Catatan Perjalanan | Menyingkap Momen Puitik Delhi

Jumat, 16 April 2021 13:14 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku percaya untuk mengenal sebuah tempat baru mustahil bisa dilakukan hanya dengan memandangnya dari balik kaca kendaraan. Blusukan ke sebanyak mungkin tempat, bertemu banyak orang, merasakan udaranya, dan mencecap atmosfer sekitar, adalah cara terbaik berintim-intim dengan kota yang baru didatangi. Ini juga yang terjadi ketika saya berkunjung ke India beberapa tahun silam. Berikut catatan perjalanan tersebut.

Hampir jam 10 malam ketika kami berdua melangkah keluar hotel menyusuri jantung New Delhi, awal Maret lalu. Udara malam begitu dingin, tapi kami memaksa diri meninggalkan kenyamanan kamar hotel demi mengenal kota ini. ”Kalau nggak nglayap, kita tidak akan mendapat apa-apa selama di sini,” kata seorang teman, wartawan senior sebuah harian di ibukota, sesaat sebelum berangkat tadi.

Ya, datang memenuhi undangan pemerintah India meliput konferensi dan pameran dagang bersama puluhan wartawan se- Asia Tenggara lainnya, sejumlah agenda ketat membatasi ruang gerak kami. Maka waktu luang yang sejatinya tak banyak mesti kumanfaatkan menjelajah Kota Delhi (baik New ataupun Old) yang sepertinya eksotis ini.

Aku percaya untuk mengenal sebuah tempat baru mustahil bisa dilakukan hanya dengan memandangnya dari balik kaca kendaraan. Blusukan ke sebanyak mungkin tempat, bertemu banyak orang, merasakan udaranya, dan mencecap atmosfer sekitar, adalah cara terbaik berintim-intim dengan kota yang baru didatangi. Rekan dari Jakarta itu berkeyakinan serupa. Kelak aku menyadari, Delhi seperti sudah bersiap menerima penjelajahan kami.

Malam itu kami menapaki sisi Delhi yang tak beda dengan kota-kota besar di dunia lain. Seruas Jalan Barakhamba yang kami susuri ini mengingatkanku pada Jalan MH Thamrin di Jakarta. Sebuah ruas jalan yang lebar dengan kedua sisinya berderet gedung-gedung tinggi perkantoran. ”Hanya saja lampu jalanan di sini tak seterang Thamrin,” kata sang rekan. Jalan ini akan berujung pada kawasan bisnis Connaught Place, tujuan kami malam itu.

Connaught Place adalah kawasan yang unik. Deretan pertokoan berjajar dalam blok-blok bangunan yang artistik. Secara bersama-sama, kumpulan blok itu mengelilingi Taman Kota (Central Park) dalam formasi lingkaran raksasa. Pilar-pilar kokoh yang menyangga selasar di setiap toko jika kulihat dari samping akan membentuk kurva yang mengesankan.

 

Setiap blok pertokoan dipisahkan seruas jalan yang menuju ke kawasan lain di Delhi—dengan percabangannya masing-masing. Dilihat dari atas tempat ini mungkin mirip jaring laba-laba. Aku merasa ini kawasan yang cukup enak untuk jalan-jalan –barangkali juga -- belanja, dibanding, katakanlah masuk ke mall.

Tetapi tak banyak toko yang masih buka pada sekitar jam 22.00 itu. Kelak aku mendapat informasi dari seorang staf Kedutaan Republik Indonesia bahwa Delhi memang senyap lebih cepat pada malam hari ketimbang Jakarta. ”Agak riskan berjalan malam hari di kota ini, banyak orang mabuk,” kata dia.

Tetapi tak terjadi apa-apa pada kami malam itu. Yah, memang ada saja pengemis yang gigih mengikuti sampai ia akhirnya yakin tak akan mendapat satu rupee pun dari kami. Atau pengamen seruling yang kemudian agak memaksa menawarkan alat musiknya untuk dibeli setelah kupotret. Tetapi hal-hal semacam ini kurasa juga terjadi di kota-kota besar lain di dunia (ketiga). Inilah modus survival dari mereka yang nasibnya tak beruntung.

 

Menyusuri Connaught Place akhirnya seperti menjadi gerbang pengenalanku pada Delhi selanjutnya. Sebuah Delhi yang berusaha berdamai dengan kontras-kontras dalam dirinya: antara tradisi dan kemoderenan, antara rasionalitas dan keyakinan-keyakinan transenden warganya, dan sebagainya.

Malam itu, di salah atu pojok blok, hidungku menghirup bau asap ratus di sela cafe temaram. Pandanganku juga bersirobok pada pengemis dengan luka bakar di sekujur tubuh, tak jauh dari keriaan muda-mudi mencecap suasana malam. Sebagian kaum hawanya terlihat indah dalam balutan kain sari. Untuk selingan, sempat kuhampiri penjual paan (semacam sirih) yang banyak diminati warga. Namun aku tak punya cukup nyali untuk mencobanya—ingatanku tentang sirih, adalah pada nenekku yang gemar nginang hingga bibir dan giginya tampak kemerahan.

Dari ”gerbang” Connaught Place, penjelajahanku lalu menjangkau beberapa tempat, seperti Sungai Yamuna, seruas jalan sempit nan sibuk tak jauh dari Masjid Jama, ke sebuah pasar tempat koloni orang-orang Tibet bertahan hidup, hingga ke Bentang Merah (Red Fort) peninggalan dinasti Mughal. Beberapa tempat yang menjadi landmark Delhi, seperti Istana Presiden dan India Gate, terpaksa hanya kulewati sepintas saja.

 

Tetapi tak ada penyesalan. Seorang staf KBRI, Sarjit Ali, dia orang India asli, berbaik hati mengantarkan kami ke tempat-tempat yang sebagian tak mungkin ada di brosur-brosur wisata. Kami memasuki sebuah pasar kumuh yang menjajakan berbagai tas dan konveksi tak jauh dari New Aruna Nagar tempat komplek pengungsi Tibet (Tibetan Refugee Colony). Kawasan ini, disebut Monastery alias Tibetan Market, mengingatkanku pada pasar-pasar tradisional di tanah air--sebuah tempat dengan banyak lorong dan kios.

Yang dijajakan di sini kebanyakan tas, sepatu, dan pakaian dengan harga miring. ”Barang-barang itu masuk dari Cina,” kata Ali. Hm, bukan hanya Tanah Abang yang diserbu barang Cina, pikirku. Sepertinya tak banyak orang asing blusukan ke sini. Para pedagang di sini kerap menyempatkan mengamati wajah Melayu kami.

 

Ini pasar yang cukup sibuk. Pengunjung lumayan banyak tertarik dengan harga yang miring. Kami menerobos keramaian hingga sampai ke pagar belakang. Dan begitu melintas pintu pagar, dipisahkan bantaran sungai berupa lahan yang cukup luas, terbentanglah Sungai Yamuna di hadapan kami. Inilah yang disebut sebagai ibu dari segala sungai di India. Inilah sungai yang dianggap suci oleh masyarakat di sini.

Melangkah di sepanjang bantaran sungai, merasakan atmosfer sekitar, begitu saja suasana batinku berubah. Aura spiritual menyergap bersama seluruh peristiwa yang terlihat di depan mata pada siang yang terik itu. Di bawah sebuah pohon kulihat bekas sesaji dengan dua arca kecil tergeletak—salah satunya kukenali sebagai Ganesha. Tak jauh dari situ selembar kertas bergambar ikut menjadi pelengkap sebuah ritus yang tampaknya belum lama dilakukan. Apakah mereka yang menaruh benda-benda ini menyimpan permohonan yang terkait dengan ilmu pengetahuan? Aku hanya bisa menebak.

 

 

Selanjutnya: Ditawari obat kuat lokal

<--more-->

Beruntung, setelah sesaat berjalan aku melihat satu keluarga tengah mengadakan ritual di tepi sungai. Seorang laki-laki yang tampaknya pemimpin keluarga, memimpin doa-doa seraya memegang sesaji yang dikemas dalam sebuah tempat. Anggota keluarga lainnya duduk takzim di selembar tikar.”Mereka sedang memohon agar terhindar dari mara bahaya,” kata Ali. Sesat kemudian, sesaji itu dilarung seperti berharap agar nasi buruk enyah dari keluarga ini.

Aku mencoba berkenalan dengan anak-anak yang mendekatiku usai ritual itu. Tampaknya mereka ingin sekali dipotret. Mereka enggan menjawab ketika kutanya soal upacara yang barusan dilakukan, api tak keberatan menyebutkan namanya, ”Aku Rahul, ini Dilep dan Jonu,” kata salah satu diantaranya.

Mereka tidak tinggal di sekitar sungai ini. Ali menyebut sebuah nama kampung di seberang Yamuna yang kedengarannya aneh di telingaku. Benar, sesaat kemudian keluarga itu menumpang perahu dan menyeberang sungai untuk pulang ke rumah.

Lalu aku takjub oleh visual yang terpampang ketika perahu itu melintas persis di bawah jembatan Lala Hardev Sahai Marg. Pada ayunan perahu yang melaju pelan, aku seperti melihat sebuah harapan yang tak henti meniti riak kehidupan.Jika fragmen di siang terik ini kutuliskan kedalam sebuah puisi, mungkin bunyinya seperti ini:  

Setiap embusan angin bagai melempar nasib buruk ke tepi doa yang rawan/ gemetar dihantar ke perbatasan/ telah ditautkan mantra milik masa silam/ telah ditautkan segala kejadian kuasa alam/ sebab Yama menyimpan setiap alamat/ sedang dayung mengayuh segala luka....

Di setiap perjalanan yang kulakukan, momen-momen puitik macam itulah yang selalu membekas lama dalam kenangan. Dan, Delhi kurasa demikian murah hati menyediakannya kepadaku. Hal itu kutemui, baik ketika menyusuri jalan-jalan di kawasan New Delhi, dan terlebih lagi saat menjelajah di distrik-distrik area Old Delhi.

Di suatu sore yang dingin, misalnya, aku ”terjebak” dalam keriuhan sebuah jalan sempit tak jauh dari Masjid Jama. Kalau tak salah nama tempat ini Chawri Bazar Road. Di ruas jalan yang tak cukup untuk dua mobil ini suasana demikian crowded. Kios pedagang berderet di kiri-kanan jalan, gerobak-gerobak kaki-lima, pengunjung yang memenuhi lintasan, dan rickshaw yang berkelebat lincah di tengah lautan manusia. Aku merasakan setiap orang di kawasan yang, ”100 persen penghuninya orang muslim,” kata Ali, ini, begitu mengairahkan.

Kami susuri kawasan sepanjang sekitar 1,5 kilometer ini bolak-balik, dan kucecap daya hidup yang meruyakdi jalanan tak jauh dari masjid peninggalan Dinasti Mughal abad 17 itu. Daya hidup yang berdenyut dari para pedagang, penarik rickshaw, para santri, penjual makanan, dan lain-lain. Di depan sebuah toko aku dikenalkan Ali pada Hasmi, seorang terapis kesehatan pria. ”Jika ada masalah seksual, katakan saja padaku,” kata Hasmi blak-blakan sedetik setelah kami salaman. Ali kulirik menahan senyumnya.

Jika sore itu seperti ada api menghangatkan jiwaku, bukan karena tawaran Hasmi. Tetapi secuil percakapan dengan Sarjit Ali ditengah keriuhan jalanan ini. Sempat kutanyakan apakah ia sudah naik haji, ia menggeleng pelan seraya mengatakan semua saudara dan orang tuanya sudah berhaji. Kutepuk bahunya dan kukatakan semoga ia segera bisa menjalankan ibadah yang menjadi impian setiap muslim tersebut.

Sejurus kemudian giliran aku menggelengkan kepala ketika ia balik menanyakan hal yang sama. Ia lalu menggenggam erat tanganku dan bergumam pelan,”Aku berdoa untukmu, brother.” Jalanan masih riuh, dan kurasakan tenggorokanku sedikit tercekat. Ini lebih dari sekedar puisi. Ini adalah doa.

Kami mengakhiri perjalanan sore itu di sebuah mushala kecil di sudut Old Delhi. Kurasa aku tahu persis doa apa yang akan kupanjatkan kali ini...

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
tuluswijanarko

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler