Segera Amandemen PP Soal Perlindungan Konsumen dari Zat Adiktif (Surat Terbuk untuk Pak Jokowi)
Rabu, 2 September 2020 17:12 WIBPerlindungan konsumen di Indonesia terhadap dampak negatif produk tembakau, terlihat lemah. Oleh karena itu upaya penguatan regulasi untuk melindungi konsumen sangat mendesak, dalam hal ini adalah amandemen Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012 tentang Pengamanan Produk Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau pada Kesehatan.
Semoga Bapak Presiden selalu dalam keadaan sehat wal afiat, tak kurang suatu apapun, atas berkah dan rahmat Allah Swt, Tuhan YME, aamiin. Selanjutnya, izinkan kami menyampaikan poin poin kesimpulan/saran atas diskusi daring yang kami (YLKI) selenggarakan bertajuk "Menakar Efektivitas PP 109 Tahun 2012 untuk Melindungi Konsumen", pada Selasa, 25 Agustus 2020, yaitu bahwa: perlindungan konsumen di Indonesia terhadap dampak negatif produk tembakau, terlihat lemah. Oleh karena itu upaya penguatan regulasi untuk melindungi konsumen sangat mendesak, dalam hal ini adalah amandemen Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012 tentang Pengamanan Produk Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau pada Kesehatan.
Demikian benang merah pada fokus grup diskusi daring tersebut. Narasumber pada diskusi ini adalah: Veri Angriyono, Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga-Kemendag RI, Sakri Sabatama, mewakili Direktur Promkes-Kementerian Kesehatan, Lenny Rosalin-Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Agus Suprapto-Deputi Bidkor Pembangunan Kesehatan dan Kependudukan Kemenko PMK, Rolas Sitinjak-Wakil Ketua BPKN, Hasbullah Tabrany-Ketua Komnas Pengendalian Tembakau, dan Said Sutomo, Ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Jatim. Diskusi daring diikuti dari berbagai kalangan, dihadiri sekitar 50 orang peserta aktif.
Secara umum, para nara sumber sepakat bahwa perlindungan konsumen untuk produk adiktif seperti rokok/tembakau, belum terakomodir pada UU/regulasi generik di bidang perlindungan konsumen, misalnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Namun demikian, bukan berarti UUPK tidak bisa dijadikan instrumen untuk mengatur produk adiktif seperti rokok/tembakau. Sebab di beberapa pasal UUPK mengatur tentang hak-hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Juga hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jernih, dan jujur. Ini poin yang relevan terkait peringatan kesehatan (pictorial Health warning) pada bungkus rokok, berikut konten (zat yang terkandung) pada rokok;
Senada dengan hal itu PP 109/2012 sudah tidak efektif lagi untuk melindungi konsumen, baik konsumen perokok aktif, konsumen perokok pasif (passive smoker), dan atau calon perokok. Hal ini dikarenakan secara substansi pasal pasal di dalam PP 109/2012 sudah tidak mampu lagi menampung dinamika eksternal terkait masalah rokok dan tembakau. Berikut ini beberapa poin yang sangat mendesak diatur di dalam PP 109/2012.
Pertama, masalah rokok elektronik dan tembakau yang dipanaskan. Ini menjadi fenomena di kalangan remaja dan anak muda. Industri rokok multi nasional getol mengampanyekan rokok elektronik sebagai rokok yang aman, lebih aman daripada rokok konvensional. Padahal faktanya bisa sebaliknya, lebih berbahaya dari rokok konvensional.
Prevalensi rokok elektronik terus meningkat, saat ini mencapai 10,1 persen. Padahal lima tahun lalu prevalensinya hanya satu persenan saja. Masalah rokok elektronik belum diatur di regulasi manapun. Bisa saja tidak diatur di PP 109/2012, tetapi di peraturan lainnya. Yang pasti di banyak negara rokok elektronik telah dilarang total.
Kedua, Iklan rokok di ranah media digital. Saat ini marak sekali iklan rokok di media digital. Memang iklan tersebut secara konten tidak menampilkan rokok/bungkus rokok atau orang merokok, tetapi dari sisi waktu tayang tidak ada pembatasan. Sehingga anak dan remaja akan sangat mudah untuk terpapar iklan rokok digital tersebut. Masalah iklan rokok di media digital sangat mendesak diatur dalam PP 109/2012.
Ketiga, Peringatan kesehatan bergambar. Saat ini PP 109/2012 hanya mengatur 40 persen pada bungkus, di bagian belakang dan di bagian depan. Tetapi di lapangan PHW banyak tertutup oleh pita cukai, srhingga pesan bahaya rokok kepada konsumen tidak tercapai. Selain itu, besaran PHW di Indonesia terlalu kecil dibanding standar internasional, yang rata rata sudah mencapai 80-90 persen (plain packaging) dari bungkus rokok.
Keempat, Mandulnya implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR). PP 109/2012 memandatkan bahwa pemerintah daerah wajib membuat regulasi tentang KTR, tetapi faktanya sampai saat ini baru 52 persen pemda yang mempunyai regulasi tentang KTR. Belum lagi soal kepatuhan yang rendah, yang disebabkan konstruksi hukum yang lemah, karena baru level peraturan bupati atau peraturan wali kota. Hak ini perlu penguatan pengaturan di PP 109/2012 tersebut.
Dan kelima, Iklan rokok di media luar ruang. Selain iklan rokok di media digital, juga sangat marak iklan rokok di media luar ruang. Dan ironisnya mayoritas dipasang di dekat sekolah SD/SMP. Saat ini baru 32 persenan daerah yang melarang iklan rokok di media luar ruang, termasuk DKI Jakarta. Perlu penguatan pengaturan di dalam PP 109/2012
Merujuk pada lima hal tersebut, hal ini akhirnya berdampak pada meningkatnya prevalensi merokok pada anak anak secara signifikan, yaitu 7,8 persen jauh lebih tinggi dari target RPJMN 2025, yaitu 5,2 persen saja. Oleh karena itu, YLKI dan seluruh nara sumber plus peserta diskusi daring merekomendasikan agar: Pertama, Pemerintah agar konsisten untuk mengamandemen PP 109/2012, guna melindungi konsumen secara keseluruhan, terutama menekan agar prevalensi merokok pada anak anak tidak terus meroket. Kedua, Meminta agar pemerintah melakukan amandemen PP 109/2012 untuk mengatur hal hal krusial seperti keberadaan rokok elektronik, iklan di media digital, dan pembesaran peringatan kesehatan bergambar. Ketiga, Meminta pemerintah agar konsisten mengamandemen PP 109/2012 sesuai amanat Perpres No. 18 Tahun 2020. Dan keempat, Memasukkan aspek perlindungan konsumen pada komoditas zat adiktif pada rumpun Strategi Nasional (Stranas) Perlindungan Konsumen 2020-2025.
Lebih dari itu, amandemen PP 109/2012 sangat sejalan dengan upaya Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana amanat Nawa Cita, poin ke-5. Amandemen PP 109/2012 juga amat positif untuk memayungi citra pemerintah Indonesia di mata internasional, karena sampai detik ini pemerintah Indonesia tidak menjadi parties di dalam FCTC. Padahal Indonesia adalah salah satu negara inisiator lahirnya FCTC. Demikian intisari diskusi daring yang diselenggarakan YLKI, yang bisa kami sampaikan pada Bapak Presiden. Kami sangat berharap Bapak Presiden mengusung kepedulian untuk kepentingan warga yang lebih luas. Salam sehat selalu untuk Bapak. ***
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Segera Amandemen PP Soal Perlindungan Konsumen dari Zat Adiktif (Surat Terbuk untuk Pak Jokowi)
Rabu, 2 September 2020 17:12 WIBSederet Resiko Jika Program Langit Biru Tak Dilanjutkan
Rabu, 5 Agustus 2020 09:19 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler