x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 24 Juni 2021 16:56 WIB

Mencari Bung Sjahrir

Andaikan Sjahrir hari ini masih hidup, ia mungkin akan mendorong anak-anak muda agar lebih menatap masa depan: dunia yang terhampar di depan mata mereka. Masa lampau memang penting dipelajari, tapi Sjahrir niscaya tak akan pernah mau dibuatkan patung dirinya, apa lagi patung yang menjulang agar banyak orang bisa melihatnya dari kejauhan dan menyanjung-nyanjung jasanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sekali tempo, aku pernah berjalan-jalan keliling kota Bandung. Tujuanku mencari Bung Sutan Sjahrir, ya si bung yang menjadi perdana menteri pertama Republik ini. Namun, tak kutemukan patungnya—patung dada sekalipun. Bahkan, nama Sutan Sjahrir pun tak tertera pada satu saja papan nama jalan di kota ini.

Betapa sukar aku menemukan papan nama Sutan Sjahrir terpampang di ujung jalan. Bukan sekedar sukar, rupanya, tapi memang tidak kutemukan sebab memang tidak ada yang namanya Jalan Sutan Sjahrir. Entah kenapa. Seingatku, di Surabaya pun begitu. Tak ada nama jalan Sjahrir, apa lagi patung—apa lagi patung diri yang menjulang sehingga siapapun bisa melihat dari jarak yang cukup jauh. Tak ada patung sebagai pengingat tentang pengabdian sosok ini kepada Republik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi barangkali pula Bung Sjahrir tidak menginginkan dirinya dibuatkan patung, atau sekedar nama jalan sekalipun. Bung Sjahrir niscaya lebih suka apabila buah pikirnya dibicarakan, semangatnya digelorakan—dia seorang anak muda berusia 35 tahun tatkala ditunjuk menjadi perdana menteri pertama Republik ini. Ia menjadi orang ketiga, setelah Bung Karno dan Bung Hatta, yang mengemudikan bahtera Republik yang masih muda.

Betapapun demikian, tanpa Leimena, Sjafruddin, Agus Salim, Soedirman, dan banyak lagi nama yang dapat disebut, mereka bertiga tidak akan pernah mampu menggerakkan Republik ini. Republik ini ditegakkan pertama kali oleh banyak sekali sosok yang berada di depan, tetapi Republik juga tidak akan tegak tanpa ditopang oleh jutaan rakyat kecil dari kota hingga pelosok desa.

Republik muda di masa kemerdekaan tegak di atas bahu-bahu yang saling menguatkan, dan tidak akan pernah tegak hanya mengandalkan satu orang manusia—betapapun ia dianggap hebat. Ada orang-orang tua seperti Tan Malaka yang bergerak di bawah tanah, juga Agus Salim yang rendah hati dan lebih banyak membimbing yang muda-muda. Ada pula Tjokroaminoto yang telah lebih dulu merintis jalan dan menjadi guru bagi banyak tokoh bangsa. Republik ini tidak akan pernah tegak hanya di atas satu bahu, betapapun dianggap besar seorang tokoh.

Ketika berjalan menyusuri Bandung untuk mencari papan nama jalan Sutan Sjahrir, aku lantas teringat pada putra-putri bung itu—kini usia mereka beranjak sepuh. Namun sedari muda, kiprah putra-putri Bung itu memang tidak pernah terdengar, entah mengapa. Barangkali, ini hanya dugaan, karena pengalaman masa kecil mereka menyaksikan ayahnya yang harus menghabiskan masa tuanya dalam tahanan pemerintahan Soekarno—kawan seperjuangan yang pernah bersama-sama dibui oleh kolonial Belanda di penjara yang sama. Partai Sosialis Indonesia, partai yang didirikan Sjahrir, juga dilarang oleh Soekarno.

Boleh jadi, bagi Buyung dan Upik, kedua putra dan putri Bung Sjahrir itu, politik menjadi tidak menarik sama sekali. Mungkin mereka terkenang pada ayah yang meninggal di pengasingan dalam keadaan sakit dan dirawat di negeri orang. Bung Sjahrir ketika itu tidak lagi mampu berbicara, dalam pengertian harfiah. Hampir satu tahun di Zurich, Swiss, pada 17 April 1966 Sjahrir kembali ke tanah air yang ia perjuangkan dalam keadaan sudah berpulang. Ia dimakamkan keesokan harinya. Menurut Rosihan Anwar, seperti dikutip Tempo, setidaknya 250 ribu orang mengikuti prosesi pemakaman Sjahrir. Penghormatan ini bertolak belakang dengan suasana keberangkatan Sjahrir ke Zurich dalam status tahanan politik, yang hanya diiringi lambaian tangan beberapa kerabat.

Entah apa yang akan ia katakan bila masih sempat menyaksikan bangsanya di masa sekarang. Barangkali Bung Sjahrir agak sedikit senang bila mengetahui ada cukup banyak anak muda yang masih membaca Perjuangan Kita—risalah ringkas yang diterbitkan Sjahrir pada Oktober 1945.

Andaikan Sjahrir hari ini masih hidup, ia mungkin akan mendorong anak-anak muda agar lebih menatap masa depan: dunia yang terhampar di depan mata mereka. Masa lampau memang penting untuk dipelajari, barangkali begitu kata Sjahrir, tetapi bukan untuk disanjung-sanjung, dipuji-puji, sebab tantangan itu berada di depan, bukan di belakang. Oleh sebab itu pula, Sjahrir niscaya tak akan pernah mau dibuatkan patung dirinya, apa lagi patung yang menjulang agar banyak orang bisa melihatnya dari kejauhan. Bung Sjahrir mungkin akan merasa angkuh dengan semua itu, dan itu bertentangan dengan jatidirinya yang lurus dan jujur. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler