x

Kota Jakarta. Foto: Tulus Wijanarko

Iklan

Tulus Abadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 5 Agustus 2020 09:19 WIB

Sederet Resiko Jika Program Langit Biru Tak Dilanjutkan

Kesimpulannya, guna mewujudkan program langit biru dan juga mereduksi gas karbon sebagaimana janji Presiden Jokowi pada Protokol Paris (2015), maka mau tidak mau target untuk mewujudkan jenis BBM yang berstandar Euro, minimal Euro 2, menjadi solusi yang paling ideal. Sebaliknya jika hal tersebut tak bisa diwujudkan, maka polusi udara di Indonesia, terkhusus di kota kota besar akan makin pekat. Kesehatan warga pun terancam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kota Jakarta. Foto: Tulus Wijanarko

Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fenomena perubahan iklim global (Global Climate Change), kini menjadi perhatian seluruh warga dunia. Bukan hanya oleh pemerintah suatu negara saja, tetapi juga seluruh kekuatan masyarakat sipil. Semua stakeholder bahu-membahu memerangi fenomena perubahan iklim global tersebut. Sebab tanpa diperangi bersama, alam dan seisinya akan kian rusak bahkan hancur oleh perilaku manusia yang melahirkan dampak perubahan iklim global itu. Dan kerusakan/kehancuran alam oleh dampak perubahan iklim global ini akan mewujudkan berbagai krisis, seperti krisis lingkungan, krisis pangan, krisis energi, krisis air bersih, dan endingnya adalah krisis kemanusiaan (dehumanisasi).

Menyikapi hal ini pemerintah sejatinya tidak tinggal diam. Buktinya pada November 2015 Presiden Jokowi nglurug langsung pergi ke Paris, untuk menghadiri dan sekaligus menandatangani Paris Protocol, terkait kesanggupannya mereduksi emisi gas karbon. Bahkan Pak Jokowi begitu pede, dalam komitmen yang ditandatangani itu Pemerintah Indonesia sanggup mengurangi produksi emisi gas karbon antara 29-40 persen pada 2050. Janji Presiden Jokowi oleh banyak pihak dianggap over confidence, alias sulit dicapai apa yang dijanjikan itu.

Bahkan sebelum hiruk-pikuk soal global climate change, 24 tahun silam, sejatinya pemerintah Indonesia sudah lebih dahulu menggagas kebijakan yang spiritnya sama, yaitu via instrumen kebijakan Program Langit Biru. Program ini digawangi Kementerian Lingkungan Hidup, via Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (LH) No. 15 Tahun 1996.

Spirit Program Langit Biru adalah upaya untuk mengantisipasi  krisis lingkungan, khususnya polusi udara, yang dicetuskan oleh multi sebab, baik karena benda/barang tidak bergerak, dan atau benda/barang bergerak. Benda tidak bergerak seperti aktivitas bisnis, perkantoran, industri, pembangkit listrik (khususnya PLTU), dan juga aktivitas domestik rumah tangga, termasuk membakar sampah. Adapun sumber pencetus benda/barang bergerak adalah sektor transportasi darat.

Saat ini sektor transportasi darat bahkan berkontribusi sangat dominan/signifikan, yaitu lebih dari 75 persen sebagai sumber polusi udara, khususnya di kota-kota besar. Begitu dominannya sektor trsnsportasi darat berkontribusi terhadap polusi udara, dan menjadi penentu terwujudnya Program Langit Biru, maka Menteri Lingkungan Hidup mengelaborasi dalam sebuah kebijakan berupa Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 141 Tahun 2003 yang intinya mengatur ambang batas emisi kendaraan bermotor, yang harus menggunakan BBM jenis Euro 2.

Dari gambaran di atas, ada beberapa catatan utama, yaitu; pertama, bahwa concern pemerintah terhadap masalah pencemaran udara dan upaya penanggulangannya sudah berlangsung sejak lama. Setidaknya sudah 24 tahun lalu, sejak ditelurkannya program langit biru. Kedua, bahwa pencetus pencemaran udara sangat beragam, dari berbagai sumber. Namun jika merujuk pada data empirik yang ada, maka faktor bahan bakar minyak menjadi kontributor utama, lebih dari 75 persen. Dan sejatinya dalam hal ini pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup sudah cukup tanggap, yakni dengan dikeluarkannya Kepmen LH No. 141 tahun 2003, bahwa untuk mengurangi emisi gas buang dari kendaraan bermotor, maka jenis BBM yang digunakan harus berstandar Euro 2. Dari sisi spesifikasi BBM standar Euro 2, BBM harus beroktan 92 seperti pertamaks, dan CN 51 seperti Pertamina Dex.

Dan ketiga, ini yang ironis, kebijakan yang bagus dan visioner itu sepertinya mati suri, tak jelas jubtrungannya, hingga kini. Untuk mempertegas poin ketiga indikatornya jelas, yaitu; upaya pemerintah untuk mewujudkan program langit biru berjalan di tempat, bahkan stop sama sekali. Antar kementerian dan lembaga tidak jelas, tidak ada koordinasi dan sinergi serius. Terutama menyangkut jenis dan kualitas BBM, terkhusus soal BBM jenis Euro 2 tersebut.

Lihatlah, kewajiban bahwa kendaraan bermotor pribadi sejatinya sejak 2003 harus menggunakan BBM berstandar Euro 2, seperti pertamaks, dan sejenisnya. Tetapi di pasaran membuktikan lain, bahwa serapan konsumsi BBM berstandar Euro 2 masih sangat sedikit. Jenis BBM yang dibuat, dipasarkan dan dikonsumsi konsumen masih jenis premium dengan oktan number (RON) 88, atau pertalite dengan RON 90. Padahal kedua jenis BBM ini jelas bukan tipe Euro 2, bahkan Euro 1 saja belum lulus.

Belum tuntas urusan BBM standar Euro 2, Kementerian KLHK pun sudah memandatkan bahwa jenis BBM yang digunakan mulai 2017 harus berstandar Euro 4, yakni via Kepmen KLHK No. 20 Tahun 2017. Dari sisi kebutuhan yang ada, baik pada skala nasional, regional dan bahkan internasional, BBM dengan standar Euro 4, dengan RON 95, juga merupakan keniscayaan. Sebab di wilayah ASEAN seperti Malaysia, dan Vietnam, sudah menggunakan BBM Euro 4 tersebut, dengan RON 95. Dalam hal ini, menjadikan penggunaan BBM di Indonesia akan makin tertinggal, karena masih dominan menggunakan BBM jenis premium, pertalite, dan solar. Padahal, untuk disebut sebagai BBM ramah lingkungan dan berstandar Euro 2, cukup dengan BBM dengan RON 91 saja, dan atau CN 51 untuk jenis diesel.

Oleh karena itu, guna mewujudkan program langit biru, maka memperbaiki kualitas jenis BBM dengan menggunakan jenis BBM yang berstandar Euro menjadi sangat mendesak, menjadi keharusan. Keberadaan BBM jenis seperti premium seharusnya sudah dikandangkan sejak 2003, sejak pemerintah mengeluarkan Kepmen LH No. 141/2003 tersebut. Saat ini hanya di beberapa negara saja yang masih menggunakan BBM jenis premium, selain Indonesia, ada juga Bangladesh, Kolombia, Madagaskar, dan Kroasia. Kembali kepada komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi produksi emisi gas karbon hingga 29-40 persen pada 2050, menjadi sulit terwujud. Bahkan bisa menjadi mimpi di siang bolong. Apalagi di sektor ketenagalistrikan masih dominan menggunakan jenis pembangkit batu bara, PLTU.

Kesimpulannya, guna mewujudkan program langit biru dan juga mereduksi gas karbon sebagaimana janji Presiden Jokowi pada Protokol Paris (2015), maka mau tidak mau target untuk mewujudkan jenis BBM yang berstandar Euro, minimal Euro 2, menjadi solusi yang paling ideal. Sebaliknya jika hal tersebut tak bisa diwujudkan, maka polusi udara di Indonesia, terkhusus di kota kota besar akan makin pekat.

Bahkan, Kota Jakarta menurut Air Quality Indeks, sudah menjadi kota yang tidak sehat (unhealthy), karena indeks kualitas udaranya mencapai skor 175 untuk PM 2.5.  Hal serupa akan mengena kepada kota aglomerasi seperti Bodetabek, dikarenakan karakter Jakarta dengan Bodetabek adalah sama, baik dari sisi sosial, ekonomi dan pergerakan lalu lintasnya.

Dalam konteks melindungi warganya, mandat untuk untuk mewujudkan program langit biru dengan cara mengurangi emisi gas karbon, adalah bukan hanya mandat pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah punya tanggung jawab yang sama, yang secara regulasi bisa melakukan dan mewujudkankanya. Tingginya pencemaran dan polusi udara, bukan hanya berdampak pada biru atau hitamnya langit saja, tetapi berdampak pada kesehatan masyarakat. Menurut data dan analisa dari ahli kesehatan masyarakat, 60 persen prevalensi penyakit tidak menular justru dipicu oleh pencemaran udara. Dengan demikian pencemaran udara berkontribusi signifikan terhadap kesehatan masyarakat, dengan memicu tingginya prevalensi penyakit tidak menular.

Sekali lagi, mewujudkan konsumsi BBM yang ramah lingkungan dengan standard Euro 2 dan Euro 4, adalah pilihan yang tak terelakkan. Sebaliknya, jangan mimpi program langit biru dan atau mengurangi produksi emisi gas karbon sebagaimana janji Presiden Jokowi pada Protokol Paris, bisa dipenuhi jika BBM yang digunakan masih substandar, seperti premium. Alih alih malah kota kota di Indonesia akan semakin tercemar, semakin pekat oleh polusi udara dan prevalensi penyakit tidak menular; seperti stroke, darah tinggi, diabetes melitus, ISPA; akan semakin tinggi. Kita berharap Kota Tangerang Selatan bisa secara konsisten mewujudkankan program langit biru, demi melindungi warganya. ***

 

 

Ikuti tulisan menarik Tulus Abadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler