x

Iklan

M. Nur Kholis Al Amin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Oktober 2019

Senin, 20 September 2021 06:17 WIB

Ngaji dan Kaji dalam Kajian Budaya Jawa

Makna kaji dalam perspektif bahasa Jawa, yakni, untuk melatih sebut (dzikir) dengan mengabadikan puja-puji pada Sang Pencipta dalam segala keadaan keadaan. Dengan demikian mampu memalingkan sambat/keluh-kesah (gek-gek, piye, yungalah, dan lain-lain). Karena, pada dasarnya penderitaan terlahir dari keinginan jiwa kita yang selalu beranak pinak, yang kemudian melahirkan penderitaan yang tak berujung ketika lebih banyak sambatnya dari pada sebutnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Oleh: M. Nur Kholis Al Amin


Entah mengapa, terlahir sebagai orang Jawa, bagiku begitu mengasikkan. Ya, walaupun tidak seutuhnya mengerti dan paham akan sejuta khazanah kekayaan budaya yang telah ada dan berkembang. Dan bisa dibilang, sebagian banyak khazanah budaya tersebut semakin menghilang karena terkikis arus perkembangan zaman serta antusiasme sebagian masyarakat yang progresif untuk berubah ke arah yang --kata orang-- lebih modern dan gaul.

Betapa tidak, budaya say hallo dengan kulonuwun, turun dari sepeda ketika dihadapkan dengan orang-orang yang sepuh saat di jalan sempit, budaya "piring terbang" saat acara jamuan (yang di dalamnya penuh dengan makna; sopan santun, pengertian, ngajeni), kini telah hampir punah.
Budaya-budaya yang lainnya pun, yang mengajarkan tepo seliro--ya, walaupun tidak disebutkan dalam kitab suci--namun, tidak terlepas dari nilai-nilai dasar Islam, malah Islami, buaangetzzz.
Kok bisa? Ya bisa lah, kan Islam itu nilai utamanya di tauhid (monotheisme), keadilan, persamaan dan Moral kan? Bahkan dalam suatu redaksi hadis (kalau gak salah; maklum, gue kan kuper soal hadis ) itu menyebutkan ﺇﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﻷﺗﻤﻢ ﻣﻜﺎﺭﻡ ﺍﻷﺧﻼﻕ (sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kembali ke khazanah budaya Jawa, karena kalau ngomongin tentang moral, PR kita banyak banget. So, kapan-kapan saja yach, sekarang fokus ke tema Ngaji dan Kaji--yang salah satunya adalah pola dalam peristilihan bahasa-nya, seperti adanya istilah  delamaan yang artinya dedalan marang kabecikan/jalan menuju pada kebaikan. Di mana, fungsi delamaan kan emang bagian utama juga untuk berjalan.

Memutari waktu sebagai Sang Kala yang tak kan pernah kembali, di mana saat waktu tersebut tidak segera dimanfaatkan untuk berdarma, maka takkan bisa terulang kembali. Maka seiring dengan sang kala yang terus berputar pada akhirnya manusia dituntut untuk mampu menjadi orang sepuh apa tidak. Sepuh dalam artian tidak hanya dalam perihal usia yang makin bertambah, akan tetapi sepuh dalam arti kang kinaran wongkang sepuh kui, sepi ing howo.

Pada khazanah budaya Jawa, orang sepuh akan bersanding dengan tasbih-nya, menTAS ing sekaBIHane. Hanya fokus pada perjalanan kediriannya untuk bertajalliat pada Sang Pencipta.
Ya, akhirnya sebagai manusia yang hidup bermasyarakat atau bahasa kecenya sebagai makhluk zoon politicon, ya, harus bermuamalat dalam arti luas. Atau bahasa para ustadz adalah mengadakan hubungan dengan sesama manusia, makhluk hidup lainnya, dan lingkungan (hablun min an-naas wa hablum min alam). 

Begitu juga berhubungan dengan Sang Pencipta (hablun min Allah), memerlukan jalan petunjuk untuk diistiqomahi dengan teken, tekun yang mengantarkan pada tekan atau tidaknya. Seiring dengan usaha tersebut pada akhirnya sebagai manusia, kita dituntut untuk ngaji atau NGAsah JIwo, mengasah jiwa agar mampu menghadapi berbagai kemungkinan yang telah tersurat dan tersirat dalam titah Ilahi. Bagaimana caranya? Yakni dengan pandai ber-kaji pada KAhanan JIwo yang selalu eling pada-Nya. Ya, kahanan atau keadaan jiwa untuk selalu menyebut Asma-Nya dengan puja-puji terhadapNya. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Laa ilaaha illa Allah, Shollallahu 'Ala Muhammad.

Mungkin, makna kaji melalui perspektif bahasa Jawa, yakni, untuk melatih sebut (dzikir) dengan mengabadikan puja-puji pada Sang Pencipta dalam segala keadaan yang menimpa, baik suka ataupun duka. Sehingga, mampu memalingkan sambat/keluh-kesah (gek-gek, piye, yungalah, dll). Karena, pada dasarnya penderitaan terlahir dari keinginan jiwa kita yang selalu beranak pinak, yang kemudian melahirkan penderitaan yang tak berujung ketika lebih banyak sambatnya dari pada sebutnya.

Oleh karena itu, belajar ngaji untuk membiasakan sebut atau puja puji dan kaji merupakan salah satu jalan agar menjadi manusia yang kajen dan diajeni oleh jiwa kita sendiri.
Amin...
#من عرف نفسه فقد عرف ربه

Ikuti tulisan menarik M. Nur Kholis Al Amin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 jam lalu

Terpopuler