x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 27 Desember 2020 06:15 WIB

Cerpen | Penghuni Laut Samudra

Seorang nelayan yang bernama Gilang, memaksakan diri untuk berlayar ditengah cuaca ekstrim. Namun sayangnya dia mengalami sebuah pengalaman mengerikan yang akan mengubah kehidupannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Namaku Gilang. Aku adalah seorang nelayan dari desa yang terletak di sekitar pantai selatan, daerah Jawa Barat. Aku ingin menceritakan pengalamanku yang sangat mengerikan, sehingga tidak dapat kulupakan begitu saja. Bahkan pengalamanku ini telah menciptakan rasa trauma dan rasa takut akan laut. Lama kelamaan ini sangat menyiksaku secara mental, sehingga membuatku tidak dapat kembali beraktivitas normal seperti biasanya.

Selain itu, kuceritakan pengalaman ini karena tidak ada satupun orang yang mempercayai ceritaku, termasuk keluarga dan kerabat dekatku. Hal ini membuatku merasa sendirian dan tertekan, bagaikan sedang jatuh sakit dan tidak ada satupun yang mempedulikanku.

****

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebulan yang lalu, aku melakukan pekerjaanku seperti biasanya yaitu menangkap ikan di laut. Namun, pada waktu itu cuaca sedang buruk sehingga menciptakan gelombang pasang yang tinggi. Alhasil keadaan ini sangat membahayakan para nelayan atau orang-orang yang sedang berlayar. Maka itu, jumlah nelayan yang pergi berlayar tidak banyak.

Keluarga berusaha melarangku untuk berlayar. Tetapi aku tetap bersikeras dan meyakinkan mereka bahwa aku akan baik-baik saja. Karena waktu itu aku merasa gelombang pasangnya tidak terlalu tinggi, sehingga masih dapat kuatasi. Sebab masih ada beberapa nelayan yang dapat berlayar melawan gelombang pasang tersebut.

Ketika aku mulai berlayar, terlihat keluargaku sedang berdiri menatap kepergianku dengan cemas. Aku tahu perasaan mereka, tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa.

**** 

Selang beberapa waktu kemudian, aku sudah berada di tengah-tengah laut teritorial. Harus kuakui bahwa gelombang pasangnya cukup tinggi, sehingga membutuhkan nyali yang besar untuk berlayar. Setibanya di tempat yang strategis, aku mengambil jaring dan menebarkannya ke laut. Untuk menunggu ikan-ikan terperangkap di dalam jaringku, kuisi waktuku sembari memancing dan tiduran di atas kapal.

Setelah sekian menit telah berlalu, secara samar aku melihat ada yang menggerakan jaringku dari dalam laut. Aku yakin pergerakannya bukan efek dari gelombang pasang, melainkan berupa tarikan dari dalam laut. Alhasil aku langsung menarik jaringku dengan berpikir bahwa sudah ada ikan yang terperangkap di dalam jaringku. Tetapi ketika kuangkat jaring ini, rasanya sangat berat sehingga tidak bergerak satu inci-pun.

Aku mulai merasa curiga. Awalnya aku mengira bahwa ikan yang tertangkap memiliki jumlah yang banyak. Sebab rasanya mustahil bila jaringku tersangkut oleh terumbu karang, karena jaring yang kupakai ini tidak terlalu panjang untuk bisa menyentuh permukaan laut. Akhirnya aku terpaksa harus menggunakan cara kekerasan yaitu menariknya dengan bantuan mesin perahu.

Lalu aku bergegas pergi ke mesin motor yang terletak di ekor perahuku. Namun ketika aku hendak menarik starter mesin motor, seketika terdengar suara dentuman misterius yang keras di sekelilingku. Suaranya seperti suara letusan gunung berapi, tapi ada gabungan dari suara auman binatang buas.

Tubuhku bergidik seketika. Ditambah dengan tidak ada sesama nelayan atau teman yang berada di dekatku - hanya aku seorang diri di perahu kecil ini - sehingga rasa resah hadir menemaniku. Di tengah keresahanku, tidak kusadari bahwa ada pergerakan dari jaringku. Jaring itu mulai bergerak menjauhi perahuku secara perlahan-lahan. Lalu jaring itu tertarik dengan kencang dan kuat - bagaikan ditarik oleh perahu berkecepatan tinggi - sehingga menyeret perahuku dengan kasar.

Seketika aku terlempar ke ekor perahu dengan kencang. Aku tidak tahu binatang apa yang terperangkap di dalam jaringku, yang pasti binatang tersebut berukuran sangat besar. Kemudian aku hendak berteriak meminta tolong kepada sesama nelayan lainnya. Tetapi jarak mereka sudah sangat jauh sehingga mereka terlihat seperti titik kecil di ujung pandanganku. Selain itu, kapalku sudah tertarik jauh hingga memasuki wilayah laut lepas atau sering disebut sebagai laut samudra. Sebuah wilayah yang berbahaya untuk dimasuki oleh nelayan kecil sepertiku.

Aku langsung bergerak ke mesin motor perahuku dan berusaha untuk menghidupkannya, guna menahan balik dari tarikan binatang tersebut. Namun karena tarikannya yang kuat telah menciptakan hentakan keras di perahuku yang mengakibatkan mesin motor perahuku rusak dan terlempar dari ekor perahuku. Lalu aku mulai mencari cara lain, yaitu memotong tali jaring yang terikat di perahuku. Tidak jauh dari tempat aku berada, terdapat sebilah golok yang diselipkan di dinding perahu. Golok itu adalah senjataku yang selalu kubawa setiap pergi berlayar untuk keperluan mendadak dan darurat. Kemudian aku mengambil golok itu dan merangkak dengan hati-hati ke tali jaring itu.

Seketika binatang itu mulai menyelam lebih dalam ke dasar laut. Akibat tarikannya yang kuat dan secara sontak, membuat bagian ekor perahuku terangkat ke atas dan melemparku ke muka perahu. Tapi untungnya aku berhasil memegang sela-sela kayu yang ada di dasar kapal dan kembali merangkak menuju tali jaring itu. Kemudian, dengan sigap kuayunkan golok itu ke tali jaring tersebut secara berkali-kali hingga putus. Setelah itu kulihat dengan mata kepalaku sendiri, jaringku lenyap ke dalam laut dengan diiringi oleh suara dentuman.

****

 Jam demi jam telah kulalui. Kini aku terpaut bebas di tengah laut Samudra yang luas bersama sebuah kapal nelayan yang kecil. Meskipun perahu ini sudah diseret secara brutal oleh makhluk itu, untungnya tidak ada kerusakan parah dan hanya menyisakan kerusakan kecil di beberapa bagian perahu seperti di sela-sela pinggir perahu yang retak atau patah, namun belum membahayakan. Selain itu, bekal yang kubawa dari rumah mulai menipis. Banyak barang-barang di perahuku yang terlempar keluar saat peristiwa tadi. Tapi untungnya aku masih mempunyai sebuah pancing, sehingga aku masih bisa menangkap ikan untuk dijadikan santapanku.

Hari mulai gelap dan aku belum melihat adanya kapal dan pulau di sekelilingku. Yang kulihat hanyalah lautan yang tenang dan tak berujung. Aku tidak tahu pasti dimana aku berada sekarang - tapi aku berasumsi bahwa wilayah ini tidak pernah dikunjungi oleh manusia - karena tidak ada tanda-tanda lalu lalang transportasi laut. Selain itu aku merasa ganjil dengan ombak laut yang tenang dan udaranya yang bertiup sepoi-sepoi. Sangat berbeda dengan situasi di laut tempat aku menangkap ikan.

Di tengah-tengah rasa ganjil dan keputusasaan ini, aku hanya bisa menatap langit yang sudah diselimuti oleh kegelapan malam, dihiasi oleh bintang-bintang kecil, dan sebuah bulan purnama yang bersinar indah. Membayangkan wajah-wajah keluarga dan kerabatku yang sedang menungguku pulang berlayar. Aku merasa sedih dan kecewa, karena aku merasa gagal menepati janjiku untuk bisa pulang dengan selamat.

Seketika aku merasa air laut yang tadinya tenang mulai beriak, seakan ada gempa dari dasar laut atau badai yang menerjang. Semakin lama riak laut itu mulai menciptakan gelombang pasang yang tinggi - memudarkan bayangan wajah keluarga dan kerabatku di langit yang gelap - sehingga menciptakan sebuah fenomena yang mencekam. Aku melihat sekitarku dan - secara samar-samar dengan bantuan cahaya bulan - aku melihat sesuatu yang membuatku bergidik. Ada tiga pasang mata besar yang bergerak dan menatapku dari dasar laut. Aku tidak yakin dengan mataku sendiri - yang pasti bukanlah seekor ikan paus - karena ukuran mata itu sangat besar - berukuran tujuh kali dari roda mobil truk - dan memancarkan cahaya yang berwarna kuning.

Seketika terdengar suara dentuman yang keras seperti letusan gunung berapi yang - secara samar - mirip dengan suara auman binatang buas yang besar. Suara itu menggema di langit-langit sekelilingku, sehingga membuatku merasakan kengerian yang tak ternilai - seakan sedang menanti kedatangan sebuah mimpi buruk yang akan menghantui seumur hidupku - terutama ketika aku menyadari bahwa aku mengenali suara tersebut.

Kemudian aku langsung mengambil sebilah golok dan mulai bersiaga. Suara itu terdengar semakin keras dan jelas, diiringi dengan riak air yang semakin besar. Tidak lama kemudian, munculah satu sosok makhluk raksasa berwarna hijau lumut dari dalam laut, tepat di hadapanku. Makhluk itu menatapku dengan tatapan beringas. Aku tidak tahu apa yang sedang kulihat, karena makhluk itu terlihat sangat besar, melebihi paus biru. Wujudnya yang ganjil dan asing telah membakar retina mataku, seakan aku sedang mengalami sebuah mimpi terburuk dalam hidupku. Sungguh aku berani bersumpah kepada Tuhan bahwa aku tidak pernah melihat makhluk semengerikan itu sebelumnya.

Apabila dideskripsikan; makhluk itu memiliki kepala seperti ikan fangtooth dengan enam buah mata berwarna kuning terang - dengan tiga buah mata terletak di tiap sisinya. Makhluk itu juga memiliki badan yang menyerupai belut moray dengan kulit yang terbuat dari kitin dan bersisik, sehingga secara samar terlihat seperti kulit kepiting. Di punggungnya terdapat sirip besar yang panjang dan tajam. Selain itu, dia memiliki empat buah tangan yang berbentuk selayaknya tangan manusia, tetapi lengannya berupa kaki kepiting laba-laba.

Selang berapa waktu kemudian, aku melihat delapan lengan gurita yang memiliki warna yang sama dengan makhluk itu - berbentuk gemuk dan tidak terlalu panjang - menjulur keluar dari permukaan laut - tepatnya dari bawah makhluk itu - sehingga menciptakan alunan air yang tidak stabil. Aku berasumsi bahwa lengan gurita itu adalah kaki dari makhluk itu.

Pemandangan itu membuatku kehilangan seluruh kekuatanku, sehingga badanku mulai lemas dan terjatuh. Otakku seketika berhenti berfungsi untuk berpikir atau memerintahkan tubuhku untuk berbuat sesuatu. Yang bisa kulakukan adalah terpaku menatap makhluk itu dengan rasa ketakutan, selayaknya seekor tikus yang sedang dihadapkan dengan seekor singa yang kelaparan dan memohon belas kasihan kepadanya.

Makhluk itu menatapku dalam berapa detik, kemudian dia membuka mulutnya yang besar selebar-lebarnya. Aku melihat betapa besarnya mulut makhluk itu, sehingga dia mampu menelanku secara bulat-bulat bersama kapalku tanpa sisa. Aku juga melihat gigi-giginya yang runcing, panjang, dan besar bagaikan gading mamut. Kemudian dia mengeluarkan suara auman yang keras sehingga mengombak air laut dan mengombang-ambing perahuku.

Aku kehilangan keseimbangan dan hampir terhempas keluar dari perahu. Untungnya Tuhan masih melindungiku sehingga aku masih dapat meraih pinggiran perahu untuk berlindung. Kemudian makhluk itu melayangkan tangannya yang besar ke arahku, sehingga aku terpental bersama perahuku ke udara dan jatuh ke lautan. Perahuku hancur seketika. Aku langsung berenang ke arah potongan kayu - sisa dari tubuh perahuku - lalu kugapainya seperti pelampung.

Kemudian, aku menoleh ke arah makhluk itu. Aku melihat dia melompat ke dalam laut dan mendarat tepat di belakangku, sehingga melemparku kembali ke udara. Saat itu pula - secara samar - aku melihat jaringku yang sudah koyak berada di sirip makhluk itu. Kemudian aku mendarat di laut dengan kencang - terasa seperti jatuh di tumpukan tanah yang keras - sehingga membuat pandanganku menjadi gelap gulita. 

****

Ketika aku keluar dari pandangan yang gelap gulita, aku sudah berada di sebuah rumah sakit yang terletak di Jawa Barat. Kulihat seluruh keluarga dan kerabatku menangis histeris ketika melihatku siuman. Mereka menceritakan bahwa aku ditemukan oleh kapal Polisi Militer Angkatan Laut Indonesia di perbatasan antara laut lepas dan laut teritorial, dalam keadaan mengambang dan tidak sadarkan diri. Setelah itu aku tidak hanya menjalani perawatan medis tetapi juga menerima berbagai macam kunjungan dari pihak berwajib untuk menanyaiku tentang apa yang telah terjadi kepadaku.

Kuceritakan semua apa yang telah kualami kepada mereka. Tetapi tidak ada satupun dari mereka yang mempercayai ceritaku. Mereka membuat kesimpulan bahwa aku terlalu memaksakan diri pergi berlayar dalam kondisi cuaca yang buruk, sehingga aku terbawa arus ke laut lepas dan mengalami kecelakaan akibat amukan ombak. Mereka juga mengasumsikan bahwa makhluk yang kuceritakan tadi hanyalah mimpi buruk selama aku tidak sadarkan diri atau kondisiku yang sedang tertekan, putus asa, trauma, dan depresi, sehingga menciptakan sebuah halusinasi atau delusi yang berwujud makhluk itu. Statement mereka didukung oleh hasil laporan dokter bahwa aku mengalami trauma yang hebat akibat kecelakaan di laut. Dengan minimnya bukti dan saksi mata membuat mereka semakin yakin bahwa aku sedang tidak stabil akibat kecelakaan yang baru saja kualami.

Namun, aku tetap bersikeras bahwa apa yang kualami ini bukanlah halusinasi maupun penyakit psikologis. Karena makhluk itu terlalu jelas untuk disebut sebagai halusinasi. Bahkan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri dengan detail wujudnya. Bahkan aku juga masih mengingat suara aumannya hingga detik ini. Tetapi mereka tidak peduli dan mengirimku ke trauma healer.

Semenjak peristiwa itu aku menjadi sangat ketakutan. Sebab bayangan dari sosok makhluk itu masih terus menghantuiku hingga saat ini - terutama ketika melihat lautan - dan aku selalu merasa sedang diawasi olehnya dari dalam laut yang tak terjangkau oleh mata telanjang manusia. Suaranya yang mirip dengan dentuman gunung meletus itu masih terngiang-ngiang di telinga dan otakku, seakan aku sedang mendengar aumannya.

Trauma healer yang diberikan oleh pihak berwajib tidak memberikan efek apa-apa terhadapku selain membuatku menjadi semakin terisolasi dan terpojok. Semua orang mulai menganggapku gila. Alhasil, mereka mulai mengucilkanku karena kesaksianku ini. Maka dari itu - setelah aku mengakhiri cerita ini - aku berniat untuk mengakhiri hidupku dengan segera mungkin.

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler