x

Iklan

Choirul Amin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 September 2020

Senin, 16 November 2020 07:20 WIB

Titip-menitip dalam Politik Itu (Nggak) Bebas Nilai; Anda Pernah?

Kata titi; banyak banyak mengemuka saat kampanye. Titip yang diucapkan ini menjadi suatu yang akhirnya bisa mengikat sebagai hubungan transaksional terkait pilihan suara. Lalu, praktik kotornya pun bisa berbentuk money politick, menitipkan suara untuk dipilih dengan (iming-iming) imbalan uang atau barang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

ilustrasi amplop (sumber foto/Solopos.com)

Penulis bergiat di literasi media. Founder portal inspirasicendekia.com

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

-------

AKHIR-AKHIR ini kata titip begitu kerap terdengar. Titip-menitip menjadi bahasa yang mudah diucapkan, tidak lagi oleh orang yang lemah atau tak memiliki kuasa melakukannya. Kata titip pun kini bisa keluar kepada siapa saja, tak peduli kepada orang yang tak dikenal sekalipun. 
 
Dalam kondisi normal, titip-menitip seakan menjadi bagian dari sosiokultur kehidupan masyarakat kita. Meski begitu, titip-menitip ini tidak berlaku umum dan terjadi pada sembarang orang. Titip-menitip sejatinya bentuk hubungan sosiologis yang tetap tak bebas nilai dan tanpa pamrih. 
 
Anda pernah dititipi terkait barang belanjaan orang lain? Atau menitipkan sesuatu untuk kemudian diteruskan dan diserahkan pada orang yang berbeda? Dalam hubungan keluarga, kekerabatan, maupun tetangga, hal ini mungkin lumrah dan bisa saja terjadi sewaktu-waktu. 
 
Tetapi, dalam lingkup hubungan lebih luas, maknanya bisa lain walau bentuknya tak berbeda. Nilai titip-menitip bisa lebih dari sekadar 'budaya' saling berganti peran atau tolong menolong, antarsesama teman atau mungkin tetangga. Titip-menitip bisa juga berarti sama-sama membutuhkan dan saling menguntungkan (mutualisme).
 
Lebih divergen lagi maknanya, ketika titip-menitip berlangsung dalam konteks pekerjaan dan hubungan ekonomi. Nilainya akan menjadi akan dapat apa jika mau dititipi, dan dimaknai dalam pemahaman imbal-jasa atau balas budi. 
 
Ada lagi relasi yang akan terbangun terkait titip-menitip yang bisa lebih mengikat, yakni terjadinya hubungan transaksional. Nah, transaksi titip-menitip ini pula yang bisa banyak terjadi di dunia politik. Bisa saja akan berdimensi singkat (pragmatis), namun sangat mungkin juga bisa melahirkan ikatan dalam jangka lebih panjang. 
 
Titip-Menitip yang Menyimpang
 
Sekali lagi, pembahasan soal titip-menitip bukan lah sederhana. Secara alami, titip menitip ini bisa jadi naluriah kita dan dilakukan atas dasar sama-sama suka alias tidak ada perasaan terpaksa. Dalam konteks bertetangga, mungkin emak-emak lah yang lebih tahu karena kerap mengalaminya. 
 
Melebih dari itu, titip-menitip sejatinya juga relasi hubungan, yang mengikatkan diri antara si penitip dengan orang yang dititipi. Selain itu, maksud dari titip-menitip tidak dimaknai begitu saja oleh setiap orang seperti apa yang diucapkan. So, jika anda berniat dan menyatakan titip sesuatu, persepsi yang ditangkap orang yang anda titipi juga bisa tidak sama. 
 
Suatu misal, ketika teman anda sedang berlibur jauh dan berjalan-jalan luar kota. Anda lalu mengatakan titip dibelikan 'oleh-oleh' tertentu. Anda mungkin sekadar iseng, atau sebaliknya ingin meminta dibelikan cuma-cuma. Namun, bisa jadi ini dimaknai teman anda sebagai keinginan, namun harus dipenuni dengan 'ngutang' duitnya dulu. Nah, beda maksud dan pemaknaan kan? 
 
'Titip' bisa mengalami pergeseran makna dan memang punya konotasi berbeda, selain arti sebenarnya. Ilustrasi titip 'oleh-oleh' di atas, bahkan bisa berkonotasi agak menyimpang. Kata 'nitip' bisa menjadi kesengajaan dan kamuflase maksud si penitip, bahwa ia sebenarnya ingin meminta sesuatu tanpa harus mengganti ongkosnya. "Lah wong, saya kan nitip siapa tahu mau dibelikan (ya, sebagai hadiah pertemanan mungkin)".
 
Titip-menitip sempat menjadi gejala sosial cenderung negatif anak kampus. Beberapa kurun waktu, titip-menitip presensi kuliah, walau sebenarnya bolos, menjadi fenomena 'solidaritas dan kesetiakawanan' yang jamak terjadi. Banyak pihak prihatin atas hal ini, karena bisa menjadi praktik korupsi dini yang meresahkan. 
 
Titip dalam Politik, Kepentingan Tergadaikan
 
"Bapak ibu, kami titip, agar tersampaikan juga kepada saudara kita yang lain." 
 
Ungkapan menggunakan kata titip seperti ini banyak kita dengar akhir-akhir ini. Kata titip yang umumnya diucapkan orang lebih lemah dan tak berkuasa, kini justru banyak keluar dari mulut para pesohor atau figur publik. Titip yang dititipkan pada siapapun yang ditemui, sekalipun belum kenal satu sama lain. 
 
Mereka adalah orang yang kini harus banyak keliling, demi kepentingan pencalonannya sebagai calon pemimpin. Di setiap kesempatan bertemu banyak orang, berpindah-pindah tempat, titip berkali-kali diucapkan. Tidak sedikit yang diulang-ulang dengan, dengan penegasan maksud sebenarnya, samar-samar maupun secara terang-terangan. 
 
Apakah titip yang hampir selalu diucapkan ini tulus dan mengikat? Mencari dukungan untuk dipilih sebanyak-banyaknya, adalah maksud sebenarnya. Meski diucapkan seolah sebagai sebuah permintaan tolong, bisa jadi titip yang diucapkan si calon ini adalah pesan dan amanat yang wajib dilakukan. Ini berlaku manakala ada (imbalan) yang diberikan pada orang yang dititipi. Nah! 
 
Titip-menitip yang muncul mirip transaksional politik ini memang banyak terjadi saat kampanye. Titip yang diucapkan menjadi suatu yang akhirnya bisa mengikat sebagai hubungan transaksional terkait pilihan suara. Praktik kotornya pun akhirnya bisa berbentuk money politics, menitipkan suara untuk dipilih dengan (iming-iming) imbalan uang. 
 
Dalam konteks lebih luas, titip dengan cara ini berarti ada yang 'dijual-belikan'. Relasi kasualitas yang nantinya mengemuka: boleh atau mau dititipi, karena ada sesuatu yang akan diberikan. Sebaliknya, akan memenuhi dan meneruskan titipan, jika sudah ada yang diterima dari pihak penitip. 
 
Dan, jika titip-menitip hanya berupa janji politik, maka sejatinya ada yang sudah tergadaikan. Penitip yang ingin mendapatkan keuntungan politik dari suara pemilih (yang dititipi), menjadikan keharusan baginya untuk mengembalikan suara 'titipan' dalam bentuk lain. 
 
Sempat terucap menjadi janji kampanye politik atau tidak, mewujudkan dan mengembalikan bagi kemaslahatan rakyat ibarat barang gadai yang harus ditebus. Terlebih jika sudah menjadi kontrak politik formal sebelumnya, maka nilai dari suara pilihan adalah titipan harapan dan kepercayaan.
 
So, anda pernah dititipi atau mendapatkan titipan (suara) kandidat calon pemimpin? Tunggu saja waktunya, he!  (*)

Ikuti tulisan menarik Choirul Amin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB