x

Masyarakat Mendukung Rencana Revisi UU ITE

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 17 November 2021 05:42 WIB

Pedang ITE Bermata Dua, Kenapa Tak Kunjung Diperbaiki?

Semula, undang-undang ITE disusun untuk tujuan dengan maksud baik, tapi ketidaksolidan aturan ini maupun kelenturan tafsirnya membuka celah penyalahgunaan untuk menekan warga masyarakat. Revisi harus dilakukan untuk kebaikan umum. Mengapa revisi tertunda-tunda, siapakah yang menikmatinya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tahun 2019 itu bagaikan pedang bermata dua. Dulu, undang-undang ini kabarnya disusun dengan niat untuk mengurangi peredaran informasi yang tidak benar—bohong, palsu, maupun menyesatkan—maupun penghinaan dan pencemaran nama baik. Namun, ayat-ayat yang lentur ternyata membuka peluang penafsiran yang menjadikan warga yang menyampaikan pendapat, kritik, pengalaman buruk seperti kekerasan atau pelecehan, serta keluhan malah dilaporkan.

Ada pejabat publik yang dikritik melalui media sosial, pejabat ini melaporkan si pengritik dengan mengandalkan undang-undang ITE, khususnya pasal 27. Ada pegawai yang mengunggah pengalaman diperlakukan tidak semestinya, eh malah dilaporkan dan jadi terseret masalah hukum. Undang-undang ini juga dipakai perusahaan untuk memperkarakan konsumen yang mengunggah pengalaman kurang menyenangkan saat memakai jasa atau produk perusahaan namun keluhannya tidak memperoleh respon yang selayaknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada pula bawahan yang mengungkap perlakuan atasan yang main pukul. Videonya tersebar, tapi kemudian bawahan itu meminta maaf kepada atasan yang sudah memukulinya. Mungkin ia berpikir ketimbang diperkarakan dengan UU ITE. Dunia terbalik-balik, memang. Korban yang meminta maaf. Bila tidak ada yang berani mengungkap kekerasan semacam itu kepada publik, tidakkah pelakunya lain kali akan mengulang tindakannya? Ibaratnya: kamu saya gebuki, awas jangan sampai kamu sebar di medsos, bisa-bisa kamu kena gebuk lagi, bahkan lebih keras.

Kritik kepada pemerintah maupun pejabat publik merupakan hal yang lumrah. Bila kritik itu dinilai salah, pemerintah atau pejabat publik tinggal menjawab serta menunjukkan yang benar seperti apa. Masyarakat akan menilai apakah kritik tersebut memang tidak tepat ataukah pemerintah dan pejabat publik yang bersikap defensif terhadap kritik. Memperkarakan warga yang mengritik jelas merupakan wujud ketidakpahaman akan posisi jabatan publik.

Sayangnya, sekalipun telah banyak memakan korban, undang-undang ITE tidak kunjung diperbaiki agar masyarakat terlindungi dari penyalahgunaan aturan yang legal. Banyak korban sudah berjatuhan gegara pelaporan dengan mengandalkan pasal-pasal di undang-undang ini sebagai senjata. Ada warga yang mengritik pejabat publik dilaporkan ke polisi—bahkan, yang melaporkan pun bukan pejabat ybs. SAFEnet, sebuah lembaga nirlaba, mencatat puluhan kasus warga yang dijerat dengan UU ITE sejak 2008 hingga 2020.

Dari kebiasaan melapor yang dilakukan oleh warga lain, yang notabene bukan wakil pemerintah, kita dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman bagi berkembangnya demokrasi yang sehat dan adil. Rakyat akan takut mengekspresikan pikiran dan pendapatnya secara terbuka karena khawatir dilaporkan oleh warga lain dengan berbekal undang-undang ITE. Memang unik, warga dilaporkan oleh warga lain yang bertindak seakan-akan ia wakil pemerintah.

Apakah warga yang gemar melapor itu sekedar berusaha menarik perhatian masyarakat? Ya, mungkin saja, cari panggung. Di era yang cenderung pragmatis ini, banyak orang ingin menarik perhatian pemerintah dengan bersikap sebagai pendukung yang siap bertindak apa saja manakala ada yang mengritik pemerintah. Padahal pemerintah telah memiliki menteri hingga staf yang akan menjawab kritik warga.

Belakangan, perusahaan juga melihat adanya keuntungan yang bisa dimanfaatkan dari kehadiran UU ITE, khususnya terkait relasi perusahaan dengan konsumen. Pasal karet digunakan untuk melaporkan konsumen yang mengungkapkan pengalaman buruk saat memperoleh layanan atau menggunakan produk perusahaan. Perusahaan menganggap langkah konsumen itu sebagai pencemaran nama baik.

Berhadapan dengan perusahaan, konsumen berada dalam posisi lemah. Bagi konsumen, berhubungan dengan perusahaan memang tidak selalu mudah. Keluhan yang disampaikan secara personal seringkali tidak memperoleh perhatian selayaknya. Barangkali karena respon perusahaan yang minim itu, konsumen lantas mengungkapkan pengalamannya di media sosial. Barulah perusahaan memberi perhatian, namun seringkali dengan cara yang tidak selalu ramah. Ada perusahaan yang menganggap pengungkapan pengalaman konsumen di media sosial itu sebagai pencemaran nama baik. Maka, undang-undang ITE pun kemudian digunakan.

Semula, undang-undang itu disusun untuk tujuan dengan maksud baik, tapi ketidaksolidan aturan ini maupun kelenturan tafsirnya membuka celah penyalahgunaan untuk menekan warga masyarakat. Revisi undang-undang, karena itu, sangat mendesak agar tidak semakin banyak warga yang jadi korban. Revisi harus dilakukan untuk kebaikan umum, bukan revisi untuk semakin menekan warga masyarakat. Jadi, mengapa revisi itu tertunda-tunda, siapakah yang menikmatinya? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler