x

Field Officer ACTION Project, melaksanakan proses penaksiran awal dengan seorang warga Lombok Timur setempat.

Iklan

CISDI ID

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 September 2020

Rabu, 24 Maret 2021 08:02 WIB

Cerita dari Lombok Timur Tentang Pengendalian Wabah Covid-19 di Sana

Seperti halnya di wilayah lain yang terkena wabah Covid-19, Kabupaten Lombok Timur juga merasakan imbas buruk pandemi pada kesehatan masyarakat dan keadaan sosial-ekonomi setempat. Mendapatkan pendanaan penuh dari Uni Eropa, Hivos menginisiasi Proyek Active Citizens Building Solidarity and Resilience in Response to COVID-19 (ACTION) dengan tujuan memperkuat ketangguhan dan solidaritas masyarakat, terutama kelompok rentan dan terpinggirkan akibat COVID-19. Berikut adalah hasil penelusuran awal Field Officer CISDI di Lombok Utara mengenai penanganan Covid-19 di wilayah tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Field Officer ACTION Project, melaksanakan proses penaksiran awal dengan seorang warga Lombok Timur setempat. (Sumber gambar: Dok. CISDI)

Kabupaten Lombok Timur adalah wilayah pertama yang mengkonfirmasi keberadaan kasus Covid-19 di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Maret 2020. Seperti halnya wilayah lain di Indonesia yang terimbas wabah Covid-19, pandemi di NTB berdampak buruk tidak hanya pada kesehatan masyarakat, tetapi juga pada keadaan sosial-ekonomi wilayah tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karenanya, melalui pendanaan penuh Uni Eropa, CISDI, KAPAL Perempuan, PAMFLET, PUPUK, dan SAPDA melaksanakan Proyek Active Citizens Building Solidarity and Resilience in Response to COVID-19 (ACTION). Proyek yang diinisiasi oleh Hivos ini bertujuan untuk memperkuat ketangguhan dan solidaritas masyarakat, terutama kelompok rentan dan terpinggirkan akibat COVID-19.

Per 10 Januari 2021, Satuan Tugas Penanganan COVID-19 (Satgas) menyebut Lombok Timur menempati peringkat tertinggi ketiga di NTB dengan 646 kasus, bertambah sekitar 206 kasus dari Oktober 2020. Sementara, kematian kumulatif juga menempati peringkat tiga dengan 25 kematian di hari yang sama.

Dalam diskusi terarah yang dipandu oleh tim CISDI, beberapa kader kesehatan setempat membeberkan permasalahan yang dihadapi Lombok Timur. Kebiasaan masyarakat yang tidak patuh protokol kesehatan disebut sebagai salah satu persoalannya.

“Acara-acara sudah kembali normal (seperti sebelum pandemi),” ujar seorang kader kesehatan, Hanifah (49). Namun begitu, Hanifah juga mengakui beberapa tradisi adat mulai ditiadakan. “Contohnya Nyongkolan itu. Sudah tidak ada.” Nyongkolan adalah tradisi prosesi pernikahan Suku Sasak di Lombok berupa arak-arakan antara kedua pengantin.

Menurut Hanifah, terdapat sejumlah tokoh masyarakat di Lombok Timur yang berkomitmen menangani wabah dan menjadi kunci berhentinya beberapa tradisi. “Ada itu dari pemerintah desa, PKK, dan kader kesehatan (sosialisasi protokol kesehatan).”

Namun, penanganan wabah di Lombok Timur seperti situasi yang saling tarik menarik karena masih ada pihak-pihak yang menolak protokol kesehatan. “Ada pedagang di Pasar Montong Betok di Perian menentang (protokol kesehatan) karena mengganggu aktivitas ekonominya,” ujar Asmini, kader kesehatan lain. Situasi ini juga diperparah beberapa warga yang tidak suka melihat warga lain menggunakan masker.

“Kadang-kadang takut juga kena marah,” lanjut Asmini. Seingatnya, hingga saat ini belum ada langkah strategis menangani persoalan tersebut. Meski demikian, ia mengakui pihak puskesmas, satgas, dan kecamatan sudah berusaha sebaik mungkin merangkul orang-orang tersebut. “Yang di pasar itu, sekarang sudah baik karena diberi masker oleh kepala dusun.”

Perihal persoalan ekonomi, situasi pun terbilang pelik. Banyak ibu-ibu yang tidak bisa melaksanakan aktivitas ekonomi selama pandemi. Padahal, sebelum itu berbagai kegiatan pemberdayaan perempuan kerap dilakukan, semisal, pelatihan kerja untuk rias pengantin, tata boga, ataupun kelompok tani. “Ada perasaan sedih, tapi kami terima saja.”

Kini, kebanyakan warga hanya berharap pandemi cepat berakhir. Tantangannya, masyarakat perlu lebih sadar dengan protokol kesehatan. “Di sini kalau hanya batuk pilek masyarakat tidak mau berobat ke puskesmas,” ujar Lidya (49) kader PKK setempat. Padahal, Covid-19 memiliki gejala yang mirip dengan flu biasa dan pemeriksaan ke puskesmas dapat membantu deteksi kasus Covid-19.

Lidya menambahkan, seiring berjalan waktu kepatuhan warga menurun. “Ada tempat cuci tangan umum, tapi orang tidak mau menggunakan.” Sementara orang-orang tetap berkerumun, meskipun tahu hal itu berbahaya.

Sejauh ini, baik Hanifah, Asmini, maupun Lidya tetap menjalankan aktivitas seperti biasa, namun dengan mematuhi protokol kesehatan. Bagi mereka, imbauan 3M, pembuatan fasilitas cuci tangan, dan pendataan orang luar daerah belum cukup menghambat wabah.

“Kami sebagai perwakilan masyarakat juga terlibat aktif melalui musyawarah perencanaan dan pembangunan (musrenbang) tingkat desa bersama aktor lokal seperti pemerintah desa, Satgas COVID-19 dan banyak lagi,” ujar Lidya. Melalui forum itu, mereka berharap upaya penanganan wabah menjadi lebih efektif. “Kami pun siap mengusulkan kebutuhan masyarakat melalui dana desa. Bersama tim CISDI dan Proyek ACTION ke depannya kami siap berkolaborasi dalam berbagai pelatihan dan kampanye bersama,” tambahnya kembali.

 

Penulis: Amru Sebayang dan Ardiani Hanifa Audwina (CISDI)

 

Materi publikasi ini diproduksi dengan bantuan hibah dari Uni Eropa. Pendapat/pandangan yang dinyatakan dalam materi publikasi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab CISDI dan bukan mencerminkan pendapat/ pandangan Uni Eropa.

 

 

Ikuti tulisan menarik CISDI ID lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler