x

Gambar oleh heblo dari Pixabay

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 9 November 2020 13:49 WIB

Belajar dari Contoh, Mungkinkah Trump Jadi Menhan Joe Biden?

Setelah Biden dinyatakan menang, bagaimana masa depan Trump? Tak seorang pun yang tahu pasti. Ada banyak kemungkinan, termasuk yang tampak mustahil, misalnya Trump menjadi menteri pertahanan di kabinet Biden. Contohnya sudah ada, walaupun tidak mirip-mirip banget.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam jagat politik, pemeo lama ‘tak ada yang mustahil dalam politik’ maupun ‘tak ada lawan-kawan yang abadi, yang ada kepentingan yang abadi’ seringkali melahirkan kejutan. Bukan hanya masyarakat luas yang terkejut, bahkan sesama politikus pun ada yang terkaget-kaget. Kadar kekagetannya saja barangkali yang berbeda-beda: Wooww, ternyata pemeo lama itu masih berlaku ya... masih absah sebagai kaidah berpolitik!

Nah, kaidah itu bisa berlaku di manapun politikus berada. Mereka yang tadinya musuhan mendadak berubah jadi berpelukan. Bahkan, ada yang tadinya teman akrab lalu berbalik 370 derajat jadi menjelek-jelekkan, membuka aib, menyingkapkan kelemahan, dan malah sampai menjadikannya lawan bebuyutan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Padahal itu sikap dan tindakan seperti itu bisa terbilang kurang baik, apa lagi jika dimaksudkan untuk mengangkat martabat diri sendiri atau buat meyakinkan orang lain yang semula lawan agar bersedia menerimanya sebagai kawan sejati. Misalnya begini, keluar dari partai lama lalu agar diterima di partai baru lantas mengecam habis partai lamanya. Tapi, perilaku seperti ini masih masuk ke dalam kedua kaidah tadi.

Nah, bagaimana dengan di AS, mungkinkah kaidah yang sama berlaku, khususnya dalam konteks hasil pemilihan presiden yang masih sangat amat hangat ini. Hasilnya sudah diumumkan: pasangan Joe Biden-Kamala Harris memenangkan perhelatan politik penting ini dengan angka perolehan suara elektoral yang lumayan jauh dari syarat minimumnya, 270.

Donald Trump tentu saja mencak-mencak, sebagaimana gayanya selama ini. Ia menuduh terjadi ketidakjujuran dalam pemungutan suara. Tuduhan Trump memang terkesan aneh, sebab biasanya kandidat petahana lebih punya peluang untuk bermain tidak fair, sebab petahana lebih punya akses ke sumber daya manapun dibandingkan kompetitornya. Tapi, begitulah tuduhan Trump hingga ia meminta penghitungan suara di wilayah tertentu dihentikan dulu.

Namun, barangkali ada faktor lain yang membuat Trump mencak-mencak, tak lain karena ia hanya bisa menjabat presiden selama satu periode saja. Kebanyakan presiden terpilih untuk dua periode, bahkan di beberapa negara sampai beberapa periode—termasuk negara kita di zaman Orla dan Orba saking enaknya duduk di kursi kepresidenan. Orang terakhir sebelum Trump yang menjabat presiden AS hanya satu periode adalah Jimmy Carter, politikus Demokrat yang menjabat pada 1977-1981. Sebagai kandidat petahana, Carter dikalahkan oleh Ronald Reagan dari Republik.

Nah, setelah Biden dinyatakan menang, bagaimana masa depan Trump? Tak seorang pun yang tahu pasti. Ada banyak kemungkinan, termasuk yang tampak mustahil, misalnya Trump menjadi menteri pertahanan di kabinet Biden. Ingat pemeo dan kaidah tadi. Misalnya, demi menjaga persatuan  bangsa, Biden merangkul Trump dan menjadikannya menteri pertahanan dan memberinya kebebasan yang cukup untuk mengambil inisiatif.

Sebagai presiden, Trump lumayan galak menghadapi Cina yang sedang gencar menebarkan pengaruhnya ke Asia Selatan-Tenggara. Misalnya, ia terang-terangan menyokong Taiwan yang sedang ketar-ketir karena kapal-kapal Cina berlatih di sekitar wilayah Taiwan. Menlu Pompeo juga datang ke Jakarta dalam rangka membendung pengaruh Cina. Nah, apakah kegalakan Trump itu masih bisa berguna bagi Biden bila ia diangkat menjadi Menhan?

Mungkinkah skenario itu terwujud? Kemustahilan untuk terwujud setidaknya karena dua alasan: pertama, ego individu Trump yang menonjol mungkin akan menolak bila ada tawaran seperti itu, sebab yang ia inginkan jabatan tertinggi—presiden AS; dan kedua, ini menyalahi tradisi Republik maupun Demokrat yang pantang bersekutu dalam kabinet.

Tapi, jika kita tetap taat asas pada kaidah berpolitik tadi, yaitu tidak ada yang mustahil dalam politik, kedua kemustahilan itu bisa saja sirna. Dalam batas-batas tertentu, kemungkinan itu sudah ada presedennya dan contohnya di tempat lain, di luar AS, di antaranya di sini. Mirip-mirip, walaupun tidak persis sama. Politik itu fleksibel, bisa diplintir sesuai kebutuhan, apa lagi jika politikusnya pragmatis. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler