x

Pekerja menuang sari pati kedelai di sentra industri tahu Cibuntu, Bandung, Jawa Barat, 3 Januari 2021. Harga kedelai pasca mogok produksi masih tetap tinggi di kisaran Rp 9.100 per kilogram. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 6 Januari 2021 18:04 WIB

Betapa Dalam Kita Mencintai Tahu dan Tempe

Kelangkaan tahu, tempe, dan produk olahan kedelai lainnya bukan saja mengganggu asupan protein nabati bagi rakyat, menggerus kemampuan ekonomi produsen tahu dan tempe yang umumnya usaha kecil menengah, tapi juga menunjukkan betapa rapuh ketahanan pangan kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sudah beberapa hari terakhir ini gehu goreng susah dijumpai. Kalau di daerah Parahyangan, gehu adalah tahu yang diisi dengan toge berbumbu lalu digoreng. Gehu yang mantap kelezatannya biasanya dibuat pedas sehingga yang menyantap berusaha membuang panas dari rongga mulut alias seuha... Meskipun pedas, penggemarnya akan merasa tidak cukup bila menyantap hanya satu potong gehu saja.

Di setiap gerobak penjual gorengan, yang bertebaran di sisi-sisi jalan, biasanya gehu selalu tersedia, sebab ini camilan favorit masyarakat umumnya. Memang ada bala-bala, pisgor, combro, ataupun cireng, tapi gehu dan juga tempe goreng selalu tidak boleh tertinggal. Sayangnya, beberapa hari ini gehu susah didapat. Begitu pula dengan tahu walik [kulit luarnya dibalik ke arah dalam, lalu digoreng], maupun batagor—baso tahu goreng khas Bandung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kelangkaan tahu dan tempe hari-hari ini memang telah menjadi isu nasional. Viral. Betapa tidak, sore dan pagi dalam beberapa hari terakhir kita tidak bisa menikmati tahu maupun tempe yang digoreng tipis dan disantap dengan sebiji cabe rawit. Kalau pun tahu dan tempe masih dijumpai, ukurannya diperkecil dari biasa.

Kelangkaan tempe dan tahu kabarnya karena para produsen berhenti memproduksi tahu dan tempe untuk sementara waktu. Biasa, harga kedelai melonjak hingga membuat produksi tidak lagi memenuhi skala ekonomis. Di sinilah terlihat dampak perdagangan internasional terhadap penjualan gehu dan tempe di gerobak-gerobak gorengan sisi jalan.

Kelangkaan tahu dan tempe di warung-warung rupanya ada kaitan dengan Cina dan AS. Bukan karena kedua negara perang dagang, justru karena Cina sedang memborong kedelai AS, sehingga harganya di pasar internasional pun melambung. Para produsen yang umumnya pengusaha kecil dan menengah menjerit. Kita memang terkena imbas impor besar-besaran oleh Cina itu karena kita demen impor kedelai dari AS.

Kita memang penggemar berbagai barang/bahan impor, tak terkecuali kedelai, meskipun tanah kita kerap disebut subur. Lagi pula, kualitas kedelai kita juga lebih bagus—lebih gurih—dibandingkan yang diimpor. Lalu, mengapa impor? Karena katanya harga kedelai produksi petani anak bangsa kalah bersaing, sehingga bagi produsen tahu dan tempe merasa kedelai anak bangsa sendiri kurang ekonomis. Di sisi lain, jika harga kedelai lokal ditekan, para petani tidak dapat menikmati jerih payahnya secara layak.

Ketika harga kedelai impor melonjak, industri tahu dan tempe pun goyah. Ribuan produsen tahu tempe sempat beberapa hari tidak berproduksi. Betapa rapuh industri yang umum dijalankan oleh pengusaha kecil dan menengah ini menghadapi perubahan harga bahan baku impor. Ketergantungan pada bahan impor merupakan sumber kerentanan industri ini. Padahal kita pernah mencapai swasembada kedelai pada tahun 1992, namun lahan yang kian berkurang untuk menanam kedelai sedangkan kebutuhan meningkat, akhirnya impor menjadi jalan keluar yang melenakan. Impor memang oye bagi pengimpor, sebab modalnya kapital besar saja tanpa perlu pusing menanam kedelai dan memanennya.

Dengan naiknya harga kedelai impor, kata seorang pejabat, kedelai lokal disebut-sebut menjadi kompetitif sebab harganya tidak terpaut jauh dari kedelai impor. Namun, keunggulan semacam ini sifatnya hanya temporer, sekedar pelipur lara. Begitu kedelai didatangkan dari negara lain, kali ini Kanada, keunggulan sementara itu segera saja ambyar.

Alangkah bagus jika pemerintah mencari jalan keluar agar kedelai produksi petani kita dapat terserap oleh pasar dengan harga yang baik agar hidup petani sejahtera. Di sisi lain, para produsen tahu dan tempe pun tetap dapat bergiat diri dengan produksinya. Kita bolehlah percaya soal-soal ini kepada Menteri Perdagangan Lutfi dan Menteri Pertanian Syahrul. Biarlah mereka memikirkannya dan beraksi, karena tugas menteri memang itu. Mudah-mudahan saja mereka juga penggemar gehu dan tempe, jadi tahu soal kelangkaan gorengan ini. Eh, kecap juga barangkali.

Kedelai adalah protein nabati yang terjangkau oleh lebih banyak warga dibandingkan protein hewani seperti daging ayam, domba, sapi ataupun ikan dan udang. Jika harga tahu dan tempe lantas naik karena kenaikan harga bahan baku, masyarakat mungkin saja mengurangi konsumsinya. Namun, di masa lalu, kejadian serupa pernah berlangsung, sehingga agar tahu dan tempe tetap terjangkau oleh kebanyakan warga, para produsen memperkecil ukurannya. Warga pun menerima keadaan ini, yang penting tetap bisa menikmati gehu dan tempe mendoan. Ini menunjukkan betapa kita mencintai tahu dan tempe.

Di dunia internasional, tahu barangkali memang lebih dikenal ketimbang tempe, sebab terdapat beragam varian tahu. Beberapa bangsa sudah mengenal tahu sejak lama, khususnya bangsa-bangsa di Asia Timur seperti Cina, Korea, dan Jepang. Bahkan di Indonesia saja, terdapat bermacam tahu. Keragamannya bertumpu pada lokalitas: tahu Sumedang berbeda dari tahu Kediri.

Namun kita punya tempe yang memang khas Indonesia. Keragamannya pun tak kalah banyak dibanding tahu, termasuk produk olahannya seperti oncom dan kripik tempe hingga mendoan. Maknanya, tidak ekonomisnya harga kedelai dapat berdampak pada bukan hanya pendapatan pedagang gorengan, tapi juga berkurangnya asupan protein nabati warga kita, sekaligus bisa-bisa menjadikan gehu dan mendoan makanan langka. Oh ya, ini juga terkait dengan ketahanan pangan kita—yang kabarnya termasuk wilayah tugas Menteri Pertahanan. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler