x

Iklan

Media Cendekia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 Oktober 2020

Senin, 23 November 2020 06:13 WIB

Dongkrak Pendapatan Daerah, antara Gamang dan Ketidakberdayaan

Para calon pemimpin daerah yang saling adu visi untuk kontestasi elektabilitas mereka dalam pilkada, menjadi tidak banyak berkoar dan panjang lebar soal pembangunan yang dijanjikan, terutama ketika target pembangunan mengerucut pada aspek yang berbasis dukungan keuangan daerah alias pendapatan asli daerah (PAD) sendiri. Seperti ada gamang dan ketidakberdayaan soal mendongkrak potensi pendapatan daerah sendiri?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

ilustrasi kampanye

 
Ditulis Choirul Amin, bergiat di literasi media. founder inspirasicendekia.com
-----------------------
 
MASALAH pembangunan yang mensejahterakan sepertinya menjadi isu kebijakan pelik untuk dijabarkan. Terlebih soal pendapatan asli daerah (PAD), nyaris tidak narasi yang bisa dijelaskan. Terkesan ada gamang, bahkan ketidakberdayaan, mewujudkannya. 
 
Pembangunan memang berkaitan langsung dengan dampak kesejahteraan yang bisa ditimbulkan. Pun, bertalian langsung dengan regulasi dan kebijakan yang mengikat dan mendasarinya. Dukungan sumberdaya yang ada, menjadi penentu bagi signifikansi dan tingkat kesejahteraan dari pembangunan yang dilakukan.
 
Teori pembangunan di atas tentunya mudah dipahami secara jamak siapapun. Rakyat pun berpikiran sederhana, pembangunan itu ending-nya, ya untuk kesejahteraan dan mendatangkan kemasahatan bagi semua. Harapan ini tidak salah tentunya, karena juga menjadi cita-cita sebuah pembangunan yang dilakukan. 
 
Daya dukung anggaran memang menjadi kunci terlaksananya pembangunan nasional hingga tingkat daerah (kabupaten/kota). Skemanya, dari pusat berupa Dana Alokasi Umum dan Khusus (DAU/DAK) ataupun Transfer Daerah, yang merupakan dana perimbangan. Lainnya, bisa dianggarkan dari daerah sendiri yang berasal dari PAD masing-masing. 
 
Nah, dalam konteks kampanye pilkada oleh para kandidat, dukungan anggaran dari pusat dalam berbagai bentuk program pembangunan bisa jadi optimisme tersendiri untuk dijanjikan. Cita-cita pembangunan dengan dukungan anggaran pusat bak 'kue manis' yang memang akan menarik siapa saja yang berharap bisa menikmatinya. 
 
Akan tetapi, ketika target pembangunan mengerucut pada aspek yang berbasis dukungan keuangan daerah sendiri, ceritanya akan menjadi lain. Para calon pemimpin daerah yang saling adu visi untuk kontestasi elektabilitas mereka, menjadi tidak banyak berkoar dan panjang lebar soal pembangunan yang dijanjikan. 
 
Ini pula yang tampak pada Debat Kandidat Pilkada Kabupaten Malang lanjutan yang digelar KPU setempat, Jumat (20/11/2020) malam. Diikuti tiga paslon kandidat, debat terbuka ini banyak menyingung visi dan orientasi kebijakan pembangunan masing-masing kandidat di daerah dengan penduduk 2,13 juta jiwa ini. 
 
Dalam paparan visi tiap paslon kandidat, terlebih petahana maupun mantan pejabat (pemerintah), seperti tidak ada yang kurang pada aspek program pembangunan yang bakal dijalankan berikut sasarannya. Namun, sedikit ada keluh lidah manakala dibahas isu dan masalah strategis pembangunan yang masih timpang. Terlebih, soal kekuatan pembangunan yang semata-mata mengandalkan (potensi) PAD daerah. 
 
Dalam rilis Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Malang, sempat tercatat APBD 2020 naik jika dibandingkan dengan tahun 2019. Yakni, naik dari Rp 4,3 triliun menjadi lebih dari Rp 4,6 triliun. Akan tetapi, sedikit mencengangkan karena kemampuan PAD Kabupaten Malang hanya sekitar Rp 100 miliar.  
 
Para paslon kandidat, petahana atau yang pernah menjabat, yang juga harus memaparkan daya dukung PAD bagi pembangunan daerah, terkesan gamang soal kemampuan keuangan daerah ini. Terlebih petahana, ada kesan kepasrahan ketika dihadapkan pada problem lemahnya PAD ini. 
 
Karuan saja, selama bertahun-tahun pendapatan asli daerah di Kabupaten Malang relatif sangat kecil, bahkan tak sebanding dengan jumlah populasi dan kebutuhan dasar jika harus dibagi tiap warga. Paling besar kontribusi PAD ini berasal dari sektor perdagangan dan jasa, disusul layanan umum yang memang tidak dibiayai oleh negara. 
 
Sumber-sumber PAD kabuaten Malang misalnya, berada pada BUMD seperti Perumda Tirta Kanjuruhan, BLUD RS Kanjuruhan, BPR Artha Kanjuruhan dan PD Jasa Yasa. Tetapi, kontribusi BUMD yang ada ini hanya mampu berkontribusi kurang dari 10 persen PAD. Angka yang sangat kecil tentunya. 
 
Sebagian paslon kandidat bersikukuh, meyakini investasi dan sektor pariwisata lebih diandalkan investor untuk mendongkrak PAD Kabupaten Malang. Satu pandangan alternatif memang bisa diuji, yakni terintegrasinya sektor pendapatan daerah melalui BUMD Incorporation. Tentunya, ini harus dilakukan dengan tata kelola dan sistem bisnis yang baik dan tidak asal-asalan. 
 
Ya, belum signifikannya keberadaan BUMD bagi PAD masih menjadi masalah cukup berat dan pekerjaan terus-terus bagi siapapun kepala daerahnya. BUMD harusnya efektif mendongkrak PAD. BUMD harus bisa berbenah, jangan sebaliknya justru harus disubsisi terus menurus dari keuangan daerah yang sudah terbatas. Berapapun jumlahnya, keuangan daerah sangat dibutuhkan bagi kemaslahatan warga masyarakatnya. (*)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Media Cendekia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler