x

Sejumlah wisatawan menikmati air terjun Leuwi Hejo di Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat, 21 Agustus 2020. Wisata air terjun Leuwi Hejo menjadi salah satu tujuan wisata alam di Bogor pada libur Tahun Baru Islam 1 Muharam 1442 Hijriah dan libur akhir pekan. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Iklan

Napitupulu Na07

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Agustus 2019

Sabtu, 22 Agustus 2020 06:32 WIB

Wujudkan Penyelamatan Air dengan Upaya Non Struktural - Praktik Prinsip 10 R oleh Pemangku Kepentingan Sumber Daya Air

Merespon timbulnya bencana banjir, kekeringan dan pencemaran di Indonesia pada tahun 2015 dalam rangka Hari Air Dunia ke 13, Presiden SBY (KIB SBY-YK) mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air GN-KPA)meliputi enam komponen kegiatan: (1) Penataan ruang,pembangunan fisik,pertanahan dan kependudukan, (2) Rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi sumber daya air, (3) Pengendalian daya rusak air, (4) Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran, (5) Penghematan penggunaan dan pengelolaan permintan air, (6) Pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien, dan berkelanjutan. Untuk alasan perlunya penyelamatan air, tulisan ini menguraikan proses deforestasi sejak awal kemerdekaan, masuk ke era orde baru sampai era reformasi 2017 sisa hutan Indonesia 93,9 juta ha tetapi dengan deforestasi netto 0,48 juta ha setiap tahun, padahal luas hutan tahun 1950 besarnya 162 juta ha. Akibat deforestasi adalah lahan sangat kritis di Indonesia luasnya 48 juta ha. Berikutnya diuraikan tentang pentingnya jenis dan kerapatan hutan tutupan lahan DAS yang dapat meresapkan / infiltrasi air hujan ke dalam tanah sehingga limpasan / aliran permukaan menjadi kecil resultannya adalah debit banjir yang tidak tinggi diikuti debit andalan yang baik (Qmaks/Qmin kecil). Juga diuraian dampak negatip degradasi atau kerusakan lahan DAS yaitu Qmaks/Qmin besar sekali serta terbuangnya air ke laut waktu banjir. Diikuti uraian peluang mengubah keadaan lahan mikro DTA yang kritis dengan program rehabilitasi hutan dan lahan, dan upaya memanen hujan serta menyimpan air dalam tandon/kolam. Setelah menguraikan pengalaman manca negara tentang keberhasilan panen air hujan (rainwater harvest) dikaitkan pertanian konservasi; diuraikan simpulan solusi struktural dan non struktural mengatasi banjir, kekeringan dan pencemaran. Rangkuman tulisan adalah Penyelamatan air dengan upaya non struktural pelaksanaan 6 komponen GN-KPA yaitu dengan praktik prinsip 10 R yang terdiri dari: 1 R = Re-education untuk peningkatan kapasitas; 2 R = Replant dan Rainwater harvest and storage untuk menambah pasok air; 3 R = Reduce, Reuse, Recycle untuk nenghemat penggunaan air; 4 R = Reduce, Reuse, Recycle, Recovery untuk mengurangi pencemaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada periode awal era reformasi, timbul banyak bencana banjir, kekeringan dan pencemaran yang makin parah, akibat masifnya alih fungsi tutupan lahan resapan ruang terbuka hijau (vegetasi, hutan) menjadi tutupan lahan resapan kecil (perkebunan, pertambangan minerba, galian C, lahan kritis) dan tutupan non resapan (perkotaan, permukiman, daerah industri, infrastruktur transportasi), guna memenuhi kebutuhan ruang untuk kehidupan penduduk yang terus bertambah (211,5 juta jiwa tahun 2000), dan pengembangan ekonomi berbasis ekstraksi Sumber Daya Alam (SDAlam) yang diekspor mentah.

Untuk merespon keadaan itu telah dilakukan berbagai seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok terfokus, guna mencari solusi sejalan dengan semangat reformasi nasional bangsa. Pada Peringatan Hari Air Dunia (HAD) ke 11, tahun 2003, diselenggarakan Dialog Nasional tentang Penyelamatan Air; diikuti Deklarasi 12 Menteri tentang Pengelolaan Air yang efektif dalam penanggulangan bencana pada 23 April 2004, HAD ke 13; dan kulminasinya dalam rangka Peringatan HAD ke 13, pada tanggal 28 April 2005 Presiden SBY (Kabinet Indonesia Bersatu SBY-JK) mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) yang meliputi enam komponen kegiatan yaitu:

  • Penataan ruang, pembangunan fisik, pertanahan dan kependudukan,
  • Rehabilitasi hutan dan lahan serta konservasi sumber daya air,
  • Pengendalian daya rusak air,
  • Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air,
  • Penghematan penggunaan dan pengelolaan permintaan air,
  • Pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien dan berkelanjutan.

Sejak awal, GN-KPA telah dapat menggalang keterpaduan mulai di tingkat pusat, turun ke provinsi, kabupaten kota, kecamatan sampai desa. Faktor kunci GN-KPA ialah level koordinasi dan pemecahan masalah yang bukan aras Sumber Daya Air (SDAir) tetapi penataan Ruang SDAlam dan infrastruktur (ekosistem) sebagaimana tercermin dari enam komponen GN-KPA. Pengaruh positip enam komponen ini adalah suasana bahwa semua instansi level kementerian yang sejak lokakarya Penyelamatan Air, memang ikut bersama merumuskan GN-KPA sehingga semuanya komit untuk mendukungnya. Namun demikian masih diperlukan peningkatan kebersamaan dan keserentakan pelaksanaan nyata GN-KPA di lapangan. Untuk itu pada bulan Mei tahun 2015, 8 (delapan) Kementerian Kabinet Kerja Jokowi-JK bersepakat melakukan Revitalisasi GN-KPA. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa perlu penyelamatan air? Untuk jawabannya, kita perlu kilas balik kondisi lingkungan hidup, sumber daya alam (SDAlam) dan pertambahan penduduk Indonesia sejak periode awal setelah proklamasi kemerdekaan. Pada tahun 1950, waktu itu penduduk Indonesia masih 77,2 juta jiwa, kondisi tata guna lahan adalah: total luas lahan Indonesia 193,7 juta ha, mencakup 162, 29 juta ha hutan (83 %), 26 juta ha padang rumput, lahan sawah tadah hujan dll., dan 5,3 juta ha sawah beririgasi, berarti dimana-mana memang masih hijau dan hutan.  

Berikutnya sejalan dengan perkembangan pembangunan selama orde baru 1969-1998; dari data terkait Luas Hutan dan Deforestasi, 1985-1997 dengan ‘data GOI/WB’ luas hutan Indonesia tahun 1997 adalah 100 juta ha, sedangkan menurut ‘data GFW Estimate’ luas hutan Indonesia adalah 95,628 juta ha dibulatkan 96 juta ha, jika diratakan berarti luas hutan Indonesia 1997 adalah 98 juta ha. Kalau kita bandingkan kondisi tahun 1950 luas hutan 162 juta ha, ke tahun 1997 menjadi 98 juta ha berarti dalam lebih kurang 50 tahun telah terjadi deforestasi sebanyak 64 juta ha atau 40 % (The State of the Forest in Indonesia 2002 – Forest Watch Indonesia).        

Bagaimana setelah masuk era reformasi? Dalam Buku Status Hutan & Kehutanan Indonesia 2018, terbitan Kemen LHK, tercatat bahwa Indonesia mengalokasikan 120,6 juta ha atau sekitar 63 % dari luas daratan sebagai kawasan hutan (“Kawasan hutan adalah wilayah tetentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”). Sedangkan sisanya 37 %  merupakan Areal Penggunaan Lain (APL). Di samping itu ada 5,3 juta ha wilayah perairan Indonesia, sebagai kawasan konservasi perairan, pengelolaannya dimandatkan hepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK). 

Berdasarkan fungsi, kawasan hutan Indonesia diklasifikasikan menjadi 3 fungsi berbeda yaitu: hutan produksi (HP) seluas 68,8 juta ha atau 57 % dari Kawasan Hutan. Hutan lindung (HL) seluas 29,7 juta ha atau 25 % dari Kawasan Hutan, dan Hutan Konservasi (HK) seluas 22,1 juta ha atau 18 % dari luas Kawasan Hutan. Kawasan Hutan Produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK).  Hutan Lindung seluas 29,7 juta ha memiliki fungsi perlindungan daerah aliran sungai (DAS). 

Dalam buku Kemen LHK - 2018 tersebut; pada “Tabel 2.1 Luas Penutupan Lahan Indonesia”, tercatat: luas total daratan Indonesia 188 juta ha, meliputi: Kawasan Hutan 120, 6 juta, dan Areal Penggunaan Lain 67,4 juta ha, ternyata luas hutan riil yang ada di Kawasan Hutan adalah 85,8 juta ha atau 71,2 %, sedangkan pada APL luas hutan yang ada adalah 8,1 juta ha atau 12 % dan untuk total Indonesia luas hutan 93,9 juta ha atau 50 % luas daratan Indonesia 188 juta ha.

Kalau pada tahun 1997 luas hutan masih ada 98 juta ha atau 52% luas daratan Indonesia; mengapa di era reformasi tahun 2017 luas hutan mengecil menjadi sebesar 93,9 juta ha?. Pada hal tahun 1997 jumlah penduduk Indonesia 202,8 juta jiwa dan setelah 20 tahun (2017) bertambah 61,8 juta jiwa menjadi 264,6 juta jiwa. Dengan penduduk yang lebih banyak dan luas hutan lebih kecil maka jelas kondisi hutan Indonesia tahun 2017 adalah lebih parah daripada kondisi hutan pada ujung orde baru - 1997. 

Bagaimana dengan luas lahan kritis (degradated)? Dalam Buku Status Hutan & Kehutanan Indonesia terbitan Kemen LHK 2018 tersebut, tidak jelas berapa luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia. Luas lahan sangat kritis di kawasan hutan tentu saja adalah selisih antara luas kawasan hutan yang dicadangkan 120,6 juta ha terhadap luas hutan yang masih ada 93,9 juta ha, yaitu sebesar 26,7 juta ha atau 22 %. Tentang luas lahan kritis di APL juga tak jelas. Dalam tulisan Sdr Santun R.P. Sitorus dan Andrea Emma Pravitasari berjudul “Land Degradation and Landslide in Indonesia” yang dimuat dalam “Sumatera Journal of Disaster, Geography and Geography Education” ada data lahan: Very Critical/Heavy degradated seluas 48,24 juta ha, Critical/Medium degradated seluas 22,83 juta ha, A critical/Light degradated seluas 6,89 juta ha, sehingga total 77,96 juta ha, (source: Ministry of Forestry - 2017). Kalau kita gunakan angka lahan sangat kritis Indonesia sebesar 48,24 juta ha, maka luas lahan sangat kritis pada APL adalah 22,54 juta ha. Apa sebenarnya yang terjadi?

Indonesia telah melakukan perhitungan angka deforestasi secara periodik sejak tahun 1990-1996 sampai 2016-2017. Angka deforestasi tertinggi terjadi periode 1996-2000 (peralihan dari Era Orde Baru ke Era Reformasi) yaitu sebesar 3.51 juta ha pertahun. Pada periode tersebut terjadi kebakaran hutan hebat. Pada periode berikutnya 2002-2014 terlihat adanya penurunan laju deforestasi sejalan dengan menurunnya kejadian kebakaran hutan dan lahan, dan pengendalian ketat beberapa ekses desentralisasi pengelolaan hutan. Pada periode 2014-2015 tercatat angka deforestasi di Kawasan Hutan sebesar 0,82 juta ha, diantaranya disebabkan oleh kebakaran hutan yang terjadi tahun 2015. Pada periode berikutnya terjadi penurunan kembali laju deforestasi. Angka deforestasi 2015-2016 sebesar 0,63 juta ha. Dan deforestasi (netto) 2016-2017 adalah 0,48 juta ha.

 Pentingnya Tutupan Lahan DAS. Mengapa jenis dan kerapatan vegetasi tutupan lahan DAS sebagai Daerah Tangkapan Air (DTA – Watershed) hujan amat penting, dan mendasar guna mewujudkan suatu sungai yang debit banjirnya tidak terlalu tinggi, diikuti debit kemarau / dasar yang handal dan kualitas air yang bening (minimum aliran sedimen) sepanjang tahun? Di lapangan pada suatu DTA mikro, sewaktu hujan lebat, dengan mudah kita dapat mengamati proses terjadinya limpasan atau aliran permukaan (runoff) dan resapan/infiltrasi ke dalam tanah sesuai jenis dan kerapatan vegetasi tutupan lahan. Dalam Ilmu Hidrologi ada rumus / metode rasional menghitung debit Q = C.I.A, dimana A luas DTA, I intensitas hujan, dan C koefisien limpasan yang terkait dengan jenis dan kerapatan vegetasi tutupan lahan. Maka untuk A, dan I yang sama debit Q ditentukan oleh koefisien C.

Berikut, kita membuat beberapa imaginasi vegetasi tutupan lahan. (i) Lahan dengan perkerasan beton atau aspal, jelas seluruh hujan menjadi limpasan atau aliran permukaan (runoff), atau C = 1; (ii) Lahan dengan tanah tanpa vegetasi (gundul) sebagian besar air hujan menjadi limpasan, hanya sebagian kecil air hujan meresap / infiltrasi tertahan (retensi); C = 0,95. (iii) Lahan dengan tanah yang ditutupi semak belukar, air hujan yang meresap / infiltrasi ke dalam tanah tertahan (retensi) lebih besar sehingga hujan yang menjadi limpasan runoff berkurang; C = 0,85. (iv) Lahan dengan tanah yang ditumbuhi semak belukar dan pohon yang jarang, maka air hujan yang tertahan dan meresap/infiltrasi ke dalam tanah berlambah, sehingha limpasan berkurang, C = 0,7. (v) Lalan ditanami mono kultur perkebunan sawit / karet / coklat C = 0,5. (vi) Lahan berhutan lebat (pohon yang rapat daunya menutupi lahan) maka air hujan yang meresap/infiltrasi lebih besar lagi, ditambah yang menguap dari tanah dan transpirasi dari daun, sisanya menjadi limasan aliran permukaan yang relative lebih kecil, C = 0,10. (vii) Lahan dengan tutupan tanaman Permaculture seperti dipraktikkan di manca Negara (lihat internet Youtube), mungkin C nya = 0,2. Dalam hal curah hujan cukup lama, maka air hujan yang meresap ke dalam tanah (retensi) sebagian menjadi aliran sub permukaan yang dapat keluar sebagai mata air masuk ke sungai, sisanya perkolasi ke dalam tanah menjadi imbuhan ke cadangan atau cekungan air tanah.

Mudah memahami koefisien limpasan C yang tinggi akan memberikan debit aliran banjir yang tinggi terlebih di bagian hilir sungai. Sebaliknya karena sumber dari segala sumber air hanyalah hujan maka semakin besar koefisien limpasan akan berakibat semakin kecil air yang meresap / infltrasi ke dalam tanah atau air yang tertahan / diretensi (bagian besar air terbuang ke laut) berujung mata air hilang, debit aliran dasar kemarau di sungai mengecil berarti kekeringan dan deficit air. Para Ahli Hidrologi dan Perguruan Tinggi setempat Indonesia seyogianya dapat melakukan penelitian tentang koefisien limpasan / runoff ini pada setiap DAS.   

Selanjutnya, kita perlu mengimaginasi suatu model proses Hujan turun di DAS sampai menjadi Debit Aliran di Sungai. Sebutlah fenomena alamiah suatu sungai yaitu hubungan antara Hujan, Kondisi DAS dan Debit Aliran yang secara sederhanan dapat digambarkan sebagai model hubungan antara masukan, proses dan keluaran. Dalam model ini di samping sifat dan banyaknya hujan sebagai faktor dominan “masukan”; maka letak geografis, luas, bentuk topografi, geologi, dan “tutupan vegetasi” dari suatu DAS serta sifat sungai sebagai “wahana proses”, akan sangat berpengaruh terhadap debit dan corak banjir, debit kemarau (base flow), angkutan sedimen dan morphologi suatu sungai sebagai “keluaran”.

Dengan model sederhana tersebut, mudah dimengerti bahwa suatu sungai dengan sifat-sifat DAS yang berbentuk relatif bulat, kemiringan lahan terjal, ditambah keadaan lahan kritis dengan tutupan vegetasi hutan rusak, areal gundul luas, tanah mudah tererosi, akan memberikan corak banjir yang mendadak (flash flood), debit banjir yang besar dan sedimentasi berat, tetapi sebaliknya kekeringan pada musim kemarau. Fluktuasi dan/atau perbadingan debit maksimum dan minimum menjadi besar sekali.

Sebaliknya suatu sungai dengan sifat-sifat DAS yang berbentuk memanjang dan tidak terlalu miring, sedangkan keadaan lahanya baik, dengan tutupan hutan masih cukup luas, lahan tak terawat sedikit dan tidak mudah tererosi akan memberikan: corak banjir yang perlahan, debit maksimum yang tidak tinggi, dan sedimentasi ringan di musim hujan sedang debit musim kemarau akan lebih baik / handal. Ini berarti perbandingan debit maksimum dan minimum kecil.

Dampak Degradasi atau Kerusakan DAS! Mari kita lihat kembali masifnya deforestasi hutan masa lalu Indonesia yang berujung sisa hutan tahun 2017, seluas 93,9 juta ha, tetapi masih dengan deforestasi netto 0,48 juta ha setiap tahun, berbarengan dengan luas lahan sangat kritis sebesar 48 juta ha; dikaitkan dengan fenomena alamiah hubungan antara Hujan, Kondisi DAS, dan Debit Aliran di Sungai, siapapun akan mudah memahami terjadinya perubahan drastis keseimbangan hidrologi DAS di semua sungai di nusantara yang berakibat fluktuasi debit air musim hujan dan kemarau sudah sangat besar.

Pada musim hujan terjadi bencana banjir, erosi, tanah longsor dan banjir bandang (terbaru banjir bandang Masamba Sulsel); setelah itu diikuti kekeringan, kelangkaan air, hilangnya mata air dan kebakaran hutan & lahan belukar (karhutla) pada musim kemarau. Pada DAS yang sudah berkembang (al. cekungan Bandung S. Citarum; Kawasan Jabodetabek-Puncak S. Siliwung, S. Bekasih dan S. Cisedane; Semarang WS Jeragung, Medan S. Belawan dan S. Deli) kejadian banjir dan kekeringan diperparah dengan degradasi kualitas air oleh banyaknya limbah rumah tangga, industri dan perkotaan berupa limbah cair dan padat/sampah, ditambah banyaknya penyadapan mata air pegunungan untuk air kemasan, serta over ekstraksi / pemompaan air tanah yang menyebabkan kekeringan sumur-sumur rakyat dan penurunan muka tanah yang menambah kerentanan terhadap banjir.

Apa akibat merugikan dari lahan sangat kritis amat luas 48 juta ha ditambah deforestasi netto setiap tahun 0,48 juta ha terhadap sumber daya air (SDAir)? Kerugian akibat dari 0,48 juta ha deforestasi tahunan dikalikan curah hujan 1250 mm/tahun maka air yang terbuang lewat sungai ke laut pecuma setiap tahun adalah 6000 juta m3 (2 kali volume bruto waduk Juanda/Jatiluhur). Lebih-lebih kalau ditambah kerugian akibat lahan sangat kritis 48 juta ha dikali 1250 mm/tahun sama dengan 100 x 6000 juta m3 per tahun (200 x volume bruto waduk Juanda/Jatiluhur) terbuang percuma ke laut. Dampak negatip lahan kritis selain meningkatnya banjir, hilangnya mata air, terbuangnya air ke laut dan mengecilnya debit kemarau, adalah erosi tanah yang mnghilangkan kesuburan tanah yang kemudian terangkut aliran banjir sebagai sedimen yang mendangkalkan / menutup muara-muara sungai, yang berakibat terhambatnya nelayan masuk sungai serta berujung bertambahnya risiko banjir.

Semua keadaan tersebut di atas jelas sudah membuktikan bahwa kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di hampir semua kawasan perkotaan, permukiman , kawasan industri, perkebunan, dan areal pertambangan di setiap DAS di Indonesia sudah melampawi ambang batas baku mutu lingkungan hidup.  

Adakah peluang mengubah keadaan? Memperhatikan kembali model sederhana sungai yang diuraikan di atas terlihat bahwa dari 3 (tiga) elemen fenomena banjir dan kekeringan yaitu (i) sifat hujjan, (ii) sifat DAS, dan (iii) sifat sungai, hanyalah sifat DAS sebagai tempat jatuhnya hujan merupakan elemen yang dapat diubah atau dipengaruhi secara setempat pada DTA mikro, guna mencapai keseimbangan yang lebih serasi antara resapan / infiltrasi dan aliran permukaan air hujan. Program rehabilitasi hutan dan konservasi lahan (pemulihan kerusakan DAS dengan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan - Gerhan) adalah salah satu upaya untuk mengubah dan memperbaiki kondisi hidroorologi lahan DAS / DTA mikro agar infiltrasi bertambah sehingga kemampuan retensi atau menahan air hujan akan meningkat dan akhirnya akan dapat mengurangi banjir dan sekaligus menambah cadangan air tanah dan mata air di musim kemarau.

Upaya memanen dan menyimpan air hujan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti persoalan terletak atau berada pada lahan DAS / mikro DTA itu sendiri yang apabila kita ingin mengubahnya, maka keberhasilannya akan sangat tergantung pada tingkat partisipasi para pemilik lahan DTA mikro bersangkutan. Kunci persoalannya ialah usaha untuk melibatkan sepenuhnya masyarakat pemilik lahan mikro DTA. Keterlibatan itu harus sedemikian sehingga tiap titik air hujan yang jatuh di masing-masinng pemilikan lahan DTA mikro haruslah dipanen / ditahan / diretensi dan  ditampung / disimpan dalam tandon, kolam-kolam air, supaya di satu pihak kejadian banjir di bagian hilir dapat dicegah. Tetapi di pihak lain air yang ditahan/ditandon/disimpan tersebut dapat digunakan sebagai cadangan untuk untuk air baku Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri (RKI) dan kalau lebih dapat diresapkan ke dalam tanah menjadi mata air atau dilepas secara lambat laun untuk aliran pemeliharaan kualitas air di sungai.

Terlihat bahwa prinsip panen dan menyimpan air hujan di atas adalah hampir sama dengan solusi masalah banjir dan kekeringan dengan upaya struktural berupa pembangunan sarana bendungan/waduk banjir atau bendungan /waduk serbaguna (yang selama ini tertinggal namun sekarang sedang dipercepat konstruksinya), hanya saja pada gagasan ini, dimensi waduk atau tandon air akan relatif sangat kecil namun jumlahnya akan banyak sekali (jutaan) dengan pembiayaan pemilik lahan sendiri atau dengan subsidi pemerintah untuk tandon milik dusun atau desa.

 Mengingat penting dan mendasarnya perubahan debit aliran akibat perubahan tata guna lahan terkait pembangunan sejak awal diterbitkannya UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang diikuti PP tata Ruang Nasional dan semua Rencana Detail Tata Ruang Provinsi, Kabupaten dan Kawasan Khusus telah tercantum persyaratan prinsip Zero Delta Q (Pertambahan Debit Nol). Artinya setiap pemilik tanah (perorangan), perkantoran, kompleks pendidikan&pelatihan dan atau pengembang (badan hukum): perumahan, areal industri, pusat perdagangan, bandara, perkebunan, HTI, dan kawasan pertambangan harus betul-betul bertanggung jawab membuat / membangun sarana panen / tampungan / tandon air hujan untuk menjaga agar debit aliran yang keluar dari kawasannya tetap sama  seperti se  belum adanya alih fungsi lahannya    (tidak memperbesar Debit Puncak Banjir).

Pelajaran berharga dari manca negara. Melalui internet Youtube kita dapat menyaksikan bahwa; negara-negara di benua Afrika, Asia, Timur Tengah, India, Cina, Australia, Amerika Selatan, dalam sepuluh tahun terakhir telah berhasil mempraktikan upaya panen air hujan dan peyimpanannya dengan berbagai jenis tandon air dikombinasi dengan usaha pertanian konservasi di tingkat mikro DTA (su-sub DAS) untuk mengatasi  kekeringan / kekurangan air dan tanah tandus gundul akibat deforestasi dan overgrazing ternak masa lalu. Australia adalah pelopor panen hujan untuk Permaculture, dan panen hujan dengan membuat alur lobang mengikuti kontur (swales) untuk pohon buah-buahan dan agroforestry kombinasi dengan penggembalaan ternak Domba. Afrika Selatan, panen hujan untuk pohon buah-buahan, hortikultur, hutan tanaman dan ternak sapi secara holistic. Kenya, melakukan panen hujan dengan sand dams dikaitkan dengan tani hortikultur. Ethiopia dengan community based forest management.

Di Timur Tengah lihat TEDx Talks, “Israel’s solution for a water-starved world oleh Seth M. Siegel; Di India lihat “This green oasis is a drought-proof village in Rajasthan”. Di Cina tentang Penghijauan Gurun lihat “China’s New Solution JUNCAO Technology for Desertification Control”. Di Amerika Serikat, lihat “Rainwater Harvesting in Southern Arizona”. Di Equador Selatan,Rainwater Catchment for reforestation & increase Production. Disarankan penggiat Industri Indonesia dapat memanfaatkan teknologi tepat guna terkait air, untuk memproduksi berbagai bahan dan peralatan antara lain tangki-tangki air panen hujan serta alat penjernihan air hujan, teknologi 4 R pencegahan pencemaran dll.  

Simpulan Solusi: Banjir, Kekeringan dan Pencemaran.

1. Pengelolaan Risiko Banjir melalui upaya struktural dan non struktural pencegahan banjir:

(a) Upaya struktural: (i) Melaksanakan pembangunan, operasi, dan pemeliharaan prasarana fisik pengendali banjir (seperti: tanggul, pelimpah, floodway – flood diversion (sudetan) peningkatan kapasitas palung sungai, kolam, pompa, dan bendungan / waduk pengendali banjir). (ii) Melakukan pengelolaan dan perbaikan drainase perkotaan dengan meminimalkan lapis kedap air, mengurangi run off, menambah bidang resapan, dan membuat kolam pengatur banjir. (iii) Mengelola banjir pasang air laut untuk kota-kota pantai sebagai akibat pasang dan gelombang air laut, pendangkalan muara sungai, dan land subsidence dengan membuat kolam penampung dilengkapi.

(b) Mengurangi besaran banjir: dengan upaya non struktural / non fisik: (i) Rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) = (Replant), dan (ii) penerapan prinsip Zero Delta Q dengan panen hujan dan penyimpanan air dalam tandon/embung = (Rain water harvest and Storage). Mengurangi besaran banjir dengan praktik 2 R (Replant , Rain harverst and Storage).

(c) Pengurangan Risiko Kerentanan Banjir dan Pengaturan Dataran Banjir: (i) Melakukan penetapan batas dataran banjir dan zona peruntukan lahan di dataran banjir. (ii) Menetapkan zona peruntukan lahan sesuai zona peruntukan yang sudah ditetapkan. (iii) Melakukan persiapan menghadapi banjir secara komprehensif.

(d) Menyelenggarakan kegiatan peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat dalam praktik 2 R, serta ketangguhan masyarakat dalam memaknai informasi dari BMKG dan mengindahkan sistem peringatan dini bahaya banjir berdasarkan sistem prakiraan cuaca., melalui kegiatan edukasi ulang bagi semua pemangku kepentingan (Re-eduaction – 1 R).

(e) Penegakan hukum terhadap pelanggar tata ruang, illegal logging, tambang emas di palung sungai, galian C tanpa izin.

2. Pengelolaan Risiko Kekeringan.

Strategi pengelolaan risiko kekeringan dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian utama yaitu Pengurangan Kebutuhan Air (Demand Reduction), Penambahan Pasokan (Supply Increasing) dan Meminimalkan Dampak (Impacts Minimization).

(a) Program pengurangan kebutuhan (demand) dengan melakukan: hemat air (Reduce), guna ulang (Reuse) dan daur ulang (Recycle), perlu praktik 3 R untuk penggunaan  Rumah tangga, Perkotaan, Industri, dan  Pertanian beririgasi.

(b) Program penambahan pasokan air dengan upaya non struktural / non fisik: (i) Percepatan program Gerhan (Replant–1 R), dan (ii) Panen hujan dan penyimpanan dalam tandon (Rainwater harvest and Storage -1 R). Tambah pasok air perlu praktik = 2 R.

(c) Menyelenggarakan kegiatan peningkatan pengetahuan dan kapasitas masyarakat dalam praktik 3R untuk hemat air dan praktik 2 R untuk tambah pasok air, serta ketangguhan masyarakat, memaknai informasi BMKG akan bahaya kekeringan yang mengancam, melalui edukasi ulang bagi pemangku kepentingan (Re-education–1 R).

(d) Penegakan hukum bagi pencuri dan pemonopoli suplai air irigasi.

3. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran.

(a) Menyusun program dan melaksanakan pencegahan pencemaran dengan upaya non struktural, meliputi al.: (i) Melakukan pencegahan pencemaran melalui KLHS dan Rencana Zonasi Tata Ruang. (ii) Menetapkan baku mutu air pada sumber air. (iii) Menetapkan daya tampung beban pencemaran dan alokasi beban cemaran. (iv) Menetapkan persyaratan lingkungan untuk perijinan kegiatan tertentu berbasis daya tampung beban pencemaran dan alokasi beban cemaran. (v) Menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan instrumen ekonomi, PPP (Polluter Pays Principle) dan EPR (Extended Producer Responsibility). (vi) Melaksanakan pengendalian, pembinaan, dan pengawasan yang handal. (vii) Menetapkan persyaratan baku mutu air limbah dan tata cara pembuangan air limbah. (viii) Menerapkan kebijakan insentif untuk mendorong upaya dan menyusun pedoman cara menurunkan beban pencemaran dengan upaya non struktural dengan praktik: mengurangi, guna ulang, daur ulang dan perolehan kembali manfaat dikenal dengan 4 R (Reduce, Reuse, Recycle, Recovery) baik limbah cair maupun limbah padat sampah.

(b) Menyusun program pencegahan pencemaran dengan upaya struktural: (i) Membangun IPAL terpusat (off-site) dan IPAL Komunal (on-site) sebagai upaya struktural penanganan limbah cair. (ii) Sedangkan untuk limbah padat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah terpusat atau Pembakaran sampah setempat.

(c) Kegiatan Penanganan Pencemaran: (i) Menerapkan praktek terbaik (best management practices) dalam pengelolaan air limbah dari sumber nir titik (non point source). (ii) Melakukan pengawasan terhadap pembuangan air limbah ke sungai. (iii) Melarang pembuangan limbah padat ke sungai. (iv) Melakukan pemantauan berkala terhadap kualitas air pada sungai. (v) Menjaga dan memperbaiki sempadan sungai. (vi) Menjaga dan membangun areal lahan basah untuk menampung air. (vii) Melakukan kegiatan untuk mengurangi eutrofikasi pada sungai. (viii) Melakukan peringatan dini pencegahan dampak pencemaran (ix) Melaksanakan isolasi untuk mencegah meluasnya dampak pencemaran.

(d) Penegakan Hukum dan Peraturan: (i) Peningkatan kualitas dan kuantitas PPNS dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dengan penugasan sesuai pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (ii) Melakukan inspeksi rutin dan inspeksi mendadak.

(e) Menyelenggarakan kegiatan peningkatan pengetahuan dan kapasitas tentang bahaya pencemaran terhadap kesehatan dan kualitas air sungai, sekaligus cara-cara menangani beban pencemaran melalui praktik: mengurangi, guna ulang dan daur ulang dan pemulihan dikenal dengan 4 R (Reduce, Reuse, Recycle dan Recovery) melalui kegiatan edukasi ulang (Re-education = R 1)

Rangkuman: Penyelamatan Air dengan Upaya Non Struktural pelaksanaan 6 (enam) Komponen Revitalisasi GN-KPA yakni:

  1. Penataan ruang, pembangunan fisik, pertanahan dan kependudukan ( syarat zero delta Q);
  2. Rehabilitasi hutan dan lahan dan konservasi sumber daya air (praktik prnsip 2 R);
  3. Pengendalian daya rusak air (praktik prinsip 2 R);
  4. Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran (praktik prinsip 4 R);
  5. Penghematan penggunaan air dan pengelolaan permintaan air (praktik prnsip 3R)
  6. Pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien dan berkelanjutan.

Tentu saja upaya non struktural, keenam komponen GN-KPA tersebut di atas, akan bisa direalisir apabila semua warga masyarakat, anak-anak usia sekolah, rumah tangga, dunia usaha, media, komunitas terkait air, masyarakat sipil dan akademisi memiliki pengetahuan terkait (i) prinsip 2 R untuk meningkatkan kehandalan suplai air, dan (ii) prinsip 3 R untuk mereduksi permintaan / penggunaan air (demand); serta (iii) prinsip 4 R untuk mereduksi pencemaran air. Untuk itu penting dilaksanakan peningkatan pengetahuan dan kapasitas semua pemangku kepentingan melalui terus menerus ikut edukasi ulang dan pelatihan (re-education) yang dapat disimbolkan dengan 1 R. Apabila digabungkan seluruh hal terkait pengurusan air, menjadi 1 R + 2 R + 3 R + 4 R = 10 R.

Untuk keserentakan dalam kerja sama dan kerja bersama dari para pemangku kepentingan guna meningkatkan kinerja pengurusan air dan / atau pengelolaan sumber daya air melalui pelaksanaan 6 (enam) Komponen Revitalisasi GN-KPA disarankan Kabinet Indonesia Maju, segera menginstruksikan pelaksanaan / Praktik Prinsip 10 R {(Re-education); (Replant, dan Rainwater harvest and storage untuk suplai air); (Reduce, Reuse, dan Recycle dalam penggunaan air); dan (Reduce, Reuse, Recycle, Recovery terkait pencemaran air)} oleh semua pemangku kepentingan. SEKIAN.

Ikuti tulisan menarik Napitupulu Na07 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler