x

Anak-anak di Tepi Sungai Yamuna, Old Delhi, India. Foto: Tulus Wijanarko

Iklan

tuluswijanarko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 16 April 2021 13:14 WIB

Catatan Perjalanan | Menyingkap Momen Puitik Delhi

Aku percaya untuk mengenal sebuah tempat baru mustahil bisa dilakukan hanya dengan memandangnya dari balik kaca kendaraan. Blusukan ke sebanyak mungkin tempat, bertemu banyak orang, merasakan udaranya, dan mencecap atmosfer sekitar, adalah cara terbaik berintim-intim dengan kota yang baru didatangi. Ini juga yang terjadi ketika saya berkunjung ke India beberapa tahun silam. Berikut catatan perjalanan tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hampir jam 10 malam ketika kami berdua melangkah keluar hotel menyusuri jantung New Delhi, awal Maret lalu. Udara malam begitu dingin, tapi kami memaksa diri meninggalkan kenyamanan kamar hotel demi mengenal kota ini. ”Kalau nggak nglayap, kita tidak akan mendapat apa-apa selama di sini,” kata seorang teman, wartawan senior sebuah harian di ibukota, sesaat sebelum berangkat tadi.

Ya, datang memenuhi undangan pemerintah India meliput konferensi dan pameran dagang bersama puluhan wartawan se- Asia Tenggara lainnya, sejumlah agenda ketat membatasi ruang gerak kami. Maka waktu luang yang sejatinya tak banyak mesti kumanfaatkan menjelajah Kota Delhi (baik New ataupun Old) yang sepertinya eksotis ini.

Aku percaya untuk mengenal sebuah tempat baru mustahil bisa dilakukan hanya dengan memandangnya dari balik kaca kendaraan. Blusukan ke sebanyak mungkin tempat, bertemu banyak orang, merasakan udaranya, dan mencecap atmosfer sekitar, adalah cara terbaik berintim-intim dengan kota yang baru didatangi. Rekan dari Jakarta itu berkeyakinan serupa. Kelak aku menyadari, Delhi seperti sudah bersiap menerima penjelajahan kami.

Malam itu kami menapaki sisi Delhi yang tak beda dengan kota-kota besar di dunia lain. Seruas Jalan Barakhamba yang kami susuri ini mengingatkanku pada Jalan MH Thamrin di Jakarta. Sebuah ruas jalan yang lebar dengan kedua sisinya berderet gedung-gedung tinggi perkantoran. ”Hanya saja lampu jalanan di sini tak seterang Thamrin,” kata sang rekan. Jalan ini akan berujung pada kawasan bisnis Connaught Place, tujuan kami malam itu.

Connaught Place adalah kawasan yang unik. Deretan pertokoan berjajar dalam blok-blok bangunan yang artistik. Secara bersama-sama, kumpulan blok itu mengelilingi Taman Kota (Central Park) dalam formasi lingkaran raksasa. Pilar-pilar kokoh yang menyangga selasar di setiap toko jika kulihat dari samping akan membentuk kurva yang mengesankan.

 

Setiap blok pertokoan dipisahkan seruas jalan yang menuju ke kawasan lain di Delhi—dengan percabangannya masing-masing. Dilihat dari atas tempat ini mungkin mirip jaring laba-laba. Aku merasa ini kawasan yang cukup enak untuk jalan-jalan –barangkali juga -- belanja, dibanding, katakanlah masuk ke mall.

Tetapi tak banyak toko yang masih buka pada sekitar jam 22.00 itu. Kelak aku mendapat informasi dari seorang staf Kedutaan Republik Indonesia bahwa Delhi memang senyap lebih cepat pada malam hari ketimbang Jakarta. ”Agak riskan berjalan malam hari di kota ini, banyak orang mabuk,” kata dia.

Tetapi tak terjadi apa-apa pada kami malam itu. Yah, memang ada saja pengemis yang gigih mengikuti sampai ia akhirnya yakin tak akan mendapat satu rupee pun dari kami. Atau pengamen seruling yang kemudian agak memaksa menawarkan alat musiknya untuk dibeli setelah kupotret. Tetapi hal-hal semacam ini kurasa juga terjadi di kota-kota besar lain di dunia (ketiga). Inilah modus survival dari mereka yang nasibnya tak beruntung.

 

Menyusuri Connaught Place akhirnya seperti menjadi gerbang pengenalanku pada Delhi selanjutnya. Sebuah Delhi yang berusaha berdamai dengan kontras-kontras dalam dirinya: antara tradisi dan kemoderenan, antara rasionalitas dan keyakinan-keyakinan transenden warganya, dan sebagainya.

Malam itu, di salah atu pojok blok, hidungku menghirup bau asap ratus di sela cafe temaram. Pandanganku juga bersirobok pada pengemis dengan luka bakar di sekujur tubuh, tak jauh dari keriaan muda-mudi mencecap suasana malam. Sebagian kaum hawanya terlihat indah dalam balutan kain sari. Untuk selingan, sempat kuhampiri penjual paan (semacam sirih) yang banyak diminati warga. Namun aku tak punya cukup nyali untuk mencobanya—ingatanku tentang sirih, adalah pada nenekku yang gemar nginang hingga bibir dan giginya tampak kemerahan.

Dari ”gerbang” Connaught Place, penjelajahanku lalu menjangkau beberapa tempat, seperti Sungai Yamuna, seruas jalan sempit nan sibuk tak jauh dari Masjid Jama, ke sebuah pasar tempat koloni orang-orang Tibet bertahan hidup, hingga ke Bentang Merah (Red Fort) peninggalan dinasti Mughal. Beberapa tempat yang menjadi landmark Delhi, seperti Istana Presiden dan India Gate, terpaksa hanya kulewati sepintas saja.

 

Tetapi tak ada penyesalan. Seorang staf KBRI, Sarjit Ali, dia orang India asli, berbaik hati mengantarkan kami ke tempat-tempat yang sebagian tak mungkin ada di brosur-brosur wisata. Kami memasuki sebuah pasar kumuh yang menjajakan berbagai tas dan konveksi tak jauh dari New Aruna Nagar tempat komplek pengungsi Tibet (Tibetan Refugee Colony). Kawasan ini, disebut Monastery alias Tibetan Market, mengingatkanku pada pasar-pasar tradisional di tanah air--sebuah tempat dengan banyak lorong dan kios.

Yang dijajakan di sini kebanyakan tas, sepatu, dan pakaian dengan harga miring. ”Barang-barang itu masuk dari Cina,” kata Ali. Hm, bukan hanya Tanah Abang yang diserbu barang Cina, pikirku. Sepertinya tak banyak orang asing blusukan ke sini. Para pedagang di sini kerap menyempatkan mengamati wajah Melayu kami.

 

Ini pasar yang cukup sibuk. Pengunjung lumayan banyak tertarik dengan harga yang miring. Kami menerobos keramaian hingga sampai ke pagar belakang. Dan begitu melintas pintu pagar, dipisahkan bantaran sungai berupa lahan yang cukup luas, terbentanglah Sungai Yamuna di hadapan kami. Inilah yang disebut sebagai ibu dari segala sungai di India. Inilah sungai yang dianggap suci oleh masyarakat di sini.

Melangkah di sepanjang bantaran sungai, merasakan atmosfer sekitar, begitu saja suasana batinku berubah. Aura spiritual menyergap bersama seluruh peristiwa yang terlihat di depan mata pada siang yang terik itu. Di bawah sebuah pohon kulihat bekas sesaji dengan dua arca kecil tergeletak—salah satunya kukenali sebagai Ganesha. Tak jauh dari situ selembar kertas bergambar ikut menjadi pelengkap sebuah ritus yang tampaknya belum lama dilakukan. Apakah mereka yang menaruh benda-benda ini menyimpan permohonan yang terkait dengan ilmu pengetahuan? Aku hanya bisa menebak.

 

 

Selanjutnya: Ditawari obat kuat lokal

Ikuti tulisan menarik tuluswijanarko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler