x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 30 Juli 2021 14:32 WIB

Makin Tumpulkah Rasa Keadilan Hakim?

Hakim semestinya bukan orang yang sekedar hapal mengenai pasal-pasal dan ayat-ayat hukum pidana, namun memperkaya diri dengan pemahaman mengenai bagaimana memberi keadilan kepada yang berperkara dengan ketajaman mata mati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Koran Tempo edisi Kamis, 29 Juli 2021, menurunkan berita utama dengan judul ‘Diskon Janggal Hukuman Joko Tjandra’. Disebutkan, hakim banding di Pengadilan Tinggi Jakarta meringankan hukuman Joko dari semula 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun—hukuman ini terkait dengan perkara penyuapan pejabat Kejaksaan Agung dan perwira Polri.

Koran Tempo menyoroti dalih yang menjadi pertimbangan hakim banding untuk mendiskon hukuman yang telah dijatuhkan di pengadilan negeri. Media ini mengabarkan bahwa dalih pengurangan hukuman itu ialah karena Joko pernah menjalani hukuman sebagai terpidana korupsi hak tagih Bank Bali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalih itu sungguh mengusik rasa keadilan masyarakat, sebab kedua perkara itu merupakan kasus yang berbeda walaupun saling terkait. Yang satu korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali dan yang satu lagi penyuapan kepada pejabat negara. Lha kok kemudian karena dalih bahwa terdakwa pernah menjalani hukuman untuk kasus yang pertama [Koran Tempo edisi Kamis, 29 Juli 2021] , maka hukuman untuk kasus yang kedua lantas dikorting. Bagaimana ahli hukum dapat menjelaskan hal ini dari sisi keadilan?

Seperti disebutkan oleh Koran Tempo, Joko pernah menjadi buron dalam perkara korupsi hak tagih Bank Bali itu. Lalu, ia menyuap jaksa untuk pengurusan fatwa bebas dari Mahkamah Agung dan menyuap perwira polisi untuk mengurus penghapusan nama dari status daftar pencarian orang dalam sistem imigrasi. Jelas bahwa ia bandel karena menyuap petugas negara, tapi yang mengherankan, hukumannya malah didiskon oleh hakim banding, bukan diperberat. Bagaimana ahli hukum dapat menjelaskan hal ini dari sisi keadilan?

Sudah kerap terjadi para hakim di negeri ini mengambil keputusan atas dalih atau alasan yang sulit diterima akal maupun rasa keadilan. Dalam soal korupsi dan suap, keputusan yang mengurangi hukuman kerap kita dengar, padahal korupsi bukan hanya perkara hilangnya uang negara [yang berarti juga uang rakyat], tapi juga masalah kerusakan yang ditimbulkan oleh korupsi.

Orang yang melakukan korupsi dan menyuap pejabat negara itu merusak sistem yang dibangun untuk menyejahterakan rakyat. Rakyat berharap sistem ini berjalan dengan baik, adil, jujur, transparan, disertai tata kelola yang mendatangkan kebaikan bagi rakyat banyak. Jika ada pejabat yang korup, maka bukan hanya pelakunya yang rusak, tapi juga lingkungan sekitarnya—misalnya anak buah yang tidak berani membantah perintah atasannya akan terpaksa membantu. Jika ada suap, maka bukan hanya pejabat penerima suap yang telah dirusak oleh penyuap, tapi juga sistemnya, sebab pejabat itu akan menggunakan wewenang di institusinya untuk menolong si penyuap.

Bahkan, kerusakan itu juga menimbulkan dampak sosial yang luar biasa. Lihatlah, korupsi bantuan sosial baru-baru ini, berapa banyak uang negara yang seharusnya diterima oleh rakyat yang lebih membutuhkan ternyata ditilep habis-habisan. Rakyat memperoleh bantuan kurang dari semestinya. Ini bukan hanya perkara uang yang hilang, tapi juga merusak sistem dan lingkungan kerja pelaku korupsi. Bahkan, ini juga menimbulkan dampak menurunnya kepercayaan rakyat kepada penyelenggara negara, lembaga peradilan, serta integritas hakim.

Kembali kepada putusan hakim banding, apakah hakim tidak mengeksplorasi lebih jauh dan lebih luas dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan penyuapan kepada jaksa dan perwira polisi itu. Apakah ia juga tidak mempertimbangkan dampak keputusannya terhadap kepercayaan masyarakat kepada sistem peradilan? Betapa banyak orang mencari keadilan dan tidak memperolehnya, sementara sebagian orang dengan begitu mudah mendapatkan apa yang ia inginkan.

Seorang hakim semestinya orang yang memahami kehidupan dengan seluk-beluknya. Hakim semestinya bukan orang yang sekedar hapal mengenai pasal-pasal dan ayat-ayat hukum pidana, namun memperkaya diri dengan pemahaman mengenai bagaimana memberi keadilan kepada yang berperkara dengan ketajaman mata mati. Menjadi hakim semestinya bukan soal menjalani karir di bidang hukum, tapi menjadi hakim sebagai panggilan nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Karena itu, seorang hakim semestinya pembaca tekun kisah-kisah kehidupan para pencari keadilan, pembaca kritis narasi-narasi sejarah, dan sekaligus penggemar karya-karya sastra yang mengisahkan perjuangan manusia untuk hidup menemukan kebenaran dan keadilan. Barangkali, kekayaan nurani karena membaca kisah-kisah kehidupan akan membantu para hakim lebih memahami makna menjadi hakim dan mampu memberi rasa keadilan yang terbaik kepada yang beperkara tanpa menyakiti rasa keadilan masyarakat. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler