Catatan Perjalanan | Menelusuri Tiga Wajah Mumbai

Rabu, 21 April 2021 22:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah Mumbai yang terbentuk oleh dua wajah bertolak belakang namun hadir sejajar: kemakmuran menyolok di satu sisi, dan kemiskinan papa di sisi lainnya. Diantara itu ada kriket yang menautkan spirit seluruh orang India. Lalu apakah wajah yang ketiga? Berikut serpihan catatan perjalanan saya ke Mumbai tahun 2011 silam. Mungkin keadaan sekarang sudah banyak perubahan. Oh ya sempat juga diajak mlipir ke kediaman bintang Bollywood: Shahrukh Khan.

Sonu mengambil bola kriket dari tanganku, dan bersiap melakukan lemparan terbaiknya. ”Look at me,” katanya sambil mulai konsentrasi. Dia ingin memberi contoh bagaimana membuat lemparan yang benar dalam olah raga paling populer di India ini.

Aku berusaha menghormati usaha remaja belasan tahun itu dengan cara menyimak serius aksinya. Tadi baru saja kucoba membuat lemparan yang ternyata buruk sekali. Bola tidak memantul keras di depan pemukul, tetapi meluncur deras di atas tanah. Tentu saja ini sebuah kesalahan dalam kriket.

 

Saat itu siang cukup terik. Namun langit di atas kawasan Bandra, Mumbai, ini begitu cerah membuat setiap orang terlihat bersemangat. Tadi aku mencoba bergabung dengan para remaja yang tengah asyik bermain kriket di sebuah taman pinggir pantai itu. Sebagian dari mereka adalah penghuni perkampungan miskin di bagian bawah taman ini. Sebuah perkampungan yang langsung bersentuhan dengan garis pantai.

Tampaknya mereka tidak keberatan aku bergabung. “Are you, Malaysian?” tanya salah satu diantaranya. Entah kenapa, pertanyaan itulah yang selalu menyapa dari warga setempat selama kunjunganku ke India ini. “No, I’m Indonesian.”

Kulirik Sonu yang sudah mengambil ancang-ancang. Diangkatnya bola dengan tangan kiri setinggi dagu. Tangan kanannya membantu menahan bola berwarna coklat kehijauan itu. Lalu, wush! Ia berlari kencang dan pada saat yang tepat melemparkan bola dengan pantulan keras di depan pitcher yang berusaha memukul benda bulat itu. Tap!

Sebuah pukulan yang bagus. Bola melayang jauh melintasi jalan raya. Semua bersorak. Lalu bola mendarat persis di salah satu gerbang halaman rumah mewah di seberang jalan. Dengan tinggi kira-kira dua meter, gerbang besi warna coklat terang itu terlihat kokoh melindungi bungalow mengkilap dibaliknya. ”You know, that is Shahrukh Khan’s House,” kata Sonu seperti ingin memberitahukan sebuah rahasia besar.

Aku tahu itu. Tadi, Anil Pandi, warga New Delhi yang menemani lawatanku di India, dan mengantarku ke kawasan ini, sudah menginformasikan kepadaku. Rumah pangeran Bollywood itu kulihat setidaknya menjulang setinggi lima lantai—aku tak tahu pasti karena pagar yang tinggi hanya menyisakan pandangan pada empat lantai teratas. Persis di samping pintu gerbang tertera nama bangunan itu: Mannat, dan dibagian bawah ditambahi tulisan: Lands End.

 

Mannat menjadi bagian dari blok super mewah di kawasan tersebut. Di kiri-kanan istana milik pemeran utama film My Name Is Khan itu, berdiri bangunan yang ”sekasta” dengan Mannat. Sebuah area yang dipenuhi properti mengkilap, tinggi, dan terasa dingin

Tiba-tiba aku merasa fragmen yang baru saja kualami ini demikian efektif menyodorkan sketsa Mumbai pada persepsiku. Sebuah Mumbai yang terbentuk oleh dua wajah bertolak belakang namun hadir sejajar: kemakmuran menyolok di satu sisi, dan kemiskinan papa di sisi lainnya. Lalu ada kriket yang menautkan spirit seluruh orang India.

Wajah Sonu dan Sahrukh Khan seperti saling menggantikan melipir di benakku. Pikiranku juga terbelah antara ”Komplek Mannat” dan perkampungan kumuh di bibir pantai yang hanya dipisahkan seruas jalan dan sebidang taman ini. Perkampungan itu terdiri dari dua deretan panjang gubung yang saling berdempet dan berhadapan. Ada yang beruntung terbuat dari batu-bata tanpa plester semen, sedang sisanya hanya mampu membikin atap asebes disangga dinding kayu.

Di mulut perkampungan sempat kulihat seorang ibu merebus sesuatu persis di depan gubuknya. Anaknya bebas bermain dimana saja. Di atas kepalanya tersampir centang-perenang jemuran tak beraturan. Ia memalingkan muka ketika kameraku mengarah ke kampungnya...

Aku ingat, sepanjang perjalananku tadi dari kawasan Church Gate tempat aku menginap, hingga ke Bandra ini banyak sekali pemandangan kontras macam itu kutemui. Satu diantaranya terlihat di ujung Bandra Worli Sea Link—jembatan panjang melintang di atas perairan Laut Arab yang menghubungkan Airoli di area Prabhadevi dan Mulund di Bandra. Sebelum masuk jembatan, di kejauhan kulihat perkampungan kaum miskin bagai kubus bertumpuk-tumpuk, yang terpaku di bawah tiga atau empat gedung pencakar langit.

Di jalanan, mirip di Jakarta, pengemis dan pengamen terselip diantara mobil-mobil mengkilap—produksi dalam negeri maupun keluaran Jepang atau Eropa. Mereka tak segan lekat menempelkan wajahnya di kaca mobil, menawar belas kasihan penumpang di dalamnya.

Aku setengah mengeluh dalam hati: apakah akhirnya harus kutemui Mumbai seperti yang kubyangkan sebelumnya? Saat mendarat di airport Chatrapati Shivaji International Airport Mumbai sehari sebelumnya, citra yang tertanam di benakku tentang kota ini terbentuk dari serpihan-serpihan pengetahuan berikut: kegemilangan kerajaan film Bollywood, tentang ibu kota industri keuangan India, tentang terorisme kota yang pernah memboyak pada 2008, dan dikompliti kesan dari sebuah karya sinema berjudu Slumdog Milionaire. Inilah film yang mengisahkan belitan rumit antara takdir dan spirit dari rawa-rawa kemiskinan Mumbai. Dengan semua itu samar-samar aku membayangkan sebuah kota yang bergegas dengan latar panorama yang terbentuk oleh sapuan warna cerah dan kusam sekaligus.

Selanjutnya: Keramahan warga Mumbai

<--more-->

Tetapi begitu bus yang membawaku meninggalkan bandara mulai bergerak, aku berusaha membebaskan benakku dari stereotip apa pun. Kukerahkan pancaindera untuk mencerap apa saja yang kutemui di kota yang dulu bernama Bombay ini. Dari mulai merasakan iklim yang lebih panas ketimbang New Delhi, misalnya, hingga ikhtiar memahami ritme kehidupan warga Mumbai yang konon datang dari seluruh penjuru India ini.

Nyatanya, aku gagal mengelak dari ”kutukan” stereotisasi di atas. Destinasi pertamaku setelah sekitar 40 menit meninggalkan bandara adalah mengunjungi kantor bursa komoditi MCX (Multi Commodity Excahnge) di kawasan Chakala, Andheri East. Jangan bayangkan, kantor yang mengelola perdagangan komoditi senilai 9-11 Miliar Dolar AS per hari ini terletak di sebuah pusat bisnis nan megah laiknya Jakarta Stox Exchange yang magrong-magrong di jantung Jakarta itu.

Tidak, kantor ini terletak di tepi jalan—yang mengingatkanku pada seruas jalan kecil di pojok Tanah Abang, Jakarta. Jalan di depan kantor ini hanya pas untuk dua kendaraan saling berpapasan. Dan, lalu lalang auto-rickshaw dan truk-truk menunjukkan dimana kelas jalan ini.

Di seberang kantor, kulihat bangunan kumuh seperti tempat pergudangan tak terawat. Itu semua kontras sekali dengan apa yang berlangsung menit demi menit di dalam kantor. Para profesional nan wangi sigap menekan-nekan keyboard untuk mendenyutkan 80 persen perdagangan komoditi India dengan dukungan teknologi canggih. Maka inilah kenyataan Mumbai. Ibukota Negara Bagian Maharashtra ini telah menorehkan tanda tangan-nya dengan tegas tentang citra ”Kota Dengan Dua Wajah” di dalam benakku--bahkan mungkin pada jam pertama kunjunganku ke kota ini.

Mumbai berasal dari kata Mumbadevi, yakni dewa pelindung kaum nelayan Koli—penduduk tertua di sini. Ini adalah kota dengan sejarah yang bisa ditarik hingga masa 1000 tahun sebelum Masehi. Benih-benih yang kelak menjadikan Mumbai berkembang menjadi kawasan perdanganan dan industri ini sudah tertanam sejak masa 4 abad sebelum Masehi. Saat itu penduduk Pulau Salsette, tempat Mumbai ini berada, sudah menjalin hubungan dagang dengan orang-orang Persia, Mesir, dan Babylon,

Berbagai kekuatan pernah menguasai wilayah ini, mulai dari Kerajaan Mauryan yang dipengaruhi Budha hingga Portugis dan terakhir Inggris. Pengaruh para penakluk itu jejaknya masih bisa diendus hingga kini, salah satunya, lewat berbagai arsitektur bangunan yang masih terawat baik. Bangunan bergaya Viktorian dan Gothic masih cukup banyak ditemui di penjuru kota. Hal itu terutama terlihat pada bangunan-bangunan publik seperti pengadilan, stasiun, museum, perpustakaan, kantor pos, bank, dan lain-lain. Salah satu ikon-nya adalah Stasiun Chhatapati Shivaji Terminus yang mengendalikan jaringan kereta api di kota ini.

Sejak 1971 kota ini berkembang menjadi The Greater Mumbai setelah 14 kota kecil (yang disebur Node) di sekitarnya diintegrasikan dengan jaringan transportasi yang efisien. Di setiap node itu dibangun fasilitas lengkap mulai dari kesehatan, pendidikan, agama, budaya, dan rekreasi.

Tentu saja seluruh pengetahuan historis itu kuketahui belakangan. Aku membacanya dari buku yang kubeli dari toko buku di kawasan Colaba Couseway yang sibuk. Tetapi sejarah hanya akan berhenti sebagai teks yang dingin begitu kitab ditutup. Sejarah baru akan terasa memiliki darah-daging jika ada upaya mencerna setiap jejak yang ditinggalkan--juga terhadap kota yang tegak di pinggir Laut Arab ini. Itu artinya aku harus nglayap, menemui banyak orang, mendatangi sebanyak mungkin sudut-sudut Mumbai, memasuki atmosfer-nya seintim mungkin.

Sebelum sampai ke Bandra, hari sebelumnya aku lebih dulu berkanalan dengan Narriman Point. Inilah kawasan bisnis dan perdagangan, yang ditandai dengan deretan pencakar langit persis di bibir pantai. Hm, kini aku mahfum kenapa orang-orang India membanggakan kawasan ini mirip Manhattan, New York. Jika anda berdiri persis di kawasan pejalan kaki dengan posisi laut berada di samping tubuh, pandangan akan bersirobok dengan garis pantai yang membentuk kurva sejauh mata memandang. Di bibir kurva itulah –kawasan ini disebut Marine Drive-- barisan pencakar langit trek-jentrek (Jawa: berderet-deret) hingga ke ujung.

Jika dilihat dari udara, area ini mungkin seperti ibu jari dan telunjuk yang membentuk formasi cakar atau setengah lingkaran. Sebuah formasi yang persis sama dengan kawasan Prabhadevi (sebagai ibu jari) dan Bandra (telunjuk) yang dihubungkan dengan sebuah Sea-Link di kedua ”ujung jari”-nya.

Beraktivitas di Marine Drive saat matahari terbit tampaknya semacam charge bagi warga Mumbai memulai hari. Seribu macam aktivitas relaksasi dilakukan orang-orang di di pedestrian. Disela pohon palem nan hijau atau ditingkah merpati hitam yang kadang tak segan hinggap mendekat, mereka jogging, jalan kaki, yoga, atau sekadar bercengkarama di tanggul yang membatasi trotoar dan pantai.

Seorang pernah mengatakan kepadaku karakter warga Mumbai adalah energik dan ambisius. Barangkali karena tersugesti itu rasanya tak kutemukan wajah-wajah kuyu dari kaum profesional saat pulang kantor sore hari. Berjalan kaki menyusuri Jalan Mahatma Gandi, lalu memotong ke kiri di Jalan Shahid Bagat untuk terus ke The Gateway Of India di Appolo Bandar, aku berpapasan dengan wajah-wajah kantoran yang tetap segar itu. Barangkali sebagian dari mereka sempat bertemu denganku di Marine Drive pagi tadi.

Dan, mereka adalah orang-orang yang cukup hangat. Setidaknya mereka akan menghentikan langkah bergegasnya untuk menerangkan arah sejelas mungkin saat kutanyakan jalan menuju Gerbang India yang selesai dibangun pada 1957 itu. Pada malam lain, saat tersesat di kawasan Colaba Couseway dan hendak kembali ke hotel, seorang perempuan yang kutanya tak segan menerangkan pilihan yang kuhadapi, ”Jika jalan kaki anda memerlukan waktu satu jam, dan jika naik taksi hanya butuh 15 menit. Biaya tak akan lebih dari 30 rupee,” katanya. Lalu ia membantu menyetop taksi dan berbicara pada pengemudi dalam bahasa Hindi—yang kutaksir artinya antarkan turis ini dan jangan permainkan argomu.

 

Kehangatan serupa kutemukan saat para petinggi di MCX menerima kunjungan saya dan beberapa jurnalis dari ASEAN kemarin. Managing Director dan CEO MCX Lamon Rutten dan para wakilnya tak kelihatan jemu melayani diskusi dan mengantarkan kami meninjau bagian-bagian terpenting kantor ini.

Di Colaba Cousway, kawasan shopping teramai Mumbai, tentu saja kehangatan para pedagang di sana sedikit banyak terkait dengan transaksi yang kita lklukan. ”Are you happy,” tanyaku pada seorang pedagang cindera mata ketika kami menyepakati harga pada 50 persen dari penawaran awal. Ia mesem saja. Toh, aku tetap senang ketika melintas di sana lagi pada hari lain pedagang itu masih mengingatku dan memberikan salam tos-nya. Kali ini tak kurasakan motif jualan pada sapaannya.

Siang ini kutemukan kehangatan itu pada Sonu dan teman-temannya. Ia banyak cerita tentang berbagai hal termasuk Shahrukh Khan yang ia sebut sebagai ”good actor, and good man.” Dan kami lalu berpisah dengan salam khas kriket: menumbukan ringan tinju kami masing-masing.

Kurasa, aku akhirnya menemukan wajah ketiga Mumbai tanpa aku sibuk mencarinya, ialah kehangatan warganya pada orang asing. Setidaknya itu terlihat pada sebagian besar orang-orang yang kutemui.

*) Naskah pernah ini dimuat di majalah U Mag (edisi April 2011)
Foto-foto: Tulus Wijanarko

Bagikan Artikel Ini
img-content
tuluswijanarko

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler