x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 28 Juni 2021 09:02 WIB

Sebagai Bangsa, Apakah Kita Cepat Belajar?

Mengapa kita tidak cepat belajar—menyerap pengalaman masa lalu, membuat rancangan tindakan baru sebagai hasil belajar, dan menerapkannya dalam kebijakan secara tegas alias tidak gamang berdiri di antara kepentingan kesehatan dan ekonomi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam manajemen dikenal istilah agile person maupun agile organization. Sederhananya, agile person adalah orang yang mampu dengan cepat belajar dari hal-hal baru dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi baru. Agile organization pun serupa; sebuah organisasi yang cepat belajar dan menyesuaikan diri dengan hal-hal baru dijuluki agile organization.

Manusia maupun organisasi yang agile [tangkas dan cerdas] mampu merespons, belajar dari, serta beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan. Tentu saja, adapatif dalam pengertian positif; bukan pengertian negatif layaknya bunglon yang mampu berubah warna saat berada di tempat-tempat yang berbeda agar dirinya selalu selamat dari intaian lawan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Manusia atau organisasi yang agile akan segera mengenali hal-hal penting dari fenomena baru, misalnya perubahan pasar, arah kebijakan, serta model bisnis yang sedang banyak diadopsi perusahaan. Mereka dengan cepat mampu mengidentifikasi perilaku konsumen, sehingga dengan cepat memikirkan pola baru distribusi barang, cara baru pemasaran, cara baru mengatasi keluhan, dan sebagainya. Ketangkasan dalam menanggapi perubahan lingkungan dan situasi ini harus disertai dengan ketangkasan dalam meresponnya.

Sebuah bangsa atau negara adalah juga organisasi, tentu saja dalam lingkup yang jauh lebih besar dibandingkan perusahaan, umpamanya. Kompleksitasnya juga lebih tinggi. Meskipun begitu, pemahaman mengenai agile organization tetap dapat dipakai untuk melihat apakah sebuah negara atau bangsa tangkas dan cerdas dalam menanggapi perubahan keadaan. Intinya serupa: apakah bangsa itu cepat memahami terjadinya perubahan, apakah bangsa itu cepat belajar mengenai perubahan, dan apakah bangsa itu cepat mengambil tindakan untuk merespons perubahan.

Cara kita menangani pandemi Covid-19 dapat dijadikan semacam studi kasus untuk menelisik apakah kita bangsa yang tangkas dan cerdas [agile nation]. Katakanlah dimulai dari respons para pejabat tatkala kabar mengenai wabah ini mulai merebak ke beberapa negara. Para pejabat kita menanggapinya dengan berbagai ragam kelakar yang justru memperlihatkan bahwa mereka tidak memahami situasi yang berkembang, tidak mengerti tentang apa yang sedang terjadi di sejumlah tempat di dunia ini.

Ketidakpahaman tersebut membuat bangsa ini teledor, sehingga membiarkan warga asing bebas memasuki Indonesia ketika banyak negara sudah melakukan pembatasan. Seorang menteri justru merasa senang bahwa kita akan banyak kedatangan wisatawan karena mereka tidak diizinkan masuk ke negara-negara lain. Keteledoran ini juga membuat kita lambat merespon keadaan yang berubah sangat cepat. Ketika itu beberapa negara terdekat sudah mengumumkan ditemukannya warga yang terinfeksi Corona, kita masih merasa bakal baik-baik saja.

Ketika peneliti AS menyatakan keheranannya bahwa Indonesia belum mengumumkan adanya kasus positif, menteri kesehatan malah gusar, hingga kemudian Presiden Jokowi mengumumkan ditemukannya kasus positif yang disebut sebagai kasus pertama. Di saat itu, barulah orang tersadar bahwa Indonesia tidak kebal seperti yang dikelakarkan oleh para pejabat karena kebiasaan orang Indonesia gemar makan nasi kucing. Walaupun begitu, kita tidak segera belajar dari sejumlah negara yang terlambat membatasi mobilitas warganya. Kita masih ikut-ikutan enjoy dengan berbagai aktivitas yang dibiarkan berlangsung normal-normal saja.

Begitu pula, ketika jumlah kasus semakin meningkat, kita tidak bergegas untuk melakukan pembatasan kegiatan. Para dokter dan ahli kesehatan masyarakat berulang kali mengingatkan agar pemerintah fokus pada upaya mengatasi penyebaran virus dan tidak bersikap mendua dengan tetap mendorong kegiatan ekonomi berjalan seakan normal. Beberapa negara yang fokus penuh pada ikhtiar mengatasi masalah kesehatan terbukti mampu lebih cepat mengendalikan penyebaran virus, menekan peningkatan kasus positif, serta menekan angka kematian. Kegiatan lainnya, khususnya ekonomi dan sosial, menjadi lebih mudah dipulihkan.

Taiwan dapat disebut sebagai contoh negara yang sigap dalam merespons kabar bahwa ada virus yang datang dari daratan Cina. Pemerintah dan rakyat Taiwan memanfaatkan memori mereka akan kasus wabah virus sebelumnya. Mereka telah belajar bahwa menutup pintu masuk ke Taiwan merupakan strategi yang ampuh untuk merintangi mobilitas ke dalam negeri yang berpotensi membawa serta virus Corona. Pengalaman masa lalu menjadi bahan ajar dan dasar untuk mengambil tindakan menghadapi perubahan cepat di masa sekarang. Taiwan tercatat sebagai negara dengan kasus positif yang sangat rendah. Kegiatan ekonomi pun relatif tidak terganggu karena persoalan kesehatan mampu dikendalikan dengan cepat dan baik.

Bagaimana dengan kita? Setiap kali menjelang libur panjang, kita dihadapkan pada kesibukan yang sama dengan konsekuensi yang serupa, peningkatan kasus positif. Namun mengapa kita mengulanginya seakan-akan kita belum pernah mengalami hal serupa? Mengapa kita mengulangi kesalahan yang sama? Mengapa kita tidak cepat belajar—menyerap pengalaman masa lalu, membuat rancangan tindakan baru sebagai hasil belajar, dan menerapkannya dalam kebijakan secara tegas alias tidak gamang berdiri di antara kepentingan kesehatan dan ekonomi? Padahal kita mestinya juga tak perlu malu belajar dari Taiwan dan Selandia Baru. Sebagai bangsa, tidakkah kita lamban belajar? Atau, segini ini terbilang sudah cepat? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler