x

Ilustrasi kritik. Karya Gerd Altman dari Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 14 Juli 2021 13:55 WIB

Sampah Demokrasi, Lalat Politik, dan Problem Diksi Pejabat

Pejabat negara tidak perlu terjebak dalam pemilihan diksi seperti sampah dan lalat, yang memberi kesan berusaha menunjukkan betapa buruk pengritiknya, namun mengabaikan substansi kritiknya. Menjawab kritik dengan argumen yang rasional dan substantif akan lebih dihargai oleh masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Menanggapi berbagai kritik, sejumlah pejabat publik menggunakan istilah-istilah yang membuat dahi mengkerut. Contoh mutakhirnya: ‘sampah’ demokrasi dan ‘lalat’ politik. Kedua diksi yang digunakan dalam kedua frasa itu mengesankan keengganan pemakainya untuk memikirkan diksi yang lebih tepat dan layak dalam menjawab kritik. Ada kesan bahwa mencari jalan pintas yang langsung menohok, dan karena itu dipilih kosakata yang gampang dan mungkin yang melintas dengan cepat di benak mereka.

Apakah diksi tersebut merupakan pilihan pribadi? Jika penggunanya beranggapan seperti itu, tentu saja kurang tepat, karena mereka memiliki kedudukan sebagai pejabat publik. Mereka tidak lagi bisa berbicara atas nama pribadi, melainkan pejabat yang mewakili pemerintah. Karena itu, pilihan diksi dalam berkomunikasi merupakan tantangan yang tidak bisa dipandang remeh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pilihan diksi yang digunakan dapat mencerminkan kemampuan komunikasi seorang pejabat publik. Bukan saja pada saat situasi sedang menyenangkan, yang sebenarnya juga bisa membuat seorang pejabat terpeleset dalam berbicara, tapi juga pada saat menghadapi tekanan publik—kritik dari warga masyarakat maupun kritik dari lawan politik. Pejabat publik, karena merepresentasikan pemerintah, mesti menggunakan diksi yang tepat dan layak dalam berkomunikasi

Kedua diksi itu, sampah demokrasi dan lalat politik, mengesankan aura kekesalan yang mendalam terhadap pengritik. Bahkan, seandainyapun kritik itu memakai bahasa yang sarkastik ataupun kasar, pejabat publik tetap perlu memikirkan respon yang cerdas dan tidak perlu terbawa oleh suasana emosional ataupun terbawa oleh kosakata yang digunakan para pengritik. Diksi yang tepat pantas dipikirkan sebelum diucapkan oleh pejabat publik, sebab pilihan atas diksi tersebut mencerminkan kualitas penggunanya sekaligus mewakili institusi negara.

Para pejabat publik sebaiknya mengambil posisi yang lebih elegan dalam menjawab kritik masyarakat melalui komunikasi yang lebih menekankan substansi. Pejabat tidak perlu terbawa gaya komunikasi pengritik, apa lagi gaya komunikasi massa yang memang cenderung blak-blakan, bahkan mungkin dianggap sarkastik atau karikatural, sebab itulah cara massa menarik perhatian pihak yang dikritik. Terlebih lagi apabila yang dikritik tidak cukup membuka diri bagi dialog, maka massa akan cenderung memilih diksi yang lebih tidak enak didengar dan dibaca.

Pemakaian diksi semacam ‘sampah’ demokrasi dan ‘lalat’ politik tidak cukup layak untuk terus dipakai, sebab mencerminkan kualitas pejabat yang kurang menyadari bahwa ia mewakili institusi negara. Pejabat negara tidak perlu terjebak dalam pemilihan diksi seperti ‘sampah’ dan ‘lalat’ yang memberi kesan berusaha menunjukkan betapa buruk pengritiknya, namun sebenarnya ia telah mengabaikan substansi kritiknya. Menjawab kritik dengan argumen yang rasional dan substantif akan lebih dihargai oleh masyarakat ketimbang melontarkan pernyataan dengan diksi sejenis sampah dan lalat. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler