x

Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi 2

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 20 November 2020 10:00 WIB

Pilkada, Mungkinkah Memilih Pemimpin yang Adil?

Ajang pilkada lebih terlihat sebagai peristiwa politik untuk mengakomodasi kepentingan para elite politik nasional ketimbang sebagai peristiwa politik bagi rakyat banyak. Kehendak rakyat untuk mendapatkan pemimpin kuat yang adil bukanlah hal yang mudah terpenuhi, oleh karena elite politik memiliki kepentingan yang tidak sepenuhnya sama dengan kepentingan rakyat banyak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sekitar tiga minggu lagi pemilihan kepala daerah akan diselenggarakan secara serentak. Tampaknya tak akan ada penundaan, sekalipun pandemi belum lagi reda. Orang banyak bertanya-tanya, seberapa penting peristiwa politik ini? Dalam pandangan Mendagri Tito Karnavian, pilkada serentak tahun ini harus menjadi momentum penting untuk memilih pemimpin yang kuat [Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI dan institusi penyelenggara Pemilu, 21 September 2020, seperti diberitakan berbagai media].

Pertanyaannya ialah: apakah yang dimaksud dengan pemimpin kuat itu? Pemimpin yang kuat, menurut Tito, pemimpin legitimated yang dipilih rakyat, pemimpin yang diharapkan mampu menangani krisis akibat pandemi Covid-1 dan dampak sosial ekonominya. Tentu saja, pemimpin yang mumpuni semacam itu memang kita butuhkan untuk memimpin masyarakat dalam memulihkan situasi dari pandemi. Namun begitu, pemimpin yang kuat tidaklah mencukupi, lebih dibutuhkan lagi ialah pemimpin yang adil, baik untuk kebutuhan jangka pendek memulihkan keadaan maupun untuk kebutuhan jangka panjang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemimpin yang legitimated [dipilih rakyat dan memperoleh suara terbanyak dalam pilkada] boleh jadi kuat secara legalitas, namun belum tentu mampu memimpin masyarakat secara adil. Padahal, setiap warga  memerlukan kesempatan yang adil untuk memulihkan kemampuan sosial-ekonominya. Pemimpin yang kuat namun tidak adil berpotensi menyengsarakan rakyat. Yang kuat belum tentu adil, sedangkan yang adil insyaa Allah kuat, sebab untuk menegakkan keadilan ia harus kuat. Jadi, bagi rakyat, pilkada harus menjadi momen untuk memilih pemimpin yang adil. Pertanyaannya: dapatkah hal itu terwujud?

Ya, apakah harapan akan pemimpin lokal yang adil itu dapat terwujud dalam pilkada ini, oleh karena rakyat disodori oleh elite dan partai politik dengan calon-calon yang sudah mereka seleksi terlebih dahulu. Di beberapa tempat bahkan calon pemimpin yang dikehendaki rakyat melalui mekanisme yang disusun oleh partai ternyata malah dibatalkan oleh petinggi partai itu sendiri. Elite partai kemudian memilih calon lain yang bukan hasil pilihan arus bawah.

Memang, banyak pihak memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap pilkada. Bagi elite politik, misalnya, pilkada merupakan bagian dari proses konsolidasi kekuatan dan kekuasaan. Karena itu, mereka berusaha keras untuk membuat calon yang mereka usung dan dukung mampu memenangi pilkada, sebab ini akan memengaruhi masa depan kekuasaan politik mereka. Apabila calon yang mereka usung kemudian kalah, proses konsolidasi akan terhambat dan tidak berjalan semulus bila calon mereka memenangi pilkada.

Para elite politik bahkan mengabaikan rasa malu mereka dengan ikut mengusung dan mendukung calon dari partai lain karena pertimbangan calon tersebut kuat dan dalam perhitungan politik berpotensi memenangi pilkada. Sikap pragmatis elite politik, khususnya di tingkat pusat, kerap mengabaikan aspirasi elite politik lokal, apalagi aspirasi rakyat setempat. Para elite ini ingin menjadi bagian dari kemenangan pasangan calon, sekalipun itu bukan kader partai mereka sendiri.

Pilkada di setiap kabupaten maupun kota, maupun di tingkat provinsi, telah menjadi bagian dari strategi politik nasional partai dan elite politik. Elite politik nasional berkepentingan untuk memenangkan calon-calon yang mereka usung di daerah, karena kemenangan para calon ini akan mengonsolidasikan kekuatan politik secara nasional. Kekalahan calon mereka di satu tempat—baik provinsi maupun kabupaten/kota—akan menyulitkan konsolidasi kekuatan politik. Sekedar contoh, kekalahan calon PDI-P dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa tahun lalu menyebabkan wilayah ibukota tidak mudah dikendalikan oleh partai ini. Apa lagi ketika ibukota ini dipimpin oleh figur politik yang relatif independen seperti Anies Baswedan.

Maka, sesungguhnya, ajang pilkada lebih terlihat sebagai peristiwa politik untuk mengakomodasi kepentingan para elite politik nasional ketimbang sebagai peristiwa politik bagi rakyat banyak. Kehendak rakyat untuk mendapatkan pemimpin kuat yang adil bukanlah hal yang mudah terpenuhi, oleh karena elite politik memiliki kepentingan yang tidak sepenuhnya sama dengan kepentingan rakyat banyak, sementara para elite memiliki segenap sumber daya yang dibutuhkan untuk menguasai politik lokal. Karena itu, mereka sangat menghendaki pilkada tetap dilangsungkan tiga pekan lagi. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu