Pembatasan Sosial Mikro Diperpanjang, Hal-hal Ini yang Perlu Kita Perhatikan
Kamis, 15 April 2021 07:39 WIBSetelah melarang mudik lebaran, pemerintah memperpanjang pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro selama dua minggu ke depan, tepatnya hingga 19 April 2021. Dengan perpanjangan ini, PPKM Mikro telah memasuki jilid kelima penerapan setelah sebelumnya pertama kali diterapkan pada 9 hingga 22 Februari 2021 lalu. Apa yang perlu kita ketahui?
Pemerintah memperpanjang kembali penerapan PPKM Mikro hingga 19 April 2021. (Sumber gambar: Antara)
Setelah melarang mudik lebaran, pemerintah memperpanjang pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro selama dua minggu ke depan, tepatnya hingga 19 April 2021. Dengan perpanjangan ini, PPKM Mikro telah memasuki jilid kelima penerapan setelah sebelumnya pertama kali diterapkan pada 9 hingga 22 Februari 2021 lalu.
PPKM Mikro sebenarnya adalah bentuk lain dari PPKM. Penerapan PPKM Mikro adalah tindak lanjut dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang kecewa terhadap efektivitas PPKM Jawa Bali. Dalam periode implementasi, PPKM Mikro diterapkan pertama kali pada 9 hingga 22 Februari 2021 lalu. Jika PPKM diartikan sebagai pembatasan di tingkat kabupaten atau kota, PPKM berskala Mikro adalah pembatasan sosial pada tingkat lokal, mulai dari kecamatan, kelurahan, desa, hingga RT dan RW.
Penerapan PPKM Mikro didasarkan pada aturan zonasi Covid-19 di suatu daerah. Pemerintah menentukan kriteria zonasi berdasarkan jumlah rumah dalam satu RT atau penghuni rumah tersebut yang alami kasus positif selama tujuh hari terakhir.
Alasan Pemerintah?
Penerapan PPKM Mikro merupakan antitesis dari kurang maksimalnya PPKM. Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) Airlangga Hartarto menyebut, penerapan PPKM Mikro dinilai efektif lantaran mampu menurunkan presentase kasus aktif dan meningkatkan presentase kesembuhan. Menurutnya melalui PPKM Mikro, Indonesia berhasil menurunkan jumlah kasus harian, meningkatkan jumlah kesembuhan, dan menekan jumlah perawatan di rumah sakit. Namun, benarkah demikian?
Pernyataan Airlangga perihal penurunan kasus bermasalah lantaran beberapa hal. Pertama, perihal penurunan tingkat kasus harian kemungkinan besar terpengaruh jumlah tes yang sempat menurun. Pada rentang 13 Februari hingga 18 Februari 2021 terjadi tren penurunan tes yang begitu drastis.
Setidaknya, rata-rata tes harian hanya berkisar 24 hingga 26 ribu pada rentang tersebut. Padahal, untuk memenuhi target WHO 1 tes setiap 1.000 orang per hari, dengan populasi 270 juta manusia, dibutuhkan tes setidaknya untuk 40 ribu orang per hari. Penurunan jumlah tes juga terasa pada 20 hingga 21 Februari dengan kisaran tes 29 hingga 32 ribu.
Hal serupa terjadi pada rentang 27 Februari hingga 2 Maret pada kisaran 18 hingga 31 ribu tes. Logika sederhana ialah dengan sedikitnya orang yang dites, semakin sedikit pula kasus aktif yang ‘terungkap’ sehingga wajar ketika terjadi penurunan jumlah kasus selama periode PPKM Mikro
Kedua, sebagai upaya pembatasan jarak yang pada akhirnya menekan penularan sangat sulit menemukan signifikansi program ini. Data Google Mobility Report justru menampilkan kenaikan kunjungan wilayah perkantoran, pertokoan, transit transportasi, hingga pertamanan untuk wilayah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali selama penerapan PPKM dan PPKM Mikro.
Dua poin ini cukup untuk membantah kesan korelasi positif penerapan PPKM Mikro dengan laju penurunan kasus. Penurunan kasus disebabkan beragam variabel dan tidak bisa dikaitkan terbatas pada PPKM Mikro semata.
Strategi Penanganan Wabah
Strategi pembatasan seperti PPKM memiliki karakter yang khas, yakni berupaya mengendalikan mobilitas masyarakat dengan beragam imbauan pemerintah pusat, daerah, hingga lokal. Sebenarnya, poin ini bukanlah hal baru dan memang beberapa dokumen menjelaskan hal serupa, kendati menolak pembatasan jarak semata sebagai solusi tunggal penanganan wabah.
WHO sendiri menyiapkan dokumen bertajuk COVID-19 Strategic Preparedness and Response Plan for 2021 pada Februari lalu, sebagai acuan mutakhir dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan. Dokumen ini menekankan koordinasi pemangku kepentingan di tingkat nasional, regional, hingga global serta telah memperhitungkan tantangan terbaru penanganan wabah, seperti munculnya varian baru SARS-CoV-2.
WHO merumuskan sepuluh pilar penanganan wabah, salah satunya pilar pencegahan yang terkait erat dengan program pembatasan sosial, seperti PPKM Mikro. Apa yang perlu diperhatikan dalam pilar pencegahan ini? Pembatasan sosial perlu dipahami sebagai upaya meningkatkan surveilans, investigasi epidemiologis, pelacakan kontak, dan sebagai periode penyesuaian kondisi sosial dan kesehatan masyarakat.
Dari sepuluh pilar upaya penanganan wabah yang dianjurkan, WHO juga menempatkan pengendalian upaya infeksi bersamaan dengan perlindungan terhadap tenaga kesehatan. Alasannya sederhana, sebab upaya pencegahan, membatasi aktivitas, mencegah kerumunan, serta meningkatkan surveilans, bertujuan menekan potensi penularan dan ledakan kasus. Menghentikan ledakan kasus berarti mencegah sistem kesehatan kolaps dan tenaga kesehatan berguguran.
Demikian, sangat sulit melihat PPKM Mikro sebagai sebuah komitmen menguatkan sistem kesehatan. Selain karena klaim efektivitasnya menurunkan laju kasus masih diperdebatkan, program ini juga tidak menampilkan signifikansi terhadap tenaga dan pelayanan kesehatan.
Idealnya, upaya menurunkan jumlah kasus dilaksanakan beriringan dengan menguatkan sistem kesehatan, bukan sebagai klaim yang mampu menurunkan kewaspadaan masyarakat. Sebab, tidak ada satu orang pun yang aman, hingga semua orang aman.
Penulis
Amru Sebayang
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Lirih Asa Petani Tembakau, Kenaikan Cukai adalah Ancaman?
Senin, 31 Juli 2023 18:21 WIBTim UI Bantu Puskesmas Tanara Kendalikan Kemunculan PTM Melalui Pos Binaan Terpadu
Selasa, 21 September 2021 13:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler