x

Pengendara melintas di depan mural (gambar dinding) tentang Pemilu 2019, di Jalan Samudera, Padang, Sumatera Barat, Selasa 12 Februari 2019. Mural tersebut mengajak warga untuk mensukseskan Pemilu pada 17 April 2019 dengan dengan berpartisipasi dan tidak \x22golput\x22. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 20 Maret 2021 20:33 WIB

Mengapa Rakyat Wajib Merawat Demokrasi

Demokrasi bukanlah sejenis bangunan yang mampu berdiri tegak selamanya dan mampu mempertahankan dirinya sendiri. Demokrasi yang sehat dan bermartabat harus selalu diikhtiarkan dan dirawat. Manakala institusi-institusi nyaris tinggal nama tanpa marwah, rakyatlah yang harus berjuang mempertahankan demokrasi dengan mengandalkan hati nurani, niat baik, serta nalar yang sehat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

‘Kekuasaan dan kedudukan seringkali membuat manusia meremehkan kebenaran.’

--George A. Smith (1817-1875)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Republik ini didirikan di atas dasar demokrasi berkeadilan, yang berarti bukan atas dasar siapa yang lebih kuat karena memenangi pemilu ataupun menjadi mayoritas di parlemen—yang kuat pun harus mampu bersikap adil. Pilihan atas demokrasi berkeadilan diyakini oleh para pejuang Republik ini sebagai cara untuk mengakurkan keragaman dengan yang besar dan kuat menghargai pandangan yang kecil dan lemah. Pilihannya bukan otoritarianisme, bukan kemaharajaan, bukan pula mayoritas-isme. Demokrasi dipahami sebagai jalan keadilan untuk memperjuangkan permufakatan di antara pandangan-pandangan yang beragam dengan memperhatikan aspirasi rakyat banyak.

Mengapa keadilan menjadi butir penting dalam demokrasi kita, mengapa permufakatan menjadi bagian tak terpisahkan, dan mengapa aspirasi rakyat harus disertakan? Keadilan dan permufakatan sejati wajib jadi pengingat, oleh karena demokrasi pun dapat menjadi jalan yang digunakan oleh ambisi otoritarian untuk mengubah tatanan demokratis maupun cita-cita demokrasi menjadi jalan otoriter. Ketika kekuasaan sudah dalam genggaman, ambisi otoritarian akan menggoda dengan tawaran yang menggiurkan, yang membuat penggenggamnya enggan melepaskannya. ‘Oooo, alangkah nikmat kuasa.’

Adolf Hitler adalah contoh konkret dalam sejarah yang memenangi pemilu Jerman lalu secara bertahap membangun jalan menuju pemerintahan otoriter. Hitler memanfaatkan isu rasisme untuk membangun nasionalisme rakyat Jerman dan untuk menjadikan dirinya sebagai pusat dari kekuasaan. Ambisi otoritarian bisa menjadikan isu-isu lain untuk tujuan yang sama: memusatkan kekuasaan di tangan sendiri. Aspirasi rakyat dianggap sebagai kembang-kembang penghias agar demokrasi terlihat seolah-olah masih berjalan.

Dalam situasi seperti itu, Hitler—juga ambisi otoritarian lainnya dalam sejarah di manapun dan kapanpun—selalu memperoleh pengikut yang kemudian menjadi kepanjangan tangan dan penyambung lidah. Mereka adalah orang-orang yang membonceng Hitler untuk ikut menikmati kekuasaan, dan karena itu mereka berkepentingan agar Hitler tetap bertahan, bila perlu dengan cara apapun. Ini bukan khas Hitler, tapi juga terjadi pada figur-figur historis manapun dan kapanpun; orang-orang seperti itu selalu saja dikelilingi oleh orang-orang yang ikut mendompleng agar bisa ikut menikmati kekuasaan.

Bangsa yang semula demokratis seperti Jerman kemudian takluk di bawah sepatu Hitler melalui proses demokratis serta jalan bertahap menuju otoriter. Ia berusaha menonjolkan karismanya dan merebut hati rakyat Jerman masa itu melalui isu rasisme. Secara bertahap ia mempreteli institusi-institusi yang berpotensi merintangi jalannya. Ia lemahkan parlemen dengan membangun sekutu sebanyak-banyaknya hingga menjadi mayoritas. Ia suguhkan santapan lezat pada orang-orang yang berambisi, namun ia ikat ekornya hingga menjadi jinak.

Begitulah demokrasi Jerman mengalami kemunduran secara bertahap. Rakyat kurang menyadari kemunduran itu karena narasi dihegemoni oleh puja dan puji kepada Hitler, dibanjiri oleh janji-janji kejayaan yang akan dinikmati bangsa Jerman sebagai ras yang tertinggi di Eropa, serta slogan-slogan yang diulang-ulang hingga memabukkan. Rakyat pun semakin kehilangan daya ketika mulai menyadari bahwa di antara mereka sendiri mulai timbul saling prasangka. Ketika rakyat mulai merasakan kemunduran demokrasi, ambisi otorian Hitler telah bergerak demikian jauh. Intitusi-institusi negara semakin lemah untuk mampu mengimbangi ambisi ini.

Pelajaran penting dari sejarah masa itu, bagi siapapun dan di manapun, ialah bahwa demokrasi bukanlah sejenis bangunan yang mampu berdiri tegak selamanya dan mampu mempertahankan dirinya sendiri. Demokrasi harus selalu diikhtiarkan, dijaga, dirawat, dipertahankan, dan dikembangkan hingga tumbuh seperti yang dicita-citakan bersama: demokrasi yang sehat, adil, jujur, bermartabat, serta bermanfaat bagi kebaikan rakyat banyak.

Manakala institusi-institusi nyaris tinggal nama tanpa marwah, maka rakyatlah yang harus berjuang mempertahankan demokrasi yang dicita-citakan dengan mengandalkan hati nurani, niat baik, serta nalar yang sehat. Inilah kekayaan batiniah yang wajib kita jaga untuk memperjuangkan demokrasi agar tidak dimanipulasi oleh ambisi otoritarian manapun dan kapanpun. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler