Pembangunan Smelter Digenjot, Tapi Penanganan Limbahnya Seolah Terlupakan

Jumat, 5 Februari 2021 13:09 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demi menggapai mimpi untuk menjadi raja baterai listrik, Indonesia bekerja keras. Pemerintah maupun pengusaha saling bahu membahu demi memajukan perekonomian negeri. Pembangunan smelter nikel terus digenjot. Tapi, bagaimana dengan nasib limbahnya yang masuk kategori B3 itu? Siapa yang harus tanggung jawab?

Indonesia terus mengejar mimpinya untuk menggapai gelar raja baterai listrik. Untuk mencapai tujuannya, berbagai usaha dilakukan mulai dari menarik investor lokal dan asing seperti Tesla, yang ramai diperbincangkan, seperti maraknya pemberitaan Covid-19 menghiasi headline pemberitaan dimana-mana.

Yunus Saefulhak selaku Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi mengatakan bahwa investasi asing diperlukan untuk membangun smelter HPAL. Dilansir dari Majalan Tempo (9/1), menurut Yunus dari sisi keekonomian, industri HPAL masuk kategori marginal sementara penguasa teknologi di Indonesia masih sangat terbatas. 

Agar dapat menguasai teknologi tersebut, perlu adaa transfer knowledge dengan menghadirkan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia sehingga pengetahuan dan skill pekerja lokal bertambah.

Indonesia sudah mulai sedikit demi sedikit melangkah. Lantas, adakah kendala yang dihadapi?

Di dalam perjalanannya seolah-olah pemerintah bersama pengusaha belum senapas. Ketika larangan ekspor nikel diterapkan, pemerintah menaruh harapan pada pelaku usaha untuk membangun fasilitas pemurnian (smelter) nikel guna memproduksi bijih nikel menjadi salah satu bagian baterai kendaraan listrik, hingga dalam wujud baterai itu sendiri.

Agar program baterai listrik dapat berjalan dengan baik, keberlangsungan bisnis semua pelaku industri akan terjamin. Chief Executive Officer PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus menilai kebijakan pemerintah diharapkan lebih tegas lagi. Dikutip dari Majalah Tempo (9/1), pemerintah perlu segera mengeluarkan aturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. 

“Kita perlu syarat kecukupan untuk membentuk budaya, kebiasaan infrastruktur, agar industri dalam negeri berkembang”, ujar Alexander. 

Alexander menambahkan, industri ini harus dipikirkan untuk jangka panjang. Oleh karenanya, butuh pengoptimalan kuantitas nikel yang dapat diambil setiap tahunnya, selain jaminan aktivitas penghiliran tambang yang ramah lingkungan.

Para pelaku usaha sudah mengikuti kemauan pemerintah untuk membangun smelter. Namun Di satu sisi, pemerintah terus menggenjot pembangunan pabrik smelter nikel. Adakah kebijakan dari limbah tailing baterai tersebut?

Dilansir dari Kompas.com, Peneliti Pusat Teknologi Material BPPT, Jarot Raharjo mengonfirmasi bahwa limbah baterai kendaraan listrik merupakan limbah B3 atau Bahan Berbahaya dan Beracun. Jarot menjelaskan bahwa kandungan di dalam baterai dapat membahayakan kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup. 

Menurutmu, siapakah penanggung jawab di balik pengelolaan limbah tailing dari produksi baterai kendaraan listrik? 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sri Kandhi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler