Aktivis, Akademisi, dan Perangkap Kekuasaan

Senin, 16 November 2020 10:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aroma kekuasaan bagaikan candu yang memabukkan, membikin mabuk orang-orang yang semula dengan gegap gempita menjadi pejuang bagi rakyat banyak. Mereka mulai kehilangan kosakata yang biasa mereka ucapkan dan tuliskan saat menjadi aktivis dan akademisi—bahasa yang jujur, terus terang, langsung, dan sarat antusias.

 

Antara manusia dan kekuasaan, siapakah yang lebih digdaya mengendalikan? Manusia? Atau kekuasaan? Pertanyaan ini terkait dengan kisah tentang duduknya siapapun yang dijuluki ‘orang baik’ di kekuasaan atau di institusi apapun yang diamanahi kekuasaan dan wewenang. Seiring berjalannya waktu, mampukah ‘orang baik’ itu mengendalikan kekuasaan untuk kemaslahatan rakyat banyak? Atau, sebaliknya, kekuasaanlah yang mengendalikan orang itu sehingga ia terperangkap di dalamnya dan tak berkutik?

Sebenarnya ini bukan kisah yang hanya ada dalam fiksi, dongeng, atau cerita seperti dimetaforkan sebagai cincin kekuasaan dalam The Lord of the Rings gubahan J.R.R.Tolkien. Orang baik pun gelisah hebat ketika mengenakan cincin kekuasaan karena pemakainya cenderung menyalahgunakan kekuatannya. Malah, ia yang tak kuat justru semakin dikendalikan oleh cincin kekuasaan yang cenderung jahat.

Bukan semata dendam turun-temurun, kisah keris Mpu Gandring yang mengiringi perebutan tahta oleh tiga faksi di Singhasari adalah juga tentang pesona kekuasaan di mata sejumlah orang. Menjadi orang nomor satu adalah impian Ken Arok, Kebo Ijo, Mahesa Wunga Teleng, Anusapati, Tohjaya. Namun, entah, apakah mereka ‘orang baik’ seperti yang kerap disematkan pada orang-orang zaman kini—mereka yang integritas dan kredibilitasnya terpelihara, jujur, dan amanah.

Apakah yang dijuluki sebagai ‘orang baik’ tidak memiliki ambisi kekuasaan? Barangkali terlampau naif jika kita berpikir demikian, mengingat watak ingin berkuasa berpotensi menghinggapi setiap orang—walau dengan kadar yang berbeda-beda dan apapun motifnya. Sebagian orang menghendaki kekuasaan terpusat di tangannya, sebagian lainnya merasa cukup menjadi penikmat kekuasaan dalam batas tertentu. Bagi orang-orang seperti ini, tak perlu menjadi orang nomor satu, ia cukup puas bisa ikut menikmati kekuasaan dengan peran terbatas.

Bayangkanlah aktivis mahasiswa, aktivis sosial, ataupun akademisi mumpuni dengan pikiran cemerlang dan semangat menggebu-gebu dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dan kemudian tertarik, berminat, menawarkan diri, ataupun direkrut untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan: eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Di manapun ranahnya, kekuasaan memiliki pesona dan daya pikat yang sama, yang mendorong sebagian orang memburunya dan sebagian yang lain merasa senang bila bisa ikut masuk ke dalamnya.

Kekuasaan memiliki kekuatan untuk mengubah seseorang, sekalipun orang itu disebut ‘orang baik’. Lihatlah para aktivis dan akademisi yang kemudian masuk ke dalam kekuasaan. Perlahan tapi pasti mereka menyesuaikan diri dengan permainan kekuasaan, bukan mengubah permainan agar sesuai dengan visi mereka dan menciptakan permainannya sendiri. Bahkan, visi mereka memudar dan digantikan oleh visi sang junjungan: “Aku hanyalah pembantu, aku tak berhak punya visi sendiri.” Kekuasaan telah membuat sebagian orang mengalami metamorfosis hingga menyerupai orang-orang yang dulu mereka kritik.

Aroma kekuasaan bagaikan candu yang memabukkan, membikin mabuk orang-orang yang semula dengan gegap gempita menjadi pejuang bagi rakyat banyak. Mereka mulai kehilangan kosakata yang biasa mereka ucapkan dan tuliskan saat menjadi aktivis dan akademisi—bahasa yang jujur, terus terang, langsung, dan sarat antusias. Semua ekspresi yang mampu menggelorakan semangat banyak orang itu berubah menjadi kata-kata klise, berulang-ulang, samar, dan berbelit-belit. Apakah ini wujud dari kegagapan para aktivis dan akademisi tatkala hidup di tengah realitas praktik kekuasaan, sedangkan sebelumnya mereka terbiasa hidup memandangi praktik kekuasaan dari kejauhan.

Tidak mengherankan bila terkesan bahwa mereka sendiri tidak meyakini apa yang sedang mereka ucapkan, terkesan bahwa mereka sendiri tidak merasa nyaman dengan apa yang sedang mereka sampaikan. Sebab, itu bukanlah apa yang mereka pikirkan, tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan—setidaknya di masa lalu yang belum begitu jauh.

Mereka merasa tidak nyaman, sebab mereka sendiri sesungguhnya tidak meyakini apa yang mereka ucapkan. Mereka gelisah, barangkali, karena harus mengatakan sesuatu yang hati nuraninya sendiri menolak, tapi ia terpaksa melakukannya sebab ia sedang jadi bagian dari kekuasaan. Kekuasaan telah memerangkap dan menggiring mereka untuk melakukan hal itu, meski sesungguhnya mereka bisa memilih—dan sejauh ini, mereka memilih untuk bertahan dalam kekuasaan dengan segala pertentangan yang mereka alami; walau sebagian mereka mungkin memang menikmatinya.

Mereka mulai meniru apa yang dilakukan orang-orang yang dulu mereka kritik, dengan keras bahkan. Slogan-slogan, ajakan-ajakan, imbauan-imbauan, dalam pilihan kata-kata yang sudah klise mereka ulang—kita bisa saksikan itu di layar televisi dan youtube. Mereka mungkin lupa atau tidak peduli bahwa ekspresi dengan diksi klise semacam itulah yang mereka kritik di masa lampau ketika mereka masih jadi aktivis dan akademisi sejati.

Kekuasaan memang bisa memberi dan mewujudkan harapan rakyat banyak, tapi bisa pula menjadi pemikat yang menjadikan pemegangnya dan orang-orang di dekatnya kecanduan. Sayangnya, jauh lebih sedikit orang yang sanggup mengendalikan kekuasaan ketimbang sebaliknya. Banyak aktivis dan akademisi tak mampu menghindar dari perangkap kekuasaan dan terjebak oleh ilusi bahwa mereka sanggup mengendalikannya. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler