwujud, sebab telah berlangsung pembagian wilayah kekuasaan.

Jelas bahwa ini merupakan cara-cara pragmatis untuk memenangkan pemilihan tanpa mempedulikan nilai-nilai dan cita-cita partai. Para elite politik telah menyederhanakan tujuan esensial berpolitik dan berdemokrasi menjadi sekedar menang dan berkuasa.

Partai politik yang tidak mau ikut arus besar pencalonan figur yang didukung mayoritas partai akan menemui kesulitan untuk mengusung calon sendiri. Pencalonan mereka terbentur pada Pasal 40 ayat 1 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Disebutkan dalam pasal ini: “Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.” Sebagai contoh, di Solo untuk pilwalkot nanti, PKS sulit mengusung calonnya sendiri, sebab seluruh partai dengan senang hati mengusung Gibran Rakabuming, putra Presiden Jokowi.

Syarat pencalonan kandidat independen tidak mudah dipenuhi. Diperlukan jumlah dukungan minimal bagi seseorang yang ingin menjadi calon kepala daerah melalui jalur di luar partai politik. Angka minimal yang harus dipenuhi ini berbeda-beda, bergantung kepada daerahnya. Sebagai contoh, ada daerah dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap [DPT] kurang dari 2 juta pemilih, maka syarat dukungan minimal yang harus dikumpulkan sebesar 10 persennya atau 200 ribu warga daerah setempat yang memiliki hak pilih. Jika jumlah DPT lebih besar lagi, persentase dukungan berkurang.

Jika kamu ingin mencalonkan diri melalui jalur independen, kamu harus punya banyak sekali relawan untuk mampu mengumpulkan 200 ribu fotokopi Kartu Tanda Penduduk sebagai bukti dukungan awal untuk maju mencalonkan diri. Jika kalian ingin maju, siapkan dana untuk membiayai mobilitas relawan dan memfotokopi KTP sebanyak 200 ribu kali sekian lembar per KTP. Itu baru pekerjaan permulaan.

Dengan siasat-siasat semacam itu, baik legal melalui aturan undang-undang maupun praktik pragmatis, partai politik telah mendikte rakyat dengan memilihkan hanya satu calon kepala daerah dan mempersulit munculnya calon tandingan. Apa yang dilupakan dan diabaikan oleh para elite politik ini ialah bahwa ada harga yang harus dibayar dengan dipraktikannya pragmatisme politik semacam ini, yaitu tergerusnya nilai-nilai substansial demokrasi. Alih-alih memajukan demokrasi, dengan hanya menyediakan calon tunggal dalam pilkada, para elite partai telah memperalat partai politik untuk melumpuhkan demokrasi. >>

 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB