Surat Untuk Anakku yang Pada 2024 Nanti Ikut Pemilu Pertama Kali
Senin, 22 Februari 2021 17:15 WIB
Iklan
Saya ingin mengatakan satu hal: betapa besarnya kuasa negara. Negara punya segalanya, legalitas, anggaran, aparat, dan semua sumber daya. Negara boleh dan sah membunuh warga atas nama hukum. Negara dan pemimpin negara memutuskan hal-hal besar yang mempengaruhi hidup kita, mengubah nasib kita, ya kita bagian dari seluruh rakyat, seluruh warga negara. Tapi dari mana kuasa itu berasal? Kuasa itu berasal dari kita, dari rakyat. Kita yang memberi atau lebih tepat meminjamkannya. Jadi, kedaulatan itu selamanya harus ada di tangan rakyat, di tangan kita.
ANAKKU, tahun 2024 nanti kamu akan ikut pemilu, pertama kali dalam hidupmu sebagai warga negara. Saya ingin membagikan pengalamanku menjadi warga negara dengan beberapa presiden. Saya rasanya punya pengalaman yang bisa saya bagikan padamu.
Saya ingin mengatakan satu hal: betapa besarnya kuasa negara. Negara punya segalanya, legalitas, anggaran, aparat, dan semua sumber daya. Negara boleh dan sah membunuh warga atas nama hukum.
Negara dan pemimpin negara memutuskan hal-hal besar, rencana kerja, yang dalam jangka panjang dan jangka pendek mempengaruhi hidup kita, mengubah nasib kita, ya kita bagian dari seluruh rakyat, seluruh warga negara.
Tapi dari mana kuasa itu berasal? Ini yang tak banyak disadari. Kuasa itu berasal dari kita, dari rakyat. Kita yang memberi atau lebih tepat meminjamkannya. Kedaulatan itu selamanya harus ada di tangan rakyat, di tangan kita. Itulah artinya daulat rakyat.
Ada yang mengait-ngaitkan kuasa itu dengan 'wahyu', seakan berasal dari Tuhan. Kuasa seakan bersumber dari kekuatan mistis. Itu menyesatkan, anakku. Sejak awal berdiri negara ini, sebagian bapak pendiri telah dengan keras mengingatkan pentingnya mengembangkan rasionalitas. Percaya pada mitos, berpegang pada hal-hal klenik bikin bangsa ini terlena, ratusan tahun dikangkangi bangsa asing itu bisa terjadi karena rasio bangsa ini seakan dipingsankan.
Gerakan nasional, kebangkitan nasional, tak lain adalah kebangkitan rasio.
Apa artinya dan apa perlunya terus-menerus mengingatkan agar kita menyadari hal itu?
Pertama, pilihan sistem politik, bentuk pemerintahan, adalah kesadaran mentransfer kekuasaan atau kedaulatan itu pada sekelompok orang yang kita sebut rezim, administrasi, atau pemerintahan. Presidenlah yang memimpin kerja pelayanan itu. Presiden melayani rakyat yang memilih dan tak memilihnya sang pemilik kedaulatan.
Kedua, karena itu kita yang mengawasi kerja presiden itu, kita mengawalnya, membelanya jika ada yang mengganggu, dan menegur jika ia melenceng. Apabila dia bekerja benar, itu memang seharusnya. Kita memilihnya karena kita percaya dia mampu memenuhi harapan kita, karena menjanjikan itu: bekerja dengan benar, dengan baik, dan tak menyalahgunakan kuasa yang kita berikan.
Ketiga, kita sudah melihat dan mengalami dikuasai rezim yang terlena dan mabuk kekuasaan. Presiden-presiden yang cemerlang pada awalnya, melenceng pada akhirnya, jatuh dari puncak kuasa karena tak bisa dan tak mau memperbaiki kesalahannya. Karena itu, kawan, jangan sampai dukungan kita membuat presiden yang kita pilih mabuk kuasa. Jangan sampai lahir lagi penguasa yang lupa bahwa kuasa di tangannya berasal dari kita, rakyat yang memilihnya.
Pengagum Sukarno, pemuja Soeharto, selama dan sesudah keduanya berkuasa banyak yang seakan buta bahwa dua manusia itu punya sisi brengsek juga.
Memang jasanya besar tak terbantah, tapi dari keduanya kita belajar bahwa kesadaran bahwa kuasa itu sesungguhnya ada di tangan kita, bisa mencegah kembalinya model penguasa seperti itu.
Baca sesempatnya, jangan menyita perhatianmu, jangan mengalihkan dari konsentrasimu menghadapi persiapan ujian akhir sekolah (negara tahun ini meniadakan ujian nasional), dan masuk perguruan tinggi.
Jakarta, 2021.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Metode Pengambilan Keputusan yang Rasional dalam Memilih Presiden
Selasa, 9 Maret 2021 06:46 WIBPembajakan Partai Demokrat dan Pendidikan Politik
Senin, 8 Maret 2021 06:51 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler