x

Petugas kesehatan menyuntikan vaksin kepada relawan saat simulasi uji klinis vaksin COVID-19 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Kamis 6 Agsutus 2020. Simulasi tersebut dilakukan untuk melihat kesiapan tenaga medis dalam penanganan dan pengujian klinis tahap III vaksin COVID-19 produksi Sinovac kepada 1.620 relawan. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Iklan

CISDI ID

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 September 2020

Selasa, 10 November 2020 05:57 WIB

Apakah Kita Perlu Khawatir dengan Vaksin? Ahli-ahli Ini Menjawabnya

Pemerintah Indonesia sempat berniat melaksanakan vaksinasi Covid-19 pada November 2020, namun akhirnya dimundurkkan. Pemerintah juga telah melaksanakan diplomasi ke berbagai negara untuk mengamankan lebih dari 200 juta dosis vaksin Covid-19. Lantas, perlukah kita mengkhawatirkan keberadaan vaksin?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada sepuluh kandidat vaksin COVID-19 yang sedang berada pada tahap uji klinis fase ketiga. (Sumber gambar: Reuters)

Pemerintah Indonesia sempat berniat melaksanakanvaksinasi Covid-19 pada November 2020, namun akhirnya memundurkan rencana tersebut. Pemerintah juga telah melaksanakan diplomasi ke berbagai negara untuk mengamankan lebih dari 200 juta dosis vaksin Covid-19. Padahal, belum ada satu kandidat vaksin pun yang dinyatakan lulus uji klinis fase ketiga.

Tak bisa ditampik, keberadaan vaksin kerap dianggap sebagai “jalur instan” mengatasi pandemi. Namun, apakah menggesa produksi vaksin adalah langkah yang tepat?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Usaha Global

“Pandemi tidak akan selesai sampai setiap negara berhasil menangani pandemi, bila hanya lima sampai sepuluh negara yang berhasil, atau hanya lima, sepuluh negara yang sanggup beli vaksin lebih dulu, itu berarti dunia ini masih tetap berada di dalam pandemi,” ujar Diah Saminarsih ketika membuka diskusi mingguan Obrolan Kawal Edisi 11 pada Sabtu, 31/10, yang disiarkan melalui kanal YouTube CISDI TV.

Penasihat Senior untuk Urusan Gender dan Pemuda untuk Dirjen WHO ini menyatakan pentingnya kerja sama internasional melawan pandemi dan menyediakan vaksin untuk seluruh dunia melalui COVAX, sebuah program WHO untuk menjamin kesetaraan akses terhadap vaksin Covid-19. Program ini dikoordinasikan oleh Gavi, The Vaccine Alliance, Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), dan WHO. Selain memantau perkembangan vaksin, COVAX juga akan memastikan negara tergabung mendapat dosis vaksin minimal 20 persen dari total penduduk.

Emergency Use of Authorization (EUA)

Emergency Use of Authorization adalah hak suatu negara untuk menyatakan keadaan darurat ketika vaksin atau obat yang belum lulus uji klinis fase ketiga bisa digunakan untuk kalangan tertentu, seperti tenaga kesehatan atau militer. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berwenang mengeluarkan izin ini. Menurut Prof. Akmal Taher, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, BPOM tidak akan bisa semudah itu mengeluarkan izin tersebut lantaran minimnya data terkait efikasi dan keamanan vaksin.

BPOM sendiri tengah mengunjungi perusahaan manufaktur vaksin di Cina untuk memastikan proses produksi vaksin sesuai prinsip good manufacture practice (GMP). Keputusan menerbitkan EUA adalah kedaulatan setiap negara, walaupun begitu WHO menyarankan negara-negara tetap menunggu hasil uji klinis fase ketiga keluar. Selain itu, EUA juga hanya berlaku di dalam batas wilayah negara. Apabila suatu produk mendapatkan EUA di negara lain, belum tentu produk tersebut mendapatkan EUA juga di Indonesia.

Keamanan Vaksin

Dalam skenario terbaik, vaksin yang dikembangkan akan bekerja tanpa efek samping yang kritis. Di titik ini peran uji klinis fase tiga akan membuktikan efikasi dan keamanan vaksin. Setelah uji klinis dinyatakan berhasil, WHO perlu memantau selama 3 bulan ke depan untuk menjamin efikasi dan keamanan vaksin. Akmal berpendapat vaksin berbeda dengan obat. “Ini (vaksin) akan dikasih ke orang-orang sehat, jadi kita musti yakin bahwa tidak ada efek samping yang membahayakan.”

Chief Executive Lipotek, Ines Atmosukarto, PhD, menjelaskan efikasi vaksin akan memengaruhi presentase orang yang memerlukan vaksin untuk mencapai situasi kekebalan komunitas (herd immunity). Sedikitnya 60 sampai 70 persen penduduk memerlukan vaksinasi. Namun bila efikasi vaksin rendah, semakin banyak orang yang memerlukan vaksinasi. Perhitungan untuk mencapai kekebalan komunitas cenderung sulit karena hingga sekarang pemerintah berencana menggunakan 3-4 jenis vaksin yang memiliki tingkat efikasi berbeda. 

Tantangan Vaksinasi

Perjalanan menuju akhir pandemi masih panjang. Pasalnya, vaksinasi 267 juta penduduk Indonesia penuh dengan tantangan. Pertama, pemerintah perlu memastikan vaksin sampai pada target populasi yang tepat. Beberapa jenis vaksin telah diujicobakan kepada kelompok masyarakat tertentu, seperti lansia dan orang dengan komorbid. Namun beberapa jenis perlu diujicobakan pada masyarakat umum. Vaksin yang akan digunakan juga memiliki cara pakai dan cara simpan yang berbeda-beda. Misalnya ada vaksin yang hanya membutuhkan satu dosis, sementara vaksin lain membutuhkan lebih.

Kedua, adanya stigma mengenai vaksin. Dr. Heri Munajib dari Perhimpunan Dokter Nadhatul Ulama (PDNU) menyatakan masih ada kelompok masyarakat yang menolak menerima vaksin.  Menurut Heri ada beberapa pola hoaks terkait vaksin. “Ada empat pola yang digunakan anti-vaksin, yaitu vaksin buatan Israel atau Yahudi, vaksin ada kandungan babinya, manusia adalah makhluk yang sempurna, dan vaksin memiliki efek samping yang buruk.” Menurutnya, selagi menunggu vaksin tersedia, pemerintah harus mengedukasi masyarakat, supaya bersedia melaksanakan vaksinasi kelak.

Tentang Obrolan Kawal

Obrolan Kawal adalah diskusi interaktif terkait penanganan COVID-19 mingguan yang dilaksanakan setiap Sabtu malam dan disiarkan secara daring yang diinisasi oleh KawalCovid19, CISDI, dan Kekini Ruang Bersama. Peserta diskusi dapat mengikuti acara ini melalui kanal YouTube CISDI TV ataupun aplikasi Zoom dengan mendaftarkan diri terlebih dulu.

 

Tentang CISDI

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) adalah think tank yang mendorong penerapan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaya, setara, dan sejahtera dengan paradigma sehat. CISDI melaksanakan advokasi, riset, dan manajemen program untuk mewujudkan tata kelola, pembiayaan, sumber daya manusia, dan layanan kesehatan yang transparan, adekuat, dan merata.

 

Penulis

Ardiani Hanifa Audwina

 

Ikuti tulisan menarik CISDI ID lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler