x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 8 Februari 2021 12:50 WIB

Andaikan Hidup di Masa Sekarang, Akankah Bung Hatta Ber-Tweet-war?

Andaikan Bung Hatta hidup di masa sekarang, akankah ia melibatkan diri dalam tweet-war? Apakah ia juga akan mengerahkan buzzer untuk mengesankan publik bahwa ia punya banyak pendukung--seperti kelakuan politisi era kini? Kita bisa mencoba menengok sejarah tentang bagaimana sosok seperti Bung Hatta, misalnya, bersikap dan berperilaku sebagai politikus

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Andaikan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bung Tan Malaka hidup di masa sekarang, akankah mereka melibatkan diri dalam tweet-war? Apakah mereka juga akan mengerahkan buzzer untuk mengesankan publik bahwa mereka punya banyak pendukung? Apakah mereka juga akan melakukan survei-survei politik untuk mengesankan bahwa banyak warga masyarakat yang menyokong kebijakan mereka? Entahlah, sebab jatuhnya hanya menduga-duga dan berimajinasi alias berandai-andai.

Meski begitu, kita bisa mencoba menengok sejarah tentang bagaimana sosok seperti Bung Hatta, misalnya, bersikap dan berperilaku sebagai politikus. Lebih dari politikus dalam praktik, Bung Hatta adalah juga pemikir yang menuangkan gagasan dan pandangan politik dan ekonominya melalui tulisan—sesuatu yang langka di zaman kini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di masa kini, sangat jarang politikus kita menuangkan pemikiran visioner ke dalam tulisan, sehingga rakyat tidak pernah mengetahui seberapa besar kapasitas intelektual dan kepemimpinan mereka untuk memegang jabatan-jabatan penting. Begitu pula dalam hal sikap dan pendirian, betapa mudah para politikus berubah pendirian 180 derajat dalam waktu yang sangat singkat. Lihatlah bagaimana para pemimpin partai berbalik haluan mengenai revisi UU Pemilu, dari semula mendukung tiba-tiba menolak revisi.

Bung Hatta memberi teladan yang sangat berbeda, yang memperlihatkan kualitasnya sebagai pemimpin bangsa. Ketika tidak setuju dengan konsep Demokrasi Terpimpin yang digagas dan hendak dijalankan oleh kawan seperjuangan sedari muda, Soekarno, Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1956. Meskipun begitu, Bung Hatta bukan tipe politikus yang lantas menjelek-jelekkan Bung Karno karena berpisah jalan dalam memandang persoalan bangsa.

Bung Hatta lalu menulis risalah Demokrasi Kita pada tahun 1960 untuk mengungkapkan pemikiran dan pandangannya tentang bagaimana demokrasi Indonesia sebaiknya dibangun ke depan. Dalam risalah yang mashur itu, Bung Hatta mengritik Demokrasi Terpimpin  Soekarno sebagai suatu diktator yang didukung oleh golongan-golongan tertentu. Meski begitu, Bung Hatta juga menulis:

“Bagi saya yang lama bertengkar dengan Sukarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Sukarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi sukses atau suatu kegagalan. Sikap ini saya ambil sejak perundingan kami yang tidak berhasil kira-kira dua tahun yang lalu.”

Bung Hatta mengritik pemikiran Bung Karno mengenai demokrasi, tapi tidak pernah menyerangnya secara pribadi. Bung Hatta bukanlah tipe politikus yang mau membuka aib yang mungkin ia ketahui mengenai Bung Karno. Bandingkan dengan politikus masa kini yang gemar mengumbar aib orang yang pernah bekerja dengannya, entah itu atasan, kawan separtai, atau pun bawahan.

Ada beberapa peristiwa yang mestinya kita dapat belajar dari hubungan keduanya. Ketika Bung Hatta dirawat karena stroke pada 1963, Bung Karno menjenguknya. Ia menyarankan kepada Bung Hatta agar mau menjalani pengobatan di Swedia. Bung Hatta setuju dan berangkat ke Eropa. Ketika Guntur menikah, Bung Karno sakit, lalu Bung Karno meminta Bung Hatta agar menjadi wali nikah untuk Guntur, dan Bung Hatta langsung menyetujui.

Begitu pula, ketika Bung Karno sakit, Bung Hatta menjenguknya. Melihat Bung Karno di kamarnya dalam keadaan tidur, Bung Hatta bermaksud keluar kamar dan pulang. Namun Bung Karno terbangun dan berbicara: “Hatta, kau ada di sini. Hoe gaat het met jou? (Apa kabar)?” Meutia, putri Bung Hatta yang menemani ayahnya di ruangan itu, menyaksikan ayahnya memijit tangan Bung Karno sambil berucap: “Kuatkan hatimu, tawakal saja pada Allah. Saya doakan agar lekas sembuh.” Selanjutnya, suasana hening selama 30 menit. Sambil menggenggam tangan Bung Hatta, Bung Karno menangis. Dua hari kemudian, 21 Juni 1970, Bung Karno wafat.

Walaupun Bung Hatta mengritik keras pemikiran Demokrasi Terpimpin, namun sebagai manusia ia menyadari bahwa siapapun dapat melakukan kesalahan. Ia mengritik ide, pemikiran, dan sepak terjang politik Bung Karno, tapi ia tidak pernah menyasar hal-hal pribadi. Mungkin saja Bung Hatta pernah mengingatkan Bung Karno mengenai hal-hal pribadi, tapi ia tidak pernah mengungkapkannya kepada publik.

Andaikan Bung Hatta hidup di masa sekarang, mungkin ia enggan untuk memiliki akun Twitter dan media sosial lain, apa lagi bermain tweet-war dengan orang lain hanya untuk menunjukkan bahwa orang lain salah, buruk, dan jahat, sementara diri sendiri benar, baik, dan hebat. Atau, mengejek, menertawakan, dan mengolok-olok orang lain melalui medsos. Sebagai intelektual yang berkeadaban, hal semacam itu hanya akan merendahkan kualitasnya.

Bung Hatta bukan tipe politikus yang gemar mengritik hal-hal pribadi di muka umum, sekalipun terhadap orang yang berbeda pandangan. Bung Hatta lebih suka menulis untuk mengritik pemikiran, sebab inilah sumber dari perilaku apapun: sikap otoriter, pragmatis, oportunis, hingga korup. Sayangnya, inilah yang langka kita jumpai pada politikus kita di masa kini. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler