x

Iklan

Mizan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Oktober 2019

Selasa, 1 Juni 2021 06:53 WIB

Ironi Alutsista Dibiayai Utang

Negara akan melakukan peremajaan alutsista secara marathon. Melalui perpres Alpalhankam, peremajaan alutsista ditanggung APBN melalui utang asing. Rencana utang asing tersebut sebesar 124.995.000.000 US dollar atau Rp 1,7 kuadrilliun. Bagaimana konsekwensi dari pembiayaan alutsista menggunakan utang ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)

Pemerintah melalui Kemenhan akan melakukan peremajaan alutsista secara marathon. Anggaran yang dibutuhkan sekitar 124.995.000.000 US dollar atau Rp 1,7 kuadrilliun. Lantas dari mana pendanaan sebesar itu?

Menurut Perpres Alpalhankam (Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan) pasal 6 ayat 1 dinyatakan bahwa pendanaan pengadaan Alpalhankam itu menjadi beban APBN melalui utang asing. Jadi melakukan utang merupakan amanat yang legal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari sekian utang tersebut, bunga utangnya sebesar 13.390.000.000 US dollar. Pembayaran bunga utang selama 5 renstra dimulai dari periode 2020-2024.

Padahal berdasarkan data BI, cadangan devisa Indonesia ada senilai 137 Milyar US dollar per Maret 2021, turun dari nilai 138 milyar US dollar. Penurunan ini dikarenakan adanya cicilan utang dan bunga yang jatuh tempo pembayarannya. Nilai cadangan devisa yang tersisa tersebut diklaim masih aman untuk membiayai impor selama sekitar 10 bulan, termasuk mengkover pembayaran utang luar negeri pemerintah. Padahal utang pemerintah tidak hanya dari luar negeri tapi juga dari utang dalam negeri melalui mekanisme PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri).

Utang luar negeri pemerintah sudah tembus pada angka Rp 6000 trilyun. Belum lagi utang untuk pengadaan Alpalhankam.

Lagi-lagi beban utang yang semakin menumpuk hanya menjadi beban bangsa ini dalam melunasinya. Betapa tidak. Pemasukan utama kas negara berasal dari pajak. Sementara itu rasio pajak hanya bertengger di angka 11 persen. Lantas solusi yang diambil adalah dengan menaikkan nilai pajak tertentu dan memperluas spektrum komoditas terkena pajak. Ambil contoh adalah kenaikan Ppn suatu produk. Tentunya hal ini hanya akan menambah beban hidup bagi rakyat luas. Mekanisme Ppn sebenarnya merupakan cara produsen membayar pajak yang dikenakan pada konsumen.

Belum lagi ada pengenaan pajak pada ATM. Cek saldo dan penarikan uang via atm terkena pajak. Sementara itu penggunaan atm sekarang ini menjadi kebutuhan bagi setiap transaksi di tengah-tengah masyarakat.

Dalam skala besar, utang bisa menjerumuskan negeri ini ke dalam jebakannya. Negara dan lembaga pendonor akan memiliki power untuk memberikan syarat kebijakan terhadap negara kreditur. Kebijakan pencabutan subsidi BBM di dalam negeri menjadi bagian intervensi IMF. Bahkan kompensasi utang bisa berupa aset kekayaan bangsa. Gubernur Kalteng sendiri bersedia untuk membayar utang negara dengan kompensasi SDA yang tersedia di daerahnya. Pernyataannya ini terkait dengan proses IKN (Ibukota Negara) yang baru.

Bukan rahasia lagi bila SDA menjadi kompensasi utang. Sebagai contoh, Filiphina sendiri dalam OBOR mendapat jatah utang 12 milyar US dollar hingga 24 milyar US dollar. Akhirnya pemerintah Filiphina membatalkan perjanjian dengan China. Filiphina kuatir bila tidak bisa melunasi utang, maka China akan mengambil aset kekayaannya.

Demikianlah utang akan menjerat bangsa dan negeri yang berutang. Apalagi alutsista bukanlah sebuah proyek produktif yang bisa dipakai guna menambah devisa. Justru yang ada pengadaan alutsista menjadikan negara harus merogoh kocek yang dalam guna melunasi utang, bunganya dan dalam perawatannya.

Sementara itu dari aspek pengadaan alutsista melalui pembelian ke negara lain. Ironis memang. Sudah utang, alutsistanya membeli dari negara lain. Ini artinya alutsistanya harus ikhlash untuk mendapatkan alutsista yang apkir. Tidak mungkin negara produsen alutsista menjual alutsista tercanggih dan terbarunya kepada negara lain. Itu namanya bunuh diri secara politik. Justru dengan menjual alutsista terkininya sama saja telah memperkuat hankam negara lain yang di waktu mendatang berpotensi menjadi musuhnya dalam sebuah konfrontasi fisik.

Bahkan dalam ketentuan Islam sendiri, hukumnya haram menjual alutsista yang bisa memperkuat negara kafir harbi hukman. Negara kafir harbi hukman adalah negara kafir yang tidak memerangi umat Islam. Akan tetapi konstelasi politik internasional itu dinamis. Jadi sangat terbuka peluang negara harbi hukman tersebut berubah menjadi harbi fi'lan yang memerangi umat Islam. Pendek kata membeli alutsista dari negara lain sama saja hankam dalam negeri dikendalikan oleh negara lain.

Jadi tidak mengherankan bila Indonesia tidak mampu menjaga kedaulatan wilayahnya dengan baik. Pada tahun 2003, Pulau Bawean disatroni oleh pesawat F-18 Hornet AS. Saat itu Indonesia mengejarnya menggunakan pesawat F-16 produksi AS juga. Lantaran speknya tertinggal, justru yang terjadi pesawat patroli RI tersebut terkena missil lock.

Bahkan tatkala Indonesia berencana akan membeli Sukhoi-35 sebanyak 11 unit, Rusia sebagai prosdusen sudah merilis pesawat sukhoi terbarunya yakni Sukhoi 57E. Rencananya Sukhoi 57E inu akan dilaunching tahun 2022. Sukhoi 57E ini diklaim mampu dengan mudah membunuh F-35 Lighnting II milik AS tatkala bertanding satu lawan satu.

Sebelumnya Indonesia harus merelakan untuk mengakuisisi Eurofighter Thyphon bekas dari Austria. Hal ini terjadi menyusul adanya desakan dari AS guna Indonesia membatalkan akuisisi pesawat dari Rusia. Menyusul Sukhoi 35 yang akan dibeli Indonesia, AS menawarkan helikopter F-16 versi terbarunya. Akhirnya deal Indonesia akan memesannya sebanyak 8 unit.

Indonesia akan seterusnya berada dalam orbit penjajahan negara-negara besar. Demokrasi yang bercokol menjadi semacam alat legitimasi bagi negara imperialis memberikan tekanan-tekanan politik dan ekonominya. Tatkala dalam persoalan alutsista saja belum bisa mandiri, hal ini bisa dipahami bahwa semua bidang baik itu politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan lainnya, masih terkooptasi oleh imperialisme. Negara-negara miskin dan termasuk yang berkembang hanya akan menjadi konsumen bagi pasar besar dalam pergulatan ideologi, politik dan kepentingan negara-negara yang dominan di kancah pergaulan internasional.

# 30 Mei 2021

Ikuti tulisan menarik Mizan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler